3. Solusi

1799 Kata
Selama Selama tiga hari berturut-turut, Shasha hanya mengurung dirinya di kamar hotel dan minum minuman keras hingga dirinya mabuk berat dan hanya bisa terkapar di atas tempat tidur. Shasha sungguh f****d-up. Akan tetapi, setidaknya pengaruh alkohol yang membuat kepalanya berat dan dirinya nyaris hilang kesadaran, bisa menghilangkan sesaat beban yang ada di pikirannya. Shasha tidak peduli jika semua minuman yang ditelannya itu bisa membuatnya sakit atau bahkan overdosis. Hangover berat yang harus dihadapinya setiap pagi pun tidak dianggapnya sebagai suatu masalah yang besar. Mau muntah-muntah hingga seluruh isi perutnya habis sekali pun, Shasha sungguh tidak peduli. Mungkin, jika dirinya sampai mati, ia justru akan bersyukur. Karena masalahnya bisa selesai dalam sekejap. Dan kondisinya pun juga sama saja. Mau hidup atau mati, sudah tidak ada lagi yang peduli padanya. Selama dirinya mabuk, Shasha tidak tahu apa saja yang dilakukannya. Satu-satunya yang dia ingat hanya minum, minum, dan minum. Lalu, mengirimi Bisma berpuluh-puluh voice mail yang sampai sekarang tak kunjung mendapat balasan apa-apa. Padahal Shadha sudah menangis, merengek, hingga memohon agar Bisma membantu dan menemaninya sekarang dan ia memberitahu Bisma kalau sudah tidak punya siapa-siapa lagi yang peduli padanya. Mengatakan itu semua tentu membuat Shasha harus membuang dan menginjak-injak harga dirinya sendiri, namun meski begitu, dirinya tetap tidak mendapat balasan apapun dari Bisma. "b******k! Bisma b******k!" Teriak Shasha sendirian entah sudah yang ke berapa kalinya hari ini. Lalu, ia menangis sembari sesekali minum dari botol whiskey yang ada di tangannya. "Lo bilang cinta sama gue tapi sekarang gue dibuang kayak sampah! BISMA b******k! b******n!" Tangisan Shasha kini sudah berubah jadi sebuah isakan. Hatinya sakit sekali karena hidupnya sekarang jadi seperti ini. Jika waktu bisa diputar kembali, ia tentu akan memilih tidak akan terlebih jauh dari Bisma. Atau kalau bisa memutar lebih lama lagi, ia ingin bertemu Bisma lebih dulu daripada Ayu. Supaya Shasha bisa berbahagia dengan Bisma tanpa gangguan Ayu yang kini sudah menghancurkan hidupnya. Shasha pun yakin, Ayu pasti ikut andil dalam memisahkan dirinya dan Bisma sekarang. "AYU GILAA! GUE BAKALAN BUNUH LO AYU! b******k!" Hanya suara tangisan Shasha yang selanjutnya terdengar di seisi kamar hotel itu hingga beberapa menit kemudian. Akibat isakannya sendiri, Shasha hampir saja tidak mendengar suara bel dan ketukan di pintu kamarnya. "Mas Bisma!" Nama itu langsung terucap dari bibirnya begitu akhirnya ia menyadari suara ketukan di pintu. Shasha hampir terloncat dari tempat tidur dan berlari dalam keadaan setengah oleng menuju pintu. Ia benar-benar berharap akan melihat Bisma ketika nanti dirinya telah membuka pintu kamarnya. Hanya saja, harapan Shasha itu berujung sia-sia. Sebab, bukan sosok Bisma yang menyambutnya ketika pintu itu terbuka, melainkan sosok perempuan yang tengah hamil besar. Melihat perempuan itu membuat Shasha berdecih jikik. Padahal, seharusnya yang terjadi adalah sebaliknya. Akan lebih cocok jika perempuan itu yang berdecih melihat kondisi Shasha saat ini. Namun, perempuan itu tidak melakukannya dan hanya memandang Shasha prihatin. "Damn, dearest cousin. You're indeed so f****d-up." Shasha tidak kuasa merespon apa-apa, karena dirinya sudah terlebih dahulu jatuh ke lantai dan hilang kesadaran akibat terlalu mabuk. Sebelum pandangannya berubah menjadi sepenuhnya gelap, yang terpikirkan terakhir kali olehnya adalah kenyataan bahwa yang datang menghampirinya bukan lah Bisma. Melainkan sosok Hara Arimbi Paramartha, sepupu yang paling dibencinya, sekaligus seseorang yang sama sekali tidak diharapkannya untuk datang. *** Shasha tidak tahu sudah berapa lama ia hilang kesadaran, yang pasti ketika dirinya terbangun, kepalanya sangat sakit hingga terasa seperti dipukul sebuah godam. Ia spontan memegangi kepala dan mengerang keras akibat sakit yang menerpa kepalanya saat ini. "Kalau nggak mau sakit kepala, ya jangan minum-minum." Suara familiar itu membuat Shasha spontan menoleh ke samping dan mendapati Hara sedang duduk di sofa yang ada di kamar itu dengan posisi kedua tangan terlipat di depan d**a. Seperti biasa, Hara menunjukkan ekspresi tidak ramah terhadap Shasha. Dan Shasha pun melakukan hal yang sama. "Ngapain lo disini?" Tanya Shasha ketus. Hara tertawa sarkastik. "Helo? Lo bisa ngomong begitu di saat lo sendiri yang nelfon gue nangis-nangis dan minta gue nyamperin lo ke hotel ini? Nggak jelas." Shasha terdiam dan dalam hati mengumpat. Dirinya pasti sudah salah telepon ke Hara saat sedang mencoba menghubungi Bisma dalam keadaan mabuk berat. "Tau sikap lo bakal begini, mending gue biarin aja. Nyesel udah khawatir dikit sama lo dan udah nyeret lo ke dari lantai ke tempat tidur pas lo pingsan tadi. Lo pikir aja deh, gimana perjuangan gue yang udah hamil tua ini waktu ngangkat lo tadi." Shasha mendengus. "Kalau emang nggak ikhlas bantu, harusnya lo pulang aja." "Gue nggak mau jadi orang terakhir yang bareng sama lo, misal lo mati. Bisa-bisa gue dituduh jadi pembunuh." "That would be great." "Sakit jiwa lo." "Oh, bahkan udah lebih dari itu." Hara tidak menjawab dan hanya memandangi Shasha yang masih terbaring di tempat tidur, sementara Shasha memilih melengos. Ia tahu, Hara pasti sedang mengasihaninya sekarang. Hara pasti sudah mengetahui masalah Shasha karena Ayu yang menyebarkan ke keluarga besarnya. Shasha sudah tidak heran jika Hara mengasihaninya, atau bahkan akan menghinanya sebentar lagi. Terlebih lagi, ini adalah waktu yang tepat bagi Hara untuk membalas hinaan-hinaan yang pernah Shasha berikan padanya waktu itu, ketika Hara harus menikah karena hamil. Akan tetapi, Hara sama sekali tidak mengeluarkan hinaan sedikit pun. Perempuan itu justru beranjak dari duduknya dan membawakan nampan berisi makanan yang ada di atas meja kepada Shasha. "Bangun," perintahnya. "Tadi rencananya gue mau pulang karena lo nggak bangun-bangun dan gue udah pesenin ini. Buruan di makan, supaya lo ngerasa enakan." Shasha memandang Hara aneh. Tidak percaya dengan sikap baik sepupunya itu. Selama ini, mereka tidak pernah akur. Lebih tepatnya, Shasha yang selalu mencari masalah dengan Hara karena menganggap Hara sebagai saingannha dalam keluarga besar mereka. "Kenapa diem? Jangan bilang lo mau gue suapin?" "Enggak!" Seru Shasha guna menjawab pertanyaan menggelikan itu. Perlahan, Shasha meruba posisinya dari berbaring menjadi duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Kepalanya masih pusing, namun rasanya lebih baik ketika ia bersandar. Hara terlebih dahulu menyodorkan segelas air putih pada Shasha, menyuruhnya untuk menghabiskan air yang ada di dalam gelas itu. Shasha menurut saja karena memang dirinya merasa haus. Selama beberapa hari ini, ia lebih sering menelan minuman beralkohol. Usai Shasha selesai minum, Hara hendak memberikan mangkuk berisi sup ayam kepada Shasha, namun Shasha menahannya karena serangan mual tiba-tiba. Shasha segera berlari menuju toilet untuk memuntahkan isi perutnya yang hanya berisi cairan sejak kemarin. Meski muntah tidak pernah jadi bagian yang mengenakkan saat hangover, namun Shasha jadi merasa lebih baik setelah mengeluarkan sisa alkohol dalam tubuhnya. Dan ia semakin jauh lebih segar setelah berkumur dan membasuh wajah. "Semua minuman lo udah gue buang dan ada baiknya lo ngga beli minuman lagi terus mabuk-mabukkan begini," adalah yang dikatakan oleh Hara setelah Shasha melangkah keluar dari toilet. "Mending lo balik ke rumah." Shasha mengedikkan bahu santai. "Gue udah nggak punya rumah lagi. Gue udah diusir." "Gue yakin bokap lo nggak benar-benar serius ngusir lo." "You don't know him." Hara menghembuskan napas, sementara Shasha hanya melenggang santai kembali menuju tempat tidur dan mulai makan sup yang telah dipesankan oleh Hara untuknya. Setelah memakan itu, Shasha baru sadar kalau dirinya lapar. "Terus sekarsng lo mau gimana?" "Minum-minum sampai mati?" "Lo nggak serius kan, Sha?" "Kenapa enggak? Gue udah nggak punya alasan hidup, nggak ada yang peduli sama gue lagi." "Kalau gue nggak peduli, gue nggak akan nyamperin lo kesini walaupun tahu lo salah telepon orang," ujar Hara. "Dan walaupun gue masih kesel banget sama lo dan bokap lo atas apa yang udah kalian omongin ke Rhea di hari pertunangannya sama Mas Jendra." Shasha hanya diam dan fokus pada makanannya. "Seharusnya lo selesaikan masalah lo dengan baik, bukannya begini. Jangan jadi pengecut dan lari dari masalah, terlebih lagi menyelesaikan masalah dengan cara bunuh diri." Lagi-lagi, Shasha memilih untuk diam, membuat helaan napas Hara terdengar lagi. "Gue bakal kasih tau Om Rudy gimana keadaan lo." "Dia nggak akan peduli." "Kita nggak pernah tau, kan?" Hara melirik jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Gue harus balik ke rumah sakit, sebentar lagi suami gue bakal jemput disana. Lagian, udah berjam-jam gue nungguin lo." "Pergi aja." Hara berdecak. "Pokoknya lo jangan mabuk-mabukkan lagi. Daripada lo minum dan ngabisin duit, mending lo pikirin solusi atau mulai menata hidup lo lagi supaya jadi lebih baik," ujarnya. "Ingat, Sha, setiap masalah pasti ada solusinya. Ada pelajarannya. Ke depannya gimana, itu urusan lo." Usai mengatakan itu, Hara melangkah menjauhi Shasha. Hanya saja, sebelum membuka pintu, ia berbalik lagi. "Lo bisa telepon gue kalau butuh sesuatu," pesannya. Bukannya mengiyakan, Shasha justru bertanya, "Kenapa lo masih peduli sama gue? Padahal selama ini gue nggak pernah baik sama lo." "Lo masih keluarga gue," ujar Hara simpel. Kemudian, ia mengusap perutnya yang sudah membesar. "Atau mungkin juga ini bawaan bayi sih. Dia mau gue berbuat baik dan salah satu perbuatan baik yang bisa gue lakukan ya...peduli sama lo." Setelah pintu kamarnya tertutup dan Hara pergi hingga kembali meninggalkannya sendirian, airmata Shasha jatuh begitu saja. Setelah merasa benar-benar tidak punya siapa-siapa, sikap Hara yang begitu membuat Shasha merasa setidaknya masih ada yang peduli padanya. Dan orang itu adalah Hara. Seseorang yang selama ini tidak pernah diperlakukannya secara baik meski mereka adalah keluarga. Hidup ini memang aneh, ya? *** Setelah Hara pergi, di sisa hari itu hanya dihabiskan Shasha dengan berpikir. Setidaknya sekarang ia bisa lebih bisa berpikir dengan jenih karena sudah tidak dipengaruhi oleh alkohol lagi. Kata-kata Hara terus terngiang di benaknya. Setiap masalah pasti ada solusinya. Shasha tahu, maksud Hara dengan solusi itu adalah solusi yang baik. Sebuah solusi yang tidak akan menyakiti siapa-siapa lagi dan bisa membuat kehidupannya berubah ke jalan yang benar lagi. Hanya saja, Shasha sama sekali tidak bisa memikirkan satu pun solusi yang baik. Sebab saat ini Shasha tidak punya apa-apa lagi kecuali dirinya sendiri. Dan dirinya pun tidak sebaik Hara. Sungguh, Shasha tahu kalau dirinya bukanlah orang baik sehingga memikirkan sebuah solusi yang baik sama sekali tidak bisa dilakukannya. Shasha justru terpikirkan sesuatu. Ketika melihat Hara yang hamil besar, Shasha teringat bahwa dia pernah menghina kondisi Hara yang sudah hamil sebelum menikah. Saat itu, Shasha benar-benar puas karena mengetahui ada celah yang pada akhirnya merusak kesempurnaan hidup Hara. Hinaan yang diberikannya pada Hara waktu itu pasti telah menyakiti hatinya. Mungkin, karena itu semesta ingin memberikan karma kepada Shasha yang waktu itu telah menghina Hara. Sebab setelah Shasha menghitung dan mengingat-ingat, ia sudah terlambat datang bulan selama nyaris dua bulan lamanya. Kesadaran yang menghantamnya itu membuat Shasha pada akhirnya meninggalkan kamar hotel untuk membeli sebuah test pack di sebuah mini market yang tidak jauh dari hotel tempat menginapnya. Ia langsung menggunakan test pack tersebut di toilet mini market. Tangan Shasha gemetaran begitu melihat hasil yang ditampilkan pada test pack tersebut. Hasilnya adalah dua garis merah. Dan itu artinya...Shasha positif hamil. Setiap masalah pasti ada solusinya. Kata-kata Hara kembali terngiang di benaknya. Hanya saja Shasha tidak yakin jika hasil di test pack itu bisa menjadi solusi yang bisa membuat segalanya jadi lebih baik. Justru, kemungkinan itu hanya akan menjadi solusi yang semakin memperkeruh keadaan. Tetapi, baik atau buruk, Shasha sudah tidak peduli. Setidaknya, ia tetap mempunyai sebuah solusi yang bisa membuat Bisma tidak akan mengabaikannya lagi. . . . . . A/n : Kalau disini ada yang pembaca For Baby's Sake, aku mau kasih tau kalau timeline cerita ini pas Hara nyamperin Shasha itu nggak lama setelah acara pertunangannya Jendra yaa dan Hara masih hamil anak pertamanya... Berarti ini sebelum timeline cerita My Cat-Daddy Boss hehe.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN