4. Perlawanan

1281 Kata
Sejak pertengkarannya dengan Ayu, pulang ke rumah semakin terasa seperti pulang ke penjara bagi Bisma. Meski mereka sudah tidak pernah membahas masalah itu lagi dan Ayu pun berusaha keras untuk bersikap biasa-biasa saja, terlebih di hadapan keluarga dan anak-anaknya, namun Bisma tahu jika kini Ayu memonitor gerak-geriknya selama dua puluh empat jam. Ponsel Bisma yang waktu itu dibanting oleh Ayu kini dikuasai oleh istrinya itu, sementara Ayu memberi Bisma ponsel baru yang Bisma yakini sudah diberi pelacak. Dan Bisma pun yakin sekali jika Ayu juga sudah menyuruh orang-orangnya untuk mengawasi Bisma, termasuk di kantor. Kini, Ayu yang semula cuek dan terkesan tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Bisma, berubah jadi terlalu peduli. Mengawasinya seperti Bisma adalah seorang penjahat yang tidak boleh lepas dari pandangannya. Bisma tahu, kelakuan Ayu yang seperti ini disebabkan oleh kesalahan yang dibuat Bisma sendiri. Hanya saja, sikap Ayu ini sama sekali tidak membuat Bisma ingin berubah jadi lebih baik atau kembali mendekatkan diri kepada Ayu. Kebalikannya, Bisma justru merasa tercekik dan kini merasa jika keadaan mungkin saja akan jauh lebih baik jika dirinya bisa lepas dari jerat sang istri. Ini akan terdengar sangat b******k, tetapi jika harus jujur, kini Bisma sangat mengkhawatirkan Shasha. Sejak tahu Ayu telah mendatangi Shasha ke Surabaya dan mempermalukannya di depan rekan kerja serta keluarga besarnya, Bisma sama sekali tidak bisa menghubungi Shasha. Akses untuk menghubungi Shasha memang masih ada, bahkan Bisma hapal nomor Shasha di luar kepala. Namun, dengan segala pengawasan Ayu dan ancaman yang diberikannya, Bisma tidak bisa melakukan itu walaupun sebenarnya ia mampu. Ayu sukses membawa Bisma ke dalam genggamannya dengan mengancam melalui anak-anak serta kehidupan Shasha ke depannya. Bisma tentu tidak bisa jika tidak diizinkan bertemu dengan anak-anaknya lagi. Dan ia pun tidak mau jika Ayu semakin menghancurkan kehidupan Shasha, di saat bukan hanya Shasha yang bersalah. Baru beberapa hari berlalu sejak Bisma berada dalam pengawasan ketat Ayu, namun rasanya sudah seperti berminggu-minggu akibat waktu yang seolah berdetik melambat akibat ketidakbebasan. Bisma hanya bisa menenangkan diri dengan berada sedikit lebih lama di kantor. Setidaknya, lebih baik ia berada di ruang kerjanya sendirian, daripada harus pulang cepat dan merasa sesak karena sang istri. Hari ini pun, Bisma berniat melakukan hal yang sama. Padahal, pekerjaannya sudah lama selesai dan yang dilakukannya hanya melamun di ruang kerja. Memikirkan segalanya. Hingga tiba-tiba, telepon di ruang kerjanya berdering. Hanya sekretarisnya yang bisa menghubungi lewat telepon itu. Tanpa berfirasat apa-apa, Bisma menerimanya. "Kenapa, Dewi?" "Maaf, Pak Bisma. Ada seseorang yang daritadi maksa mau ketemu Bapak, tapi belum ada janji sebelumnya." Bisma menghela napas. "Kamu kan tau protokolnya gimana. Saya nggak suka ditemui sama orang yang belum punya janji sama saya." "Iya, Pak, maaf. Saya sudah menjelaskan berkalu-kali tapi orang ini tetap memaksa dan tidak mau pergi sampai ketemu Bapak." "Orang ini siapa?" "Dia cuma menyebutkan namanya sebagai Shasha." Gagang telepon yang digenggam oleh Bisma sukses terlepas dari tangannya mendengar nama itu. *** Dua hari setelah mengetahui bahwa dirinya hamil, Shasha memberanikan diri untuk bertindak nekat. Bisma masih belum bisa dihubungi, dan karena itulah, Shasha berniat untuk mendatanginya secara langsung guna meminta pertanggung jawaban. Shasha sudah tidak peduli lagi jika akan mengancamnya atau lebih menghancurkan hidupnya. Karena Shasha sudah punya senjata yang akan digunakannya untuk melawan. Akan terasa tidak adil jika hanya dirinya yang menderita, bukan? Jadi, lebih baik mereka menderita bersama. Meski sebelumnya tidak pernah datang ke kantor tempat Bisma bekerja, tetapi Shasha selalu tahu dimana lokasi kantor Bisma terletak. Ia jadi menyesal baru terpikir untuk mendatangi Bisma langsung sekarang. Seharusnya, kemarin-kemarin Shasha langsung saja pergi kesini, bukannya menyiksa diri dengan mabuk-mabukkan hingga hampir mati. Awalnya, Shasha sedikit kesulitan untuk menemui laki-laki itu karena pihak resepsionis yang tidak mengizinkannya dengan alasan bahwa Bisma hanya bisa ditemui jika sebelumnya sudah ada janji. Namun, Shasha bersikeras memaksa dan tidak akan menggeser kakinya sedikit pun hingga ia diizinkan untuk bertemu dengan Bisma yang merupakan seorang pimpinan tertinggi di kantor tersebut. Pada akhirnya, pihak resepsionis pun menyerah dan menghubungi sekretaris Bisma. Tidak lama kemudian, Shasha pun diizinkan untuk masuk ke ruangan Bisma Wiryawan. Tentu saja, Bisma tidak akan menolak jika tahu Shasha datang. Tatapan mata Bisma langsung tertuju pada Shasha begitu dirinya masuk. Dan tepat setelah sekretaris Bisma yang mengantarkan Shasha ke ruangan keluar, Bisma yang semula duduk di depan meja kerjanya langsung beranjak dan menghampiri Shasha. Mungkin kalian berpikir Shasha dan Bisma akan saling memeluk melepas rindu, seperti sepasang kekasih yang sudah lama terpisah. Walau memang kurang lebih kenyataannya begitu, namun Shasha tidak memeluk Bisma. Ia justru melayangkan satu pukulan di d**a laki-laki itu. Cukup keras, namun Bisma tetap bergeming. "Jahat kamu," ujar Shasha. "Aku tau." Bisa sama sekali tidak menyangkal, pun tidak menolak dan melawan ketika Shasha memukulnya lagi dan lagi. "Iya, Shasha. Aku tau aku jahat." "Aku dipermalukan di depan semua orang, diusir dari rumah, dan bahkan sekarang nggak ada muka untuk balik ke rumah sakit dan ngelanjutin residensi aku. Aku nggak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi, aku kacau, karena istri kamu. Tapi kamu malah hilang gitu aja. Kamu jahat banget!" "Maaf, Shasha...aku tau aku salah." Shasha tertawa sarkastik. "Kamu tau kamu salah dan pasti tau juga kalau aku nggak baik-baik aja, tapi kenapa kamu nggak muncul sama sekali, Mas? Bahkan sekedar nanya kabar aku pun enggak!" "Karena keadaannya membuat aku nggak bisa ngapa-ngapain." "At least you can try harder!" "I'm sorry," gumam Bisma. "Aku nggak bisa menghubungi kamu karena ancaman istri aku. Kalau aku ketahuan masih berhubungan sama kamu, aku nggak akan diperbolehkan ketemu sama anak aku lagi. Dan dia juga mengancam bakal semakin menghancurkan hidup kamu. Aku nggak mau itu Shasha." Shasha menarik napas dan menatap Bisma penuh emosi. Sebelumnya, ia ingin sekali menampar Bisma karena sudah meninggalkannya begitu saja. Tetapi, setelah mendengar penjelasan itu, ia tahu bahwa Bisma tidak punya pilihan lain. Benar tebakan Shasha, hilangnya Bisma berhubungan dengan istrinya. "Kamu seharusnya nggak disini, Shasha. Ayu mengawasi dua puluh empat jam, dia bakal tahu kalau kamu ada disini sekarang. Dan kalau sampai dia tahu, kamu—" "Aku nggak peduli, Mas," potong Shasha. Ia maju satu langkah sebelum memeluk Bisma. "Hidup aku udah terlanjur hancur. Terserah dia mau apa. Yang penting aku butuh kamu." Bisma terdiam di pelukan Shasha. Tidak membalas, dan tidak pula melepaskan diri. "Nggak bisa begini, Shasha..." "Mas, aku nggak punya siapa-siapa lagi." "Aku juga mau sama kamu, tapi aku nggak bisa lepas dari Ayu. Anak aku..." "Tapi aku juga butuh kamu karena aku bakal punya anak kamu!" Bisma melepaskan dirinya dari pelukan Shasha dan memandang perempuan itu dengan terkejut. "Maksud kamu apa?" Tanpa menjawab, Shasha membuka tas yang dibawanya dan mengambil sesuatu dari sana, kemudian langsung menunjukkan benda itu kepada Bisma. Spontan kedua mata Bisma membelalak melihat sebuah test pack dengan dua garis merah yang ada di tangan Shasha. "Aku hamil anak kamu, Mas. Kamu nggak bisa ninggalin aku." Dari cara Bisma yang terdiam saat ini, Shasha rasanya bisa membaca apa yang ada di pikiran Bisma sekarang. Terkejut, tentu saja. Panik, iya. Dan yang terakhir, takut. Bisma ketakutan. Dan tidak, sama sekali tidak ada raut bahagia di wajah Bisma setelah mendapat kabar ini. Hati Shasha sedikit sakit menyadari itu. "Shasha...kamu..." Bisma masih menatap Shasha tidak percaya. "Kalau kamu pikir aku bohong, kita bisa periksa ke dokter sekarang dan buktiin sendiri." Bisma terduduk lemas di salah satu sofa yang ada di ruangannya. Ia memegangi kepala dengan frustasi. Kabar Shasha hamil sama sekali bukan kabar yang menyenangkan baginya, melainkan sebuah kabar buruk yang Bisma yakini akan memperburuk keadaan. Ketika Bisma kembali mendongak untuk menatapnya, Shasha menggelengkan kepala dan berkata tegas, "Aku nggak akan menggugurkan anak ini dan Ayu sudah tahu itu." "Apa?" Pertanyaan Bisma terjawab oleh pintu ruangannya yang terbuka tiba-tiba, menghadirkan Ayu yang masuk dengan wajah marah. Sebelum pergi kemari, Shasha memang sudah terlebih dahulu menghubungi Ayu. Ayu berlari menghampiri Shasha dan dengan emosi, langsung meraih kerah kemeja perempuan itu. "b******k!" Teriak Ayu tepat di depan wajah Shasha. Shasha hanya tersenyum senang. Dan dengan ini, perlawanan Shasha resmi dimulai. . . . . . A/n : Jujur nulis ini tuh emosi banget karena aku nggak suka sama semua karakternya hahaha tapi yaudahlaya sekali kali nyoba sesuatu yang baru hihiw
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN