Prolog
Para pelayat mulai meninggalkan rumah sederhana yang berada di pelosok desa. Tampak gadis muda masih menangisi kepergian neneknya yang sedari kecil merawatnya. Dialah Renata, wanita kelahiran 18 tahun lalu yang baru saja lulus sekolah menengah atas hari ini. Hari yang membahagiakan baginya harus menjadi hari yang menyedihkan tatkala sang nenek, keluarga satu-satunya meninggalkannya seorang diri.
Bernama lengkap Renata Indah Sandiaga, mempunyai mata bulat yang indah seperti namanya, hidung mungil dan lancip, bibir tipis yang memerah karena terlalu banyak menangis, juga kulit putih bersih. Rambut panjang sebahu yang dibiarkan terurai, tak sempat mengikat karena kesedihannya.
“Nona Renata? Benar?” suara berat seorang pria memakai jas hitam dan berkacamata hitam membuyarkan lamunan Renata akan kenangan bersama sang nenek. Renata mendongak dan melihat pria yang sangat asing di matanya. Pria itu membuka kacamata hitam dan duduk di hadapannya.
“Kamu siapa?” tanyanya.
“Saya asisten pak Wijaya, sahabat dari mendiang ayah nona. Kedatangan saya kesini untuk membawa nona ke Jakarta, tinggal bersama keluarga Wijaya,” ucapnya meyakinkan. Renata memeluk lututnya ketakutan, beberapa warga yang ingin tahu meringsek maju, mencoba melindungi Renata. Hingga pria itu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto mendiang Sandiaga bersama orang yang disebut Wijaya sedang berangkulan bahu dan menunjukkan jempolnya di foto.
“Saya janji tak akan menyakiti nona, saya juga tak berbohong, jika nona tak percaya, kita bisa ke kantor polisi untuk meminta pengawalan?” ucap pria itu. Renata melihat ke arah warga yang saling berbisik ragu.
“Disana nanti nona bisa kuliah dan melakukan apapun yang nona mau, Pak Wijaya menjamin itu jika nona bersedia ikut saya.”
Renata tak punya pilihan lain, selama ini dia hanya tinggal berdua dengan sang nenek, namun setelah nenek meninggal dan di kebumikan, dia tak tahu lagi harus bergantung pada siapa, desa terpencil ini cukup menyeramkan bagi seorang gadis tinggal sendiri. Apalagi jarak antara satu rumah dengan yang lain cukup jauh. Karena itu dia memutuskan mempercayai pria di hadapannya dan mulai membereskan barang-barangnya.
Membawa foto dirinya dan kedua orang tuanya saat dia bayi, juga foto dirinya dan sang nenek yang diambil tahun lalu.
Mengikuti pria asing itu menuju kota Jakarta, yang merupakan kota metropolitan. Dan dia harus menempuh perjalanan cukup jauh, karena saat ini berada di Kalimantan.
***
Pengalaman naik pesawat untuk pertama kali membuatnya takut dan mual, setelah turun dari bandara, dia masih harus menempuh perjalanan darat dengan mobil yang terlihat sangat bagus, catnya mengkilat dan bannya cukup besar.
Mobil berhenti sejenak di depan gerbang rumah mewah dengan pilar tinggi yang menjulang. Warna rumah yang didominasi dengan cat emas dan silver menambah megah bangunan tingkat tiga tersebut.
Renata memperhatikan baju kumalnya, juga sepatu kets satu-satunya yang dipakai untuk sekolah dan sudah robek bagian belakangnya, tas sekolah yang sudah penuh jahitan karena nenek yang tak mampu membelikan tas baru. Sangat kontras dengan bangunan mewah di hadapannya.
Saat melangkah, terlihat beberapa pelayan membantu membawakan tasnya dan menyambutnya serta membukakan pintu untuk Renata.
Bagian dalam rumah itu pun tak kalah mewah, guci-guci besar di beberapa sudut ruangan juga lukisan besar yang menggantung di dinding. Tangga dari marmer yang hanya pernah dilihat Renata di televisi saja, kini dia bisa menyaksikan langsung.
Ditambah lampu gantung berukuran raksasa yang terlihat berkilauan. Terlalu larut mengagumi arsitektur rumah tersebut, membuat Renata tak melihat pria berumur paruh baya yang sedari tadi tersenyum ke arahnya, juga wanita seusia dengannya yang rambutnya tampak mulai memutih, memakai gaun hitam dengan kalung berlian yang indah, berdiri di sisi pria tadi.
Merekalah pemilik rumah ini, Pak Wijaya dan Ibu Wijaya.
“Selamat datang,” tutur Wijaya membuat Renata mengatupkan mulutnya dan menatap pria yang tersenyum ramah meskipun wajahnya terlihat kaku itu.
Wijaya mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Renata, Renata mengelap tangannya di baju, khawatir ada kotoran tertinggal sebelum membalas uluran tangan Wijaya.
“I-Iya Pak,” ucap Renata takut-takut. Wijaya tersenyum dan mengangguk, istrinya pun tersenyum dan menjabat tangan Renata.
“Nah itu dia sudah datang, Regan. Ini calon istri kamu sudah sampai,” ucap Wijaya pada pria dengan potongan rambut belah pinggir dan bertubuh tinggi, memakai setelan jas yang terlihat licin dan rapih. Renata menoleh ke belakang tubuhnya, dimana pria bernama Regan itu menghampiri dan tersenyum padanya. Renata tak membalas senyum pria yang tampak tampan itu. Kepalanya semakin bertambah pusing karena kata-kata ‘calon istri’ apakah dia tinggal disini untuk dinikahi?
Dan pertanyaan itu membuat perutnya bergejolak dia pun tak kuat lagi menahan untuk tak memuntahkan isi perutnya!
***