Ivi
" Yang sebelah sini Vi..." Papa menunjuk bahu sebelah kiri agak turun ke bawah.
" Sini pa?"
" Turun dikit lagi."
" Yang sini?"
" Nah situ Vi. Yang agak keras." Aku menekan bagian yang ditunjuk papa agak keras dan sepertinya papa puas dengan pijitanku,
" Mana lagi pa?"
" Udah. Kamu juga pasti capek. Kamu duduk sini." Papa mengisyaratkan aku untuk duduk disampingnya.
Malam ini aku pulang ke rumah karena dua hari ini aku libur. Kedua orang tuaku masih lengkap, jadi aku akan selalu menyempatkan pulang setiap minggunya. Lagian kalau libur aku tetap di apartemen, yang ada pasti aku mati bosan.
" Gimana rasanya jadi dosen?" Papa merebahkan badannya ke sandaran kursi.
" Sejauh ini aku menikmati banget pa." Aku ikut merebahkan diri dan mataku menatap lurus kedepan. Saat ini kami sedang berada di halaman belakang rumah. Mama ada di dapur, sementara si Rivan keluar bersama teman-temannya.
" Bagus kalau gitu."
" Doanya aja ya pa, semoga semuanya selalu lancar sampai akhir."
" Pasti Vi."
Uhuk uhuk!
Papa tiba-tiba batuk beberapa kali kemudian beliau menoleh kearahku.
" Papa makin tua ya Vi. Nggak nyangka anak sulung papa udah sebesar ini. Kayaknya baru kemarin kamu lari-lari keliling rumah nggak pake celana."
" Papa! Itu terus yang dibahas." Papa tertawa.
" Umur kamu berapa sih Vi?"
" Jalan dua enam."
" Loh papa kira masih tujuh belas tahun."
" Ngeledek terus papa ini." Lagi-lagi papa tertawa. Mau nggak mau aku ikut tertawa. Papaku ini, meski umurnya sudah setengah abad, tapi beliau masih kelihatan segar.
" Vi..." Papa membenarkan posisi duduknya menjadi tegak.
" Iya pa?"
" Kemarin papa habis dari rumah Juna. Anak Juna udah mulai merangkak. Udah mulai bisa manggil papa sama mamanya meski masih samar. Kok papa lihatnya seneng banget gitu."
Aku diam. Aku tahu kemana arah pembicaraan papa.
" Danish mah emang cepet banget pertumbuhannya pa. Aku yakin juga gedenya pasti bakal jadi anak pinter. Lihat lah, siapa bapak sama emaknya. Si Abil itu dulu waktu kuliah pinternya bukan main. Juna juga. Duh, paket lengkap si Danish itu."
" Anak papa ini bukannya juga pinter bukan main ya?" Papa mengelus rambutku. Tak peduli umurku sudah berapa, aku tetap si kecil di mata beliau. Karena bagiamanpun juga, aku dan Rivan terpaut cukup jauh. Maksudku, masa kecilku benar-benar aku habiskan sebagai anak tunggal.
" Anak siapa dulu?" Aku menaik turunkan alisku,
Aku dan papa kompak tertawa. Sukanya aku kalau ngobrol sama papa tuh ya gini. Santai dan sering diselingi candaan. Cuma kalau waktunya serius, beliau juga serius.
" Vi, kamu ini apa nggak punya kenalan laki-laki?"
" Banyak lah pa. Banyak banget."
" Maksud papa yang bisa papa ajak main catur bareng. Atau bisa papa ajak diskusi."
Aku tersenyum. Maksud papa calon suami kan ini? Masa iya papa mau ngajak main catur sembarang temenku.
" Papa ini semakin hari semakin tua, Vi. Kadang papa pengen sekali bermain sama anak kecil sekedar untuk mengurangi penat. Tapi masak iya papa minta anak kecil sama mama kamu?"
" Mama pasti nggak mau. Yakali pa..."
" Makanya papa minta sama kamu. Gimana Vi?"
Aku diam sejenak. Papa kalau sekali ngode keras banget ya? Ini sih bukan ngode lagi ya kan? Tapi minta secara terang-terangan.
" Papa pengen aku nikah ya?"
" Siapa sih Vi, orang tua yang berharap anak gadisnya nggak menikah? Nggak ada. Sesayang-sayangnya papa sama kamu, papa nggak mungkin nahan kamu untuk terus ada buat papa. Papa tetep pengen lihat kamu bahagia sama laki-laki pilihan kamu. Sering sekali ketika papa lagi di rumah Juna, atau Juna yang kerumah ngajak istri dan anaknya, yang ada di bayangan papa itu kamu, Vi." Papa menjeda kalimatnya.
"Ditambah lagi, kamu sama istri Juna itu seumuran. Benar-benar di mata papa adanya wajah kamu. nggak bisa membayangkan seperti apa bahagianya papa bisa punya cucu dari anak kebanggaan papa. Bukan berarti papa nggak bangga sama Rivan, namun ini situasinya beda. Dalam waktu dekat ini, cuma kamu harapan papa sama mama."
Aku menghembuskan napas panjang. Selama ini bukannya nggak ada laki-laki yang mendekatiku, hanya saja kemarin-kemarin aku terlalu fokus belajar. Aku belum terfikirkan untuk menikah karena waktu itu aku masih kuliah dan cita-citaku belum kucapai.
Beda cerita kalau saat ini. Keinginan untuk menikah mulai ada dan aku mulai membuka hati untuk siapapun laki-laki yang berhasil mengambil hatiku. Aku tidak memiliki kriteria khusus. Yang penting aku nyaman, papa sama mama juga cocok. Karena bagaimanapun juga, menikah tidak melulu tentang dua orang yang saling jatuh cinta. Tapi tentang menyatunya dua keluarga. Iya nggak sih?
" Kalau sudah saatnya, aku pasti kenalin ke papa orangnya."
" Memang saat ini belum ada?"
" Belum pa. Ada sih, yang terang-terangan deketin aku. Dia temen dosen. Mungkin tiga tahunan lebih tua dari aku. Tapi dia masih tahap awal deketin aku, pa. Aku juga nggak mau berharap lebih."
" Kamunya gimana sama dia? Kalau cocok, langsung kenalkan ke papa mama aja Vi."
" Masih belum pa, orang kami baru kenal belum lama ini."
Papa mengangguk mengerti.
" Dulu papa sama mama gimana bisa ketemu terus nikah?" tanyaku beberapa saat kemudian. Papa langsung tersenyum begitu mendengar pertanyaanku.
" Percaya nggak Vi, kalau pertama kali papa ketemu mama kamu itu di jalan raya pas mama kamu mau nyebrang."
" Hah? Maksudnya pa?"
" Intinya, papa itu hampir nabrak mama kamu. Mama kamu marah-marah karena rantang makanan yang dia bawa jatuh ke jalan."
" Lah terus kok bisa sampai nikah? Gimana ceritanya?"
" Ternyata, mama kamu itu pegawai baru di kantor papa. Panjang lah Vi. Lain kali tanya sama mama kamu aja."
" Papa kamu itu semena-mena sama mama, Vi. Udah tingkahnya nyebelin, sok ngatur-ngatur seenaknya." Tiba-tiba mama datang bergabung bersama kami sambil membawa satu piring berisi potongan buah.
" Loh, emang aku bossnya kan..."
" Tapi tetep aja kamu itu nyebelin banget, mas." Mama duduk tepat di samping papa kemudian bersandar dibahu beliau.
" Kaya gitu ma, yang katanya papa nyebelin?" tanyaku heran.
" Mama kamu aneh ya Vi? Bilang papa nyebelin tapi nyandar kaya gini. Mana ada yang percaya."
" Yakan itu dulu."
Aku dan papa tertawa sementara mama pura-pura nggak peduli. Serius, aku jadi penasaran gimana cerita papa sama mama dulu sebelum nikah.
" Mas, minta tolong ambilin yang itu." Mama menunjuk potongan buah apel.
" Apel?" Mama mengangguk. Papa mengambil potongan buah apel menggunakan garpu kemudian nyuapin mama.
Gelaseeeh, mereka kok malah pamer kemesraan didepan anaknya. Anaknya kan jadi mupeng. Haduh!
" Vi, nikah gih. Mama udah pengen gendong cucu."
Bussset mama. Nggak bisa lebih to the point lagi apa ya?
" Sabar ya ma. Semua ada saatnya."
" Jangan lama-lama tapi."
" Doanya aja ma."
" ..."
***
.
.
Aku langsung berlari masuk ke ke gedung apartemen begitu keluar dari mobil. Malam ini lagi-lagi hujan turun dengan derasnya. Setelah dua hari aku habiskan di rumah, malem ini aku kembali ke apartemen karena besok pagi aku pergi ke kampus.
" Aduh! Basah semua." Keluhku sambil mengibaskan rambut. Padahal cuma berlari beberapa meter, tapi tetep aja bajuku basah. Sebelum ke apartemen, tadi aku mampir beli makan, makanya bisa basah kaya gini.
" Huachim!" Tuh kan, kebiasaan banget kalau habis kehujanan langsung flu.
Ting!
Begitu pintu lift terbuka, tanpa melihat sekitar aku langsung buru buru berjalan menuju pintu apartemenku.
Buk!
" Duh!"
Aku menubruk seseorang. Begitu aku mendongak, aku langsung nyengir.
" Maaf dok, nggak senga--- Huachim!"
" Huachim!"
" Huachim!"
Aku diam beberapa detik setelah tiga kali bersin berturut-turut.
" Maaf dok. Hehe." Lagi-lagi aku nyegir kemudian berjalan melewatinya. " Eh bentar." Aku berhenti dan balik badan.
" Ngomong-ngomong dokter kenapa berdiri disitu?"
Iya ya? Itu dokter satu kenapa berdiri disitu? Kalau aku, dingin-dingin begini mending selimutan di kamar.
" Dok?" Aku masih menunggu dia bersuara. " Kenapa berdiri disitu?"
" Ayo ikut saya. Flu kamu saya obatin." Mataku melebar begitu tanganku dia raih kemudian aku dibawa masuk ke apartemnnya.
" ...?"
***