Bab 3

1235 Kata
"Haifa, dia ...." Aku menelan ludah. Setelah jarak kami begitu dekat, wajah anak itu makin jelas mirip denganku. Mata ini menatap mereka. Ada yang berdesir hangat ketika melihat senyum ceria anak itu ketika berhasil menggapai tangan istriku. "Kok Abyan ke sini? Kan tadi Bunda bilang tunggu saja di rumah." Haifa berjongkok, mensejajarkan diri dengan tinggi tubuh bocah yang ternyata bernama Abyan. "Maaf, Bunda. Abyan jenuh kalau di rumah terus. Abyan mau bantuin Bunda jualan tapi ... sayangnya gak bisa," lirihnya di akhir kalimat. Dada ini berdenyut nyeri mendengar kalimat kekecewaan yang terlontar dari mulut Abyan. Manik matanya sudah berkaca. Anak itu pasti merasa sedih karena kondisinya yang tidak seperti anak yang lain. "Gak papa, Sayang. Bunda kan sudah sering bilang kalau Bunda bisa jualan sendiri. Tugas Abyan itu belajar supaya jadi anak yang pintar." Hatiku terenyuh melihat interaksi Ibu dan anak itu. Setelah kuteliti lebih jelas, wajah anak itu memang mirip denganku. Ya Tuhan, mungkinkah dia? "Haifa. Mari kita bicara lagi. Masih banyak hal yang harus kamu jelaskan padaku. Tentang kepergianmu, alasannya, dan juga tentang ... Abyan." "Iya, Mas. Sebentar." Haifa kembali menoleh ke arah Abyan. "Abyan sama nenek dulu, ya. Bunda mau bicara sama Om." "Om? Om siapa, Bunda?" "Om ini temannya Bunda. Sebentar ya, Nak. Bunda ada perlu sama Om. Bu, tolong bawa Abyan duduk di sana." "Baiklah, tapi jangan lama-lama. Kasihan Abyan kan baru sembuh." Haifa mengangguk ke arah wanita paruh baya itu. Kemudian, ia memberi isyarat kepadaku untuk duduk kembali di bangku tadi. Sedangkan Abyan dituntun ke arah bangku yang terletak di bawah pohon tak jauh dari kami. "Silakan, Mas mau bertanya apa?" katanya setelah kami duduk bersebelahan. "Oke, aku tidak ingin membuang waktu lagi. Kenapa kamu pergi tidak memberitahuku terlebih dahulu? Aku ini suamimu, Haifa. Apa begini sikap seorang istri yang menghormati suaminya? Pergi tanpa pamit, tak ada kabar dan menghilang. Apa kamu tahu bagaimana bingungnya aku mencarimu? Belum lagi Papa dan Mama yang terus saja menyalahkanku. Tidak bisakah kamu bersikap dewasa? Jangan kabur-kaburan sampai bertahun-tahun seperti ini!" cecarku yang merasa kesal atas sikap Haifa. Dia tidak tahu saja. Papa dan Mama hampir setiap hari menanyakan kabar tentang perkembangan pencarian menantunya padaku. "Aku minta maaf karena telah membuat Mas kesusahan. Selama ini aku memang pergi ke Bogor dan menetap di sini. Untuk alasan kepergianku, bukankah tadi sudah aku jelaskan? Aku belum siap untuk mendengar kata talak dari Mas. Aku ...." Haifa tidak melanjutkan ucapannya. Manik mata perempuan yang masih berstatus istriku itu kini mengembun. Mungkinkah dia sedih karena aku terlalu menyudutkannya? Padahal, jika dipikir ulang, kejadian ini bukan sepenuhnya salah Haifa. Aku pun ikut andil dalam keputusan Haifa untuk memilih pergi karena malam itu aku telah melontarkan kata-k********r setelah kami ... Ya Tuhan! Aku baru ingat tentang kejadian malam itu. Apa jangan-jangan Abyan! Mata ini kembali meneliti wajah Abyan. Meski dari kejauhan, masih bisa aku lihat mata dan hidungnya yang mirip sekali denganku. Abyan adalah jelmaan seorang Gani ketika masih kecil. Diri ini makin yakin kalau Abyan itu adalah putraku. "Apa Abyan itu anakku?" Haifa terbelalak. Tubuhnya bergerak gelisah dengan jemari yang saling meremas di atas paha wanita itu. "Haifa, jawab aku! Apa karena kejadian malam itu kamu hamil?" cecarku lagi. "Jangan berbohong karena fakta yang ada di depan mata sudah sangat menjelaskan semuanya. Wajah Abyan sangat mirip denganku." Wajah wanita yang duduk di sebelahku makin menunduk. Kemudian, satu kali anggukan yang ia tunjukkan sebagai jawaban membuat seluruh persendianku seketika terasa lemas. Ingatan ini melayang ke masa di mana aku tak sengaja menyentuh Haifa. Aku yang pulang dalam keadaan mabuk melihat wajah Haifa menjelma menjadi Nesya. Diri ini tidak dapat mengendalikan nafsu hingga malam naas itu terjadi. Masih kuingat tangis pilu Haifa saat aku sadar telah merenggut kesuciannya. Aku mengumpat, bahkan menghinanya dengan kata-k********r yang pasti sangat menyakiti hati wanita itu. Namun anehnya, Haifa hanya diam tanpa membalas sedikitpun. Bahkan, Haifa masih bersikap baik kepadaku dengan menyiapkan sarapan dan pakaian ganti seperti biasanya. Kadang aku berpikir, terbuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa dia masih bisa menampilkan senyum tulus ketika aku bersikap buruk kepadanya? "Jadi, itu benar? Abyan anakku?" lirihku dengan tubuh yang masih terasa lemas. "Iya, Mas. Maaf telah menyembunyikannya darimu. Aku baru tahu kalau aku hamil setelah beberapa Minggu pergi dari rumah," terangnya. Kuusap wajahku dengan gusar, "Kamu egois, Haifa. Kalau kamu sadar saat itu tengah hamil, kenapa tidak kembali?" kejarku. "Karena aku takut Mas tidak bisa menerima kehamilanku. Bukankah Mas tidak menginginkan aku? Maka bukan tidak mungkin Mas juga tidak menginginkan bayi yang sedang kukandung," jawabnya yang sukses menyentil diri ini. Apa yang ia katakan benar. Bahkan, aku tidak pernah bermimpi untuk mempunyai anak dari Haifa, apalagi dengan keadaan yang ... ah, d**a ini terasa nyeri saat mengingat kondisi Abyan. "Apa dia mempunyai gangguan penglihatan?" Aku memberanikan bertanya tentang hal yang pastinya cukup sensitif. "I-iya. Abyan mempunyai gangguan penglihatan sejak lahir," lirihnya. "Dengan kondisi anakmu yang seperti itu kamu masih nekat tidak pulang? Kalau kamu memberitahuku, setidaknya aku bisa membantu mencarikan donor mata untuknya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Papa dan Mama kalau mereka tahu bahwa cucunya--" Tenggorokan ini rasanya tercekat. Aku tidak mampu melanjutkan ucapan tentang kondisi Abyan. "Buta?" Haifa memperjelas. "Itulah salah satu alasan kenapa aku tidak pulang. Aku tidak ingin membuat Mas dan orang tua Mas malu karena kondisi Abyan. Biarlah aku merawat Abyan sendiri karena anak itu sudah terbiasa hidup hanya denganku." "Tapi aku ayahnya!" selaku dengan gusar. Ya, walau bagaimanapun kondisi anak itu, aku tetaplah ayahnya yang harus bertanggung jawab penuh atas dirinya. Kami sama-sama diam. Haifa tak lagi menjawab begitu pun dengan aku yang memilih menghentikan pertanyaan. Mata ini fokus menatap Abyan yang sedang berbincang dengan wanita paruh baya yang tadi ia sebut nenek. Meski memiliki kekurangan, tetapi wajah Abyan sangat sempurna. Ia memiliki garis wajah seperti diriku. Bukan bermaksud sombong. Namun setiap orang yang melihatku pasti akan mengatakan jika aku ini tampan, dan ternyata ketampananku ini diwarisi oleh putraku. "Bolehkah aku berbicara dengannya?" Tiba-tiba saja satu keinginan muncul dalam diri ini. Aku ingin lebih dekat dengan Abyan dan mengakrabkan diri dengannya. "Silakan kalau memang Mas bersedia." Tak ingin menyiakan kesempatan, aku bangkit dari duduk dan menghampiri Abyan yang tentu saja tidak menyadari kehadiranku. Setelah jarak kami begitu dekat, aku berjongkok di depan dia yang masih duduk di atas bangku. "Hai. Nama kamu Abyan kan?" tanyaku sedikit gugup. "Iya. Om siapa?" tanyanya dengan mata yang tetap fokus ke depan. "Jangan panggil, Om. Panggil Papa." Namun sayang, kalimat itu hanya tertahan di tenggorokan. Ego ini melarang diriku untuk mengatakan siapa aku yang sebenarnya. "Om, temannya Bunda kamu. Nama Om, Gani. Abyan suka es krim?" "Suka, Om," jawabnya sambil mengangguk dan tersenyum. "Mau beli?" "Sebentar, Om. Abyan minta izin sama Bunda dulu." Tangan Abyan terulur seperti ingin menggapai sesuatu. "Bun, Bunda di sini kan? Abyan boleh beli es krim sama Om Gani?" tanyanya penuh harap. "B-boleh, Sayang." Haifa menjawab sambil terisak lirih. "Ayok, kita beli es krim di sana. Tapi Abyan sudah sarapan kan?" "Sudah, Om." "Oke, ayok!" Aku membantu Abyan turun dari bangku yang ia duduki. Tangan mungilnya aku genggam untuk aku tuntun ke arah penjual es krim yang mangkal tidak jauh dari gerobak milik Haifa. Perasaan hangat seketika menjalar saat tangan kami bersentuhan. "Tunggu, Om." Abyan tiba-tiba saja menarik tangannya dari genggamanku. "Ada apa?" tanyaku bingung padahal kami sudah bersiap untuk melangkah. "Gak usah saja, Om. Abyan takut nanti Om malu kalau jalan sama Abyan," lirihnya yang sukses membuat d**a ini bak dihantam palu godam. * * Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN