Bab 4

1017 Kata
"Mas, kami harus pulang. Kasihan Abyan baru sembuh dan dia harus banyak istirahat. Soal yang kita bahas tadi, Mas bisa menemuiku besok di sini. Mas tidak perlu merasa tidak enak. Aku benar-benar sudah siap untuk mendengar kata talak dari Mas." Haifa berujar lirih, mungkin ia tidak ingin pembicaraan kami sampai didengar Abyan. Anak itu memilih menjauh dariku dan kembali menghampiri neneknya. Meski hati ini teramat kecewa, tetapi aku harus bisa mengerti akan keadaan Abyan. Putraku pasti merasa rendah diri karena keadaannya. Padahal, aku sangat ingin berlama-lama dengannya. Tidak bisa aku tepis perasaan haru ketika tangan ini berhasil menyentuh tangan mungilnya. "Mau aku antar? Kasihan Abyan kalau harus berjalan kaki. Rumah kamu gak jauh dari sini kan?" tawarku. "Lumayan jauh, tapi gak usah, Mas. Kami sudah terbiasa berjalan kaki," tolaknya. "Aku permisi," imbuhnya sebelum aku sempat mencegah. Entah kenapa lidah ini selalu saja terasa kelu jika ingin menawarkan sesuatu untuk Haifa. Hingga tanpa sadar mereka sudah menjauh dari pandangan. Haifa mendorong gerobak dan di sampingnya, Abyan berjalan dituntun oleh wanita yang ia sebut Nenek. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Istri dan anakku harus hidup sederhana sedangkan aku tinggal di rumah mewah dengan segala fasilitas yang lengkap. Tak terasa setetes bulir bening lolos dari netra ini. Rasanya, ingin aku mengejar mereka dan membawanya pulang ke Jakarta. Akan tetapi, lagi-lagi ego dalam diri menolak untuk melakukannya. Ponsel yang bergetar dalam saku celana mengalihkan fokus ini dari Haifa dan Abyan. Melihat nama Nesya yang tertera di layar membuatku menyadari sesuatu. Aku lupa belum menghubunginya sejak kemarin dan ia pasti akan merajuk karenanya. "Hallo, Sayang." [Kamu ke mana saja? Kenapa dari kemarin gak menghubungi aku?] Nesya langsung mencecarku. "Aku masih di Bogor. Maaf ya, semalam pulang dari rumahnya Andi aku langsung tidur. Cape banget." [Aku kangen, tahu! Kirain kamu nemu cewek cantik di sana terus lupa sama aku!] Nah kan, dia merajuk. "Enggaklah. Ngapain nyari cewek lain kalau pacarku saja cantiknya kebangetan," godaku. Aku yakin, wajahnya di seberang sana kini pasti tengah merona. [Aish! Masih sempat-sempatnya menggombal! Oh ya. Lusa aku pulang. Kamu jadi pulang besok kan?] "Belum tahu." Aku menjawab ragu. [Kok gitu? Katanya di sana gak bakalan lama. Pokonya aku gak mau tahu. Kalau aku pulang nanti kamu sudah harus ada di Jakarta!] "Oke, nanti aku usahakan." [Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya. Kamu di sana hati-hati ya. Jaga hati kamu dan jangan coba-coba melirik cewek lain! Love you.] "Love you too." Sambungan terputus. Mata ini kembali menoleh ke arah Haifa dan Abyan yang tengah berjalan menuju rumah mereka. Perasaan hampa seketika menyeruak ketika mendapati mereka sudah tidak ada di sana. Bayang kesedihan Abyan kembali melintas dalam ingatan. Putraku yang malang. Harus mengalami kecacatan dari lahir di tengah keadaan hidup yang penuh kesederhanaan. Tiba-tiba saja satu pemikiran terlintas dalam benak ini. Pernahkah Abyan bertanya tentang ayahnya? "Tunggu Papa siap, Nak. Papa pasti membawamu pulang ke Jakarta," gumamku sebelum beranjak dari tempat ini. ??? "Gan, sorry banget. Gue harus balik hari ini karena tiba-tiba saja Papa nyuruh gue pulang. Katanya ada yang urgent di perusahaan. Lo mau balik sama gue atau nanti saja?" Bayu bertanya sambil membereskan beberapa helai pakaian ke dalam tas miliknya. Harusnya memang aku pulang hari ini mengingat besok Nesya akan kembali dari Bali dan aku harus sudah berada di Jakarta. Namun entah mengapa seakan ada sesuatu yang menahanku agar lebih lama di sini. Selain karena urusanku dengan Haifa belum selesai, tak bisa kupungkiri hati ini merindukan Abyan. Ingin melihat kembali wajah bocah kecil itu saat tertawa, dan aku harap kali ini aku-lah alasan dia melakukannya. "Gue pulang besok saja, Bay. Ada sesuatu yang harus gue urus di sini." "Soal Haifa? Lo belum menjatuhkan talak untuk dia kan?" tanyanya dengan mata yang memicing tajam. "Belum. Entah kenapa tiba-tiba saja gue ragu. Gue--" "Kenapa? Lo kasihan sama dia?" tebaknya. "Salah satunya iya. Tapi ada sesuatu yang ternyata selama ini gue gak tahu dan ini sangat mengejutkan buat gue," terangku sambil menghela napas berat. Rasanya selalu sesak jika mengingat kondisi Abyan. "Apa? Jangan bilang--" "Gue punya anak dari Haifa." "What?!" Bayu memekik. "Lo serius?" "Masalah kayak gini masa iya gue becanda, Bay. Gue juga baru tahu kemarin. Gak lama setelah Lo pulang, anak itu datang dan manggil Haifa dengan sebutan Bunda. Dan yang paling membuat gue makin merasa bersalah, ternyata dia ... dia cacat," lirihku seraya memejamkan mata. Buliran bening akhirnya menetes dari kedua netra ini. "Dia buta, Bay. Anak gue buta." Aku tergugu. Usapan di bahu aku rasakan. Bayu duduk di sebelahku sambil berucap. "Lo yang sabar. Setelah Lo tahu kenyataan ini, apa Lo masih ingin menceraikan Haifa? Sadar, Gan. Jangan Lo buat kesalahan Lo sama dia makin bertambah banyak. Ingat, hukum tabur tuai itu ada. Jangan sampai lo menyesal setelah Haifa serta anak lo pergi makin jauh dan Lo gak bakal bisa menemui mereka lagi. Sudahi hubungan Lo dengan Nesya karena ada seseorang yang berhak atas cinta dan kasih sayang dari Lo selain pacar Lo itu. Ingat baik-baik pesan gue." Bayu menepuk bahu ini sebelum beranjak meninggalkanku yang masih termangu. Meninggalkan Nesya? Tentu saja tidak semudah itu. Namun, aku pun tidak ingin sampai kehilangan Abyan. Bisakah Nesya menerima kehadiran putraku dan menjadi ibu sambung yang baik untuk Abyan? Semoga saja. Akhirnya kuputuskan untuk menunda kepulangan ke Jakarta. Aku akan menemui Abyan untuk sekedar melepas rindu sebelum aku kembali meninggalkannya di sini. Pagi sekali aku sudah bersiap menuju tempat Haifa berjualan. Bayu sendiri sudah pulang setelah menyempatkan sarapan di Hotel terlebih dahulu. Senyum ini terus mengembang, mengingat sebentar lagi akan bertemu putraku. Kali ini aku bertekad untuk membujuk anak itu agar mau bermain denganku. Aku hampir sampai di lokasi tempat Haifa berjualan. Kupercepat langkah karena diri ini sudah tidak sabar. Namun, alangkah terkejutnya ketika aku melihat tempat itu ternyata kosong. Tidak ada gerobak milik Haifa yang mangkal di tempatnya. Ke mana dia? Apa mungkin Haifa pergi lagi karena tidak ingin bertemu denganku? "Maaf, Pak. Saya ingin menanyakan penjual nasi uduk yang biasanya mangkal di sini. Kenapa hari ini dia tidak jualan?" tanyaku kepada salah satu pedagang di sana. "Haifa?" "Betul." "Dia memang tidak jualan. Katanya semalam si Abyan demam lagi." "A-pa? Abyan sakit?" Aku mendadak cemas. * * Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN