Ivi
Aku menatap kearah jalan raya yang hampir banjir karena hujan yang turun malam ini sangat deras. Aku barusaja pulang ke rumah dan malam ini aku kembali ke apartemen karena besok pagi aku ngajar jam tujuh. Sebelum balik ke apartemen, kusempatkan untuk mampir cafe langgananku. Jadi sekarang di sinilah aku, duduk termangu sendirian sambil menatap ke arah jalan raya dengan tatapan setengah kosong. Tidak lupa, sesekali aku juga menyeruput coklat hangat di depanku.
Satu minggu sudah aku menjalani rutinitas baruku sebagai dosen. Tidak jauh dari ekspektasiku, menjadi dosen memang cukup menyenangkan. Selain bertemu dengan banyak mahasiswa, aku juga menyukai rekan baruku, meski beberapa diantaranya berusia jauh diatasku bahkan ada yang seumuran dengan papa. Belum lagi panggilan baruku, yang mau tidak mau membuatku terlihat sedikit lebih tua.
Bu Ivi
Terdengar tua kan? Tapi mau bagaimana lagi? Memang sudah seharusnya aku dipanggil begitu.
" Mbak Ivi!" Aku langsung menoleh begitu ada yang memanggilku.
" Loh, Ris? Ga?"
Risa dan Arga berjalan mendekat dan mereka duduk tepat di sampingku.
" Kok sendirian mbak?"
" Iya Ris, habis dari rumah mau balik apartemen. Terus mampir kesini dulu."
" Oh..."
Hening.
" Ngomong-ngomong kok kalian bisa disini? Rumah kalian kan jauh dari sini."
" Oh itu mbak, kami habis dari apartemennya Ravi." Itu suara Arga.
" Loh?"
" Kenapa mbak?"
" Aku belum bilang ya, apartemenku tepat berada disebelah apartemen Dokter Ravi. Kami tetanggaan sekarang"
" Masak sih?"
" Iya Ris, ngapain aku bohong. Ngomong-ngomong sudah beberapa hari ini aku nggak liat tuh dokter. Dia dokter super sibuk ya?" Aku menyeruput coklatku lagi.
" Mas Ravi sakit mbak, udah tiga hari ini."
" Loh, iyakah? Serius?"
" Iya. Tapi yang bener-bener nggak bisa ngapa-ngapain baru dua hari ini. Jadi dia izin nggak bisa ke rumah sakit. Makanya barusan kami jengukin dia."
" Dokter bisa sakit juga ternyata."
" Ya iya lah mbak. Kami-kami ini juga masih manusia biasa. Pasti ada saatnya kami jatuh sakit."
" Bercanda, Ris." Aku meringis. " Sakit apa dia?"
" Demam tinggi mbak. Kecapean mungkin. Soalnya dia salah satu dokter paling sibuk di rumah sakit kami. Iya kan mas?"
" Iya. Dia itu bisa dibilang multitalent banget lah. Apa-apa dia bisa nanganin."
" Wah, ada ya, orang kaya gitu?"
" Ravi memang sejak kuliah dulu udah jadi asdos mbak. Dia sering jadi tangan kanan dosen. Bahkan waktu kuliah dia udah sering diajak dosen buat terjun langsung ke medan operasi sekedar untuk mengamati."
" Kamu satu kampus sama dia Ga?"
" Malahan satu kelas mbak."
Aku manggut-manggut mengerti.
" Pesanan nomor sembilan!" teriak salah satu petugas cafe.
" Mbak, pesanan kami udah jadi. Kami langsung pamit ya."
" Oke. Hati-hati dijalan."
" Iya mbak, hati-hati juga nanti."
"..."
***
Ting!
Aku merapatkan kembali jaketku begitu keluar dari lift dan bergegas menuju apartemenku. Aku berhenti sejenak begitu melihat pintu unit sebelah selalu tertutup seperti itu beberapa hari terakhir. Apa aku harus jenguk dia ya?
" Eh jangan ding. Canggung pasti ntar." Aku menggeleng dan langsung menekan password kemudian cepat-cepat masuk.
Begitu masuk apartemen, aku langsung berlari menuju balkon kamar dan diam sejenak disana. Entah kenapa setelah tahu dari Risa sama Arga kalau Dokter Ravi sakit, tiba-tiba aku kepikiran. Aku juga nggak tahu kenapa begini. Kami bahkan tidak cukup dekat untuk saling memikirkan satu sama lain.
" Ngapain juga, aku mikirin tuh manusia patung. Dia aja belum tentu inget kalau punya tentangga." Aku menggumam sendiri.
Hoek!
Aku langsung terdiam begitu mendengar suara itu.
Hoek!
Mataku melebar begitu suara orang muntah terdengar sekali lagi ditelingaku.
Prang!
Kali ini mataku membulat sempurna begitu mendengar suara benda jatuh dengan begitu kerasnya. Tanpa berpikir dua kali aku langsung keluar apartemen dan mengetuk pintu unit sebelah.
" Dokter! Dokter ada di dalam?" Aku mengeraskan suaraku sambil terus mengetok pintu dan memencet bel. Secuek-cueknya aku, aku paling nggak bisa membiarkan ada orang sakit di sekitarku sementara aku hanya diam saja.
" Dokter! Dok---" kalimatku berhenti begitu pintu apartemen dibuka dari dalam dan penampakan pertama yang aku lihat membuatku menutup mulut. Bukan karena aku mencium bau nggak sedap, tapi aku terlalu shock melihat kondisi Dokter Ravi yang wajahnya pucat minta ampun.
" Ada perlu apa?" Tanyanya dengan suara pelan nyaris nggak terdengar.
" Eee itu. Eeee..." Aku menggaruk tengkukku yang sama sekali nggak gatal.
Duh, aku ngomong apa ini? Aneh nggak sih, kalau aku bilang aku mengkhawatirkan dia? Pasti aneh kan? Ntar dikira aku suka sama dia lagi. Tapi serius, melihat Dokter Ravi kaya gini, aku nggak tega. Bagaimanapun juga, dia pernah menolong Rivan.
" Kalau nggak ada perlu, maaf pintunya-"
" Saya ada perlu sebentar." Potongku cepat. Tanpa dipersilahkan masuk, aku main nyelonong gitu aja.
" Vi..."
Dokter Ravi memanggil namaku dengan suara sangat pelan dan lemah. Entah kenapa ya, panggilan 'Vi'-nya barusan terdengar sangat akrab ditelingaku. Padahal kami sangat jarang terlibat interaksi berdua. Kok bisa gitu ya?
" Aduh! Dok, gimana ya?" aku udah kaya orang linglung bingung mau ngapain.
" Kamu mau apa?" Suara lemahnya semakin membuatku nggak tega.
" Dokter udah makan?" Tanyaku akhirnya.
" Kenapa? Kamu mau buatin saya makanan?" tanyanya sambil berjalan pelan masuk ke kamarnya. Loh, dia malah pergi.
Ini beneran aku dicuekin? Aku ini mau bantu dia loh?
Satu menit
Dua menit
...
Aku masih berdiri mematung nggak tau mau ngapain. Sumpah aku kaya orang b**o sekarang. Apa aku keluar lagi aja ya?
Pyar!
Tiba-tiba suara benda jatuh terdengar lagi. Namun suara kali ini lebih terdengar seperti barang pecah. Praktis aku berlari masuk ke kamar Dokter Ravi dan yang aku lihat saat ini adalah dokter Ravi yang sedang berdiri di sisi ranjang dengan dua gelas jatuh di depannya. Kedua gelas itu sama-sama pecah terbelah menjadi beberapa bagian.
" Dok?"
Dokter Ravi melihat kearahku sejenak sebelum akhirnya berbaring di ranjangnya dan membiarkan dua gelas malang itu.
Aku keluar sebentar untuk mencari sesuatu yang bisa aku gunakan untuk menaruh gelas pecah itu. Setelah gelas itu aku singkirkan, aku kembali menghampiri Dokter Ravi yang tidur dengan mata terpejam rapat. Sepertinya demamnya nggak main-main. Serius ya, wajahnya udah kaya mayat hidup. Bibirnya bahkan sampai putih karena saking pucatnya.
" Dok, maaf ya..." lirihku sembari menyentuh dahinya dan aku cukup terkejut karena suhu badannya benar-benar tinggi.
Duh, gimana ini? Aku harus ngapain? Sumpah aku ngga tega ngebiarin anak orang sakit begini. Tapi masak iya aku krusak krusuk di rumah orang nyari obat atau apapun yang kira-kira bisa membantu?
" Dok, saya telfon Risa sama Arga ya? Saya nggak tahu harus gimana." Ucapku lirih.
" Saya ambil hape dulu, nanti saya balik lagi." Lanjutku.
Aku baru ingin beranjak pergi mengambil hape ketika tiba-tiba pergelangan tanganku ditahan.
" Jangan pergi. Temani saya disini..."
"...? "
***