Sebelum Renata duduk diatas pasir pantai, seorang pelayan nampak menggelar alas seperti tikar berbahan parasut untuk Renata, lalu seorang pelayan lainnya membawakan kelapa muda yang telah diberi s**u dan es, juga hiasan payung kecil diatasnya lengkap dengan sedotan.
Terkadang Renata masih belum terbiasa atas perlakuan para pelayan yang melayaninya bak putri raja, namun ibu Regan bilang nanti dia akan terbiasa karena memang seharusnya seperti itulah dia, mendapat perlakuan yang istimewa sebagai istri dari CEO perusahaan besar tersebut.
Renata duduk dan menikmati es kelapa muda, hingga pengawal tadi masih berdiri di dekat Renata.
“Ada perlu sesuatu lagi, Nona?” sapanya. Renata memperhatikan wajah pria dewasa itu sembari tersenyum. Tubuhnya masih terlihat fit dan proporsional meskipun wajahnya tampak sudah berumur. Sepertinya dia termasuk pengawal senior keluarga Wijaya. Dan biasanya pengawal senior adalah kordinator yang mengawasi pengawalan anggota keluarga.
Karena Renata pun melihat Regan dan ibu mertuanya mempunyai satu pengawal yang seusia dengan pengawalnya ini.
“Temenin saya minum disini, boleh?” tanyanya, permintaan Renata adalah perintah bagi mereka karena itu pria tersebut meminta satu lagi kelapa muda untuknya. Dia pun memutuskan duduk di alas yang sama meskipun agak menepi.
“Bapak biasa dipanggil siapa?” tanya Renata ramah.
“Orang-orang panggil saya Paman, nama saya Ujo,” ucapnya dengan wajah tanpa ekpresinya.
“Usia?”
“Empat puluh tahun.”
“Punya anak?”
“Ada, dua, yang satu kelas tiga SMP yang kedua kelas 5 SD,” jawabnya dengan posisi siap membuat Renata terkekeh, entah mengapa dia justru merasa seperti menginterview calon karyawan.
“Yang jadi anak Paman pasti enak ya?”
“Kenapa?” tanya pengawal yang biasa dipanggil Paman itu sambil menoleh pada Renata.
“Mau berbuat kesalahan apapun pasti ekpresi Paman seperti ini, nggak kelihatan marah,” kekeh Renata. Ujo mengulum senyumnya sambil menggeleng.
“Tidak seperti ini jika dirumah, ini hanya formalitas kerja saja,” ucap nya.
“Jika aku meminta Paman untuk bersikap layaknya dirumah, ke aku. Bagaimana?”
“Maaf, Nona. Saya tidak bisa, menyalahi kode etik pengawal utama,” ujarnya sambil menunduk dalam. Renata hanya menghela napas kasar.
“Aku nggak punya teman disini, dunia ini adalah dunia baru untukku, papa bilang, Paman lah yang bertanggung jawab atas seluruh keamananku. Jika Paman menjaga jarak kepadaku seperti ini. Lantas siapa yang patut aku percayai?” ucap Renata sedih, Ujo tampak tak tega melihat ekpresi gadis itu, dia sangat tahu bahwa Renata mengalami hari yang berat sejak pertama datang kerumah itu. Menjadi istri pertama yang hanya status saja. Siapapun yang mendengarnya pasti akan iba.
“Baiklah jika nona ingin seperti itu, tapi jangan sampai yang lain tahu ya,” ucapnya sambil tersenyum, senyum pertama yang Renata pernah lihat sejak bertemu dengannya.
Mereka masih asik berbincang ketika Safiza tampak mendekat, dan Ujo menunduk hormat lalu berdiri dan berjalan beberapa langkah untuk memberi tempat bagi Safiza dan Renata berbincang. Renata memberikan senyumnya pada Safiza yang telah berganti baju dengan baju terusan selutut berwarna putih juga.
“Mau es kelapa, Kak?” tawar Renata dan Safiza pun menggeleng.
“Sudah minum, tadi. Foto bareng, yuk?” ajak Safiza, Renata pun mengangguk namun dia teringat ponselnya yang tertinggal di kamar. Dan seolah tahu apa yang ada di pikirannya, Regan datang menyodorkan ponsel milik Renata. Sama seperti Renata, Regan memakai kemeja berwarna putih yang lengannya digulung sampai siku. Renata memperhatikan baju mereka bertiga yang senada berwarna putih dengan bibir mencibir, bagaimana bisa sama meski tak janjian?
“Kenapa lihatnya seperti itu?” tanya Regan, Renata semakin memajukan bibirnya.
“Kenapa bajunya samaan? Putih-putih?”
“Kalau di tempat panas memang sebaiknya pakai putih, biar nggak menyerap panas, kayak itu aja nggak tahu?” rungut Regan. Lalu dia meminta Regan memfoto dirinya dan Safiza yang masih duduk di alas tikar itu.
“Disana bagus sepertinya,” ujar Safiza, menunjuk tempat yang pemandangannya mengarah ke laut bebas. Renata dan Safiza melakukan foto bersama yang dipotret oleh Regan.
Lalu Renata meminta Regan dan Safiza foto bersama, sementara dia yang mengambil gambarnya. Dan kemudian mereka berfoto bertiga dengan Renata yang berada di tengah, dirangkul bahunya oleh Regan, sementara Safiza memegang pinggang Renata, foto itu diambil oleh Ujo. Dan tampak senyum lebar diantara mereka yang entah mengapa justru membuat orang yang melihat akan sedih, pernikahan seperti apa yang dilangsungkan tiga orang ini?
“Mau jalan-jalan nggak?” tanya Safiza, setelah mereka puas mengambil banyak gambar. Namun Renata menggeleng, dia sangat malas berjalan-jalan dan lebih suka duduk di ayunan panjang yang dinaikinya sambil tiduran. Sehingga Safiza dan Regan berjalan berdua, padahal semula mereka ingin bertiga menikmati pemandangan itu.
Dan dengan baik hatinya, Ujo mengayun Renata perlahan. Seperti ayah mengindung anaknya, membuat Renata tertawa.
Renata mengupload foto tersebut ke story chat yang biasa dia pergunakan. Biasanya yang melihat story itu hanya anggota keluarganya saja, namun semalam tadi Renata banyak menyimpan nomor teman kampusnya. Mungkinkah ada yang menyimpan nomornya juga?
Renata memperhatikan nama-nama yang melihat statusnya, ternyata benar ada beberapa nama asing yang menyimpan nomor handphonenya dan melihat statusnya termasuk Willi.
Kebetulan Renata mengupload fotonya yang berdua dengan Safiza, lalu foto bertiga dengan Regan.
Sebuah pesan masuk pribadi cukup membuat Renata kaget, ternyata pesan itu dari Willi.
“Hai,” tulisnya. Yang langsung dibalas oleh Renata dengan kata, “hai juga, salam kenal.”
“Salam kenal, btw kamu yang mana?” tulis Willi.
“Coba tebak?” tanya Renata.
“Yang imut.”
“Bilang aja pendek.”
“Hehehe bukan aku lho yang bilang,” tulis Willi dengan icon tertawa terbahak-bahak sampai miring.
“Iya, iya, aku yang bilang,” tulis Renata dengan icon tertawa namun tidak miring.
“Itu kakak kamu?”
“Iya.”
“Yang cowok siapa? Foto satunya?” Renata tampak berpikir keras dia harus menjawab apa? Haruskah dia jujur? Tidak! Dia tak mau kehilangan teman pertamanya di kampus dengan kejujurannya yang tentu akan terasa aneh.
“Kakak aku yang cowok, yang cewek itu kakak ipar,” bohong Renata. Menganggap Regan sebagai kakaknya adalah cara paling aman, orang tak akan menyindirnya karena terlalu dekat dengan kakak ipar. Karena jika melihat dia bersama dengan Regan dan tampak akrab mereka akan maklum karena yang Renata akui kakak kandung adalah Regan, bukan Safiza.
“Pantas terlihat akrab. Tapi wajah dia kayak familiar deh, tapi aku lupa pernah lihat dimana?”
“Muka dia memang pasaran kok. Abaikan aja.”
“Oiya Kamu lagi dimana itu?”
“Honeymoon,” tulis Renata dengan menyebutkan nama tempatnya berlibur.
“Honeymoon???”
“Maksudnya nemenin kakak aku honeymoon,” ralat Renata.
“Kok orang bulan madu diikuti?” tulis Willi sambil tertawa.
“Ya sekalian liburan,” balas Renata. Dan mereka pun terlibat dalam pembicaraan seru, yang ternyata sebagai kordinator angkatan sangat ramah Willi dan wawasannya luas. Dia bahkan tahu tempat Renata berlibur.
***
Malam hari kedua, mereka masih menginap di tempat tersebut dan akan pulang saat pagi hari. Di malam ini, mereka bertiga asik memanggang ikan yang dibantu oleh pelayan mereka.
Sambil menikmati ikan bakar, Renata masih asik berbalas pesan di ponselnya. Meskipun sesekali pesannya dibalas lama oleh Willi karena pria itu yang pasti sibuk dengan kegiatannya.
Renata sungguh penasaran dengan wajah asli Willi yang sangat ramah terhadapnya. Dia berharap Willi tetap mau berteman dengannya setelah bertemu.
Regan mengantarkan ikan bakar lagi ke hadapan Renata dan Safiza, lalu duduk di samping Renata.
“Kak, di kampus nanti aku nggak mau pakai nama Wijaya,” ucap Renata.
“Kenapa?”
“Aku nggak mau orang-orang tahu aku punya hubungan dengan keluarga Wijaya, aku sudah terlanjur bilang kalau aku merantau di Jakarta, ikut kakak aku dan tinggal bersama kakak. Terus aku juga nggak mau mereka itu mengawal aku, kakak harus cari cara bagaimana? Terserah. Aku cuma mau jadi mahasiswi biasa,” ujar Renata sambil mencolek sambal dengan daging ikan dan menyuapnya.
“Tapi kamu kan memang menantu keluarga Wijaya, dimana-mana orang justru bangga dengan jabatan yang bagus itu, agar dihormati,” ucap Regan.
“Tapi aku nggak sama dengan mereka, aku nggak gila hormat. Tolong kakak usahain ya, aku bener-bener pengen jadi mahawiswi biasa pada umumnya,” ucap Renata dengan sorot mata memohon.
“Oke untuk pengawal, kakak bisa suruh mereka menjadi petugas keamanan kampus, atau meletakkan banyak kamera pengawas di sudut kampus, tapi masa kamu ngakunya tinggal sama kakak kamu, jangan bilang kamu juga bilang kalau belum nikah?” tanya Regan sambil membulatkan matanya. Renata hanya mengangkat bahunya acuh.
“Biar saja Ga, Renata masih muda, biar dia menikmati masa mudanya di kampus,” ucap Safiza sambil mengedipkan matanya ke Renata yang dibalas Renata dengan menunjukkan kedua jempolnya.
“Hmm oke, tapi inget kamu nggak boleh pacaran!” ancam Regan.
“Kak Fizaaaa,” rengek Renata kepada Safiza, Safiza hanya tersenyum kepada Renata dan menggeleng pada Regan.
Kemudian, Safiza meminta Regan mengambilkannya batu es untuk minum, dan sepeninggal Regan Safiza berbisik pada Renata, “kalau mau pacaran jangan sampai ketahuan ya, dan ingat jangan macem-macem, jangan sampai kamu menyerahkan mahkota kamu.”
Renata tersenyum senang dan mengangguk, ingin sekali memeluk Safiza yang sangat mengerti dirinya, namun tak mungkin karena tangannya kotor terkena ikan dan sambal kecap. Sehingga mereka hanya tos dengan punggung tangannya saja.
“Curiga nih!” ujar Regan ketika membawakan dua gelas es batu ke hadapan Renata dan Safiza melihat keduanya langsung berhenti berbicara saat Regan datang. Sementara Renata hanya menjulurkan lidah ke Regan.
“Terus yang jadi kakaknya siapa? Dan kakak iparnya siapa?” tanya Safiza.
“Kak Regan yang rese itu kakak aku, kak Safiza sebagai kakak ipar,” jawab Renata ceria. Safiza hanya menggeleng geli, senyum tak lepas dari bibirnya, melihat kepolosan Renata. Dia tak pernah menyangka bahwa istri Regan adalah perempuan yang polos dan sangat tulus.
***