Tujuh

1656 Kata
“Sudah semakin dingin, masuk ke kamar kamu sana,” perintah Regan, sementara Renata masih memandang hamparan langit sambil berbaring nyaman. “Kakak masuk duluan aja, aku masih betah disini,” ucap Renata. “Nanti diculik setan, mau?” “Kak Regan jangan nakutin sih! Lagian kok tau aku lagi di luar? Aku kan nggak minta kak Regan nemenin aku?” cebik Renata sambil duduk, rupanya dia takut juga dengan makhluk tak kasat mata yang diucapkan Regan barusan. “Tadi mau ke toilet, pas liat jendela ternyata ada kamu disini,” ucap Regan, “cepat masuk, anginnya semakin dingin, apa mau tidur sama Safiza? Biar aku yang di kamar kamu?” tanya Regan. Renata melihat ke kamar milik Regan lalu melirik ke kamar dirinya dan menggeleng. “Nggak deh, aku tidur sendiri aja,” jawabnya. Lalu dia berdiri dan mengambil ponselnya yang tergeletak, lalu berjalan menuju kamarnya, sepertinya dia mulai mengantuk lagi. Regan menunggu sampai Renata masuk ke dalam biliknya, lalu dia bangkit seraya membawa bekas sampah cemilan Renata yang ditinggalkan disana, serta gelas kopi milik gadis itu menuju kamar nya sambil menghembuskan napas kasar. Di kamar, Renata hanya berguling-guling saja karena beberapa lama memejamkan mata pun  dia tetap tak bisa pulas. Akhirnya dia berjalan menuju sofa dan memilih menyalakan televisi yang entah sedang memutar siaran apa? Karena dia berniat mengusir sepi saja dengan suara yang keluar dari televisinya. Dan membaca pesan masuk ke ponselnya yang ternyata ada pesan grup baru. Renata melihat  ada satu ruangan grup yang dia sangat asing sekali namanya. Tertulis tahunnya dan nama kampusnya. Rupanya itu adalah grup angkatannya yang terdiri dari hampir dua ratus nomor mahasiswa. Renata membaca banyak sekali pesan di grup itu yang isinya berkenalan, dia membaca satu persatu dan menyimpan kontak mereka. Renata melihat ada yang me-mention nomor ponselnya dan menanyakan namanya. Tanpa pikir panjang Renata langsung membalasnya. Renata Indah Sandiaga, lahir tanggal 14 Februari. Tulisnya, waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika dia mengirim pesan itu. Renata lupa masih terlalu dini hari, dia sungguh takut mengganggu teman satu grupnya, karena itu dia menjauhkan ponselnya sambil memejamkan sebelah mata. Rupanya ada yang membalasnya. “Hai salam kenal, aku Willi, kordinator kelas. Good night,” tulisnya seolah seolah meminta Renata untuk tak membalas pesan itu karena sudah lewat tengah malam. Renata tersenyum melihat pesan itu dan mengklik foto profil Willy, sepertinya lelaki yang seusia dengannya itu hobi naik gunung. Berpose diatas gunung dengan wajah tampannya dan jaket tebalnya, menggendong tas besar dan tersenyum lebar manis sekali. *** Renata baru tidur beberapa jam ketika mendengar suara Safiza yang membangunkannya. “Re, bangun snorkling yuk,” ajak Safiza sambil mengguncang bahu Renata pelan. Renata berusaha membuka matanya dan melihat Safiza yang sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian untuk menyelam demi bisa melihat terumbu karang yang memang merupakan keistimewaan tempat ini. “Duluan deh Kak, lagi pula aku nggak bisa renang,” ujar Renata, memang rumah dia tak jauh dari pantai, namun jangan anggap dia bisa renang karena wanita itu selalu tenggelam ketika tubuhnya masuk ke dalam air entah mengapa? Dan dia juga tak kuat menahan napas panjang. “Ya sudah aku duluan, kamu nyusul yaa, pasir putihnya juga bagus lho,” ucap Safiza. “Iya, Kak.” “Sarapan sudah aku siapkan di meja ya, jangan sampai telat makan,” ucap Safiza dengan senyum lembutnya. “He-em,” jawab Renata pelan dan kembali memejamkan matanya, matanya terasa sangat berat karena baru tertidur ketika hampir pagi. Safiza berjalan bersisian dengan Regan yang juga memakai baju yang sama dengannya. “Masih tidur?” tanya Regan, membawa sepatu khusus menyelam miliknya dan milik Renata. “Ya, kasihan masih kecapekan sepertinya,” ucap Safiza, Regan hanya tersenyum lembut kepada Safiza, bersyukur karena istrinya ini sangat dewasa, padahal jika dipikir-pikir kehadiran Renata itu tak lebih lama dibanding masa mereka menghabiskan waktu bersama. Namun dengan besar hati Safiza bisa menerima Renata sebagai adiknya, itulah yang membuat Regan selama ini tak bisa berpaling dari Safiza, sifat dewasanya dan juga kelembutan hati yang tak pernah dimiliki wanita lain manapun yang pernah Regan kenal. Melihat terumbu karang berwarna warni dengan ekosistem laut yang sangat indah membuat Safiza dan Regan betah berlama-lama menyelam dan menikmati pemandangan itu, mereka memang beberapa kali berlibur bersama untuk snorkling dan menikmati biota alam bawah laut. Sementara itu Renata mengambil ponselnya dan melihat jam yang tertera, perut nya terasa lapar. Dia pun teringat ucapan Safiza yang telah menyiapkan sarapan untuknya. Renata berjalan menuju meja di ruang televisi tersebut, lalu memilih menyalakan televisi sambil menikmati nasi goreng seafood yang cukup nikmat di mulutnya meskipun sudah agak dingin karena dia yang tertidur terlalu lama. Sambil melihat pesan grup yang ada diantara menanyakan tentang tempat tinggal Renata dan hal lainnya yang berhubungan dengan perkenalan mereka. Renata tak membalasnya dengan jujur, tak mungkin dia bilang dia tinggal bersama suami dan istri keduanya. Dia pun memutuskan menulis bahwa dia tinggal bersama kakaknya dan dia yang perantauan dari desa. Sesungguhnya dia sangat ingin menyembunyikan identitasnya yang merupakan menantu dari Wijaya pemilik Sanjaya group. Dan juga istri dari Regan Wijaya, CEO perusahaan tersebut. Dia hanya mau dikenal sebagai Renata, gadis biasa yang merantau ke Jakarta untuk kuliah dan tinggal bersama kakak serta kakak iparnya. *** Setelah menghabiskan sarapannya, Renata pun  memilih mandi dan mengganti bajunya dengan blouse putih dan celana bahan, sandal santai dan juga topi pantai yang lebar, dibawah matahari yang mulai terasa terik. Renata berjalan di titian jembatan dimana dia bisa melihat terumbu karang dari atas, air pantai ini sangat jernih, bahkan dia bisa melihat ikan-ikan kecil berenang kesana kemari. Renata memutuskan duduk di jembatan kayu itu, tak jauh darinya dia melihat Safiza dan Regan yang asik menyelam dan memperhatikan dari dekat biota bawah laut itu. Renta tersenyum melihat kemesraan keduanya, dia berharap suatu saat nanti dia menemukan pria yang dicintainya, yang bisa menghabiskan sisa hidup dengannya, dengan pernikahan yang bahagia. “Nona, ada telepon dari tuan Wijaya,” ucap salah seorang pengawal mereka yang berjalan mendekat ke arah Renata. Renata menerima panggilan itu yang berasal dari ayah Regan. “Ya, pa?” sapa Renata. “Kamu sedang apa?” tanya ayah Regan dari seberang sana. “Lagi menikmati pemandangan laut, indah banget disini,” jawab Renata ceria. “Kamu nggak apa-apa kan?” tanya ayah Regan suaranya terdengar khawatir. “Nggak apa-apa kok, memangnya ada apa?” kekeh Renata seolah tahu maksud ucapan dari ayah Regan yang mengkhawatirkan perasaannya ketika berada diantara Safiza dan Regan, namun Renata memastikan bahwa perasaannya untuk Regan tak lebih dari rasa sayang sebagai kakak saja, sungguh dia tak merasakan apapun seperti perasaan perempuan dan laki-laki yang saling mencintai pada umumnya. Tak ada debaran khusus saat bersama Regan, justru dia ikut senang melihat kebahagiaan dan kemesraan Safiza dan Regan. “Syukurlah kalau tidak apa-apa, karena sepertinya yang ngedrop justru mama kamu, sedih dari kemarin,” ujar ayah Regan, Renata menunduk dan tersenyum. “Mama mana?” tanya Renata, dan sepertinya ayah Regan memberikan ponselnya pada ibu Regan. “Nak,” sapanya dengan suara yang sengau seperti habis menangis. “Mama sakit?” tanya Renata khawatir. “Ya, agak flu sedikit,” bohong ibu Regan. “Maafkan mama ya Nak, atas pernikahan ini, atas apa yang terjadi antara kamu dan Regan,” tuturnya tak terasa air mata kembali mengalir membasahi pipinya. “Ma, aku nggak apa-apa, sungguh. Aku malah seneng punya kakak dan orang tua lagi, mama tahu kan dari bayi aku sudah yatim piatu, aku senang mendapat kasih sayang dari mama dan papa, itu sudah cukup untukku, Ma.” Renata tulus mengucapkan itu, kasih sayang dari nenek dan orang tua memang terasa berbeda, dan dia yang diterima dengan baik oleh orang tua Regan yang memperlakukannya layaknya anak sendiri membuat hatinya menghangat. Perhatian dari ibu Regan yang juga memanjakannya dan mengajaknya kemanapun dia pergi, juga ayah Regan yang selalu menerima panggilannya meskipun sedang meeting atau bertemu klien dan seolah tak terganggu dengan Renata yang terkadang hanya iseng menanyakan dimana dia berada atau meminta difotokan tempat sang ayah berada, lucu memang, namun dia sangat suka melihat foto kegiatan ayah Regan yang tampak sibuk namun tetap tersenyum ketika mengirim foto dirinya ke Renata. “Nak, kalau kamu tidak nyaman, pulang duluan ya, nanti bilang mama, agar diantar sama pengawal pulang,” ucap ibu Regan. Renata hanya terkekeh menanggapinya. “Aku nggak apa-apa Ma, beneran, lagipula disini pemandangannya bagus, tempatnya nyaman,” jawab Renata. “Tapi mama yang tidak nyaman nak,” ujar ibu Regan terdengar terisak. “Mama ke dokter ya, suara mama serak sekali pasti sakit tenggorokan mama,” ucap Renata tak berpikir bahwa isakannya adalah suara kesedihan akan nasib Renata yang dimadu, Renata justru berpikir flu ibu mertuanya sangat berat sehingga suaranya terdengar seperti itu. Hingga ibu Regan tak kuat dan memberikan ponsel tersebut ke ayah Regan lagi yang memang berada di sampingnya. “Ya Ren,” tutur ayah Regan. “Flu mama sepertinya berat Pa, ajak ke dokter nanti ya, kasihan mama,” ucap Renata padahal yang seharusnya dikasihani adalah dirinya. “Iya. Ren, kalau terlalu berat kamu pulang duluan ya, kita berlibur bertiga, kamu mau kemana? Paris? Sydney, atau belanja di Singapore? Sama papa dan mama,” ucap ayah Regan. “Nggak mungkin Pa, lusa aku sudah kuliah, nanti kapan-kapan aja kalau aku libur kuliah ya, kita jalan-jalan bertiga,” ucap Renata ceria. “Ya sudah kalau begitu, kamu jaga diri ya disana,” ucap ayah Regan. “Iya Pa, semoga mama lekas sembuh yaa, bye.” Renata memutuskan panggilan itu dan menoleh pada pengawal untuk memberikan ponselnya, dia memang lupa membawa ponselnya di kamar, mungkin ayah Regan sudah menelepon ke ponselnya yang tak dijawab sehingga meminta pengawal itu memberikan ponsel pribadinya. “Ada yang bisa saya bantu, Nona? Atau nona mau berjalan-jalan? Saya antar ke tempat yang bagus,” ucap pengawal bertubuh besar itu. Renata menggeleng. “Mau disini sebentar, oiya boleh minta es kelapa, di pinggir pantai paling enak minum es kelapa,” ucap Renata. “Disini terlalu panas, saya khawatir kulit nona terbakar, bukankah sebentar lagi masuk kuliah? Penting menjaga penampilan nona,” ucapnya dengan wajah datar, terkadang Renata berpikir apakah semua pengawal tak mempunyai ekpresi, mengucapkan apapun dengan wajah datar. “Disana ada tempat terlindung, dibawah pohon, pemandangannya juga bagus,” imbuh pengawal itu, menunjuk ke suatu tempat yang agak jauh, ada ayunan yang digantung diantara dua pohon, Renata pun mengangguk dan menerima ajakan pengawal itu, betul kata sang pengawal bahwa dia sebentar lagi masuk kuliah, tak mungkin di pertemuan pertama, dia hadir dalam kondisi kulit yang belang terbakar sinar matahari. ***        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN