Bab 1
"Besok aku harus ke Bogor. Kamu ingat Andi? Dia mau mengadakan aqiqah anak keduanya dan dia ngundang aku sama Bayu," ucapku kepada wanita yang tengah bergelayut manja di lengan ini.
"Besok? Yaahh, aku pengen ikut tapi gak bisa. Besok aku harus terbang ke Bali, ada pemotretan di sana."
Bibir wanita di depanku mengerucut. Karena gemas, kucubit benda kenyal itu hingga dia memekik dan mencebik manja.
Nesya, wanita yang sudah empat tahun ini menjadi kekasihku. Parasnya yang cantik juga penampilannya yang seksi selalu berhasil membuatku jatuh dalam pesonanya berkali-kali. Dulu, kami sempat menjalin hubungan sewaktu duduk di bangku SMA dan berlanjut hingga kami sama-sama lulus kuliah. Namun sayang, kisah cinta kami harus kandas ketika Nesya menolak lamaran dariku karena dia masih ingin mengejar karirnya sebagai model. Aku yang terlanjur kecewa, terpaksa menerima perjodohan dari orang tua dengan seorang gadis lugu putri dari almarhum teman Papa.
Haifa. Gadis cantik yang lemah lembut serta penurut. Haifa, istri yang tidak pernah aku anggap keberadaannya karena memang aku tidak mencintainya. Sekuat apa pun aku mencoba, hati ini tidak bisa berpaling dari Nesya. Meski mantan kekasihku telah mengecewakan diriku, tetapi cinta ini tidak bisa berpindah ke lain hati. Haifa tidak bisa menggantikan posisi Nesya bahkan sampai saat ini setelah istriku menghilang bak ditelan bumi, dan Nesya datang mengajakku merajut kembali cinta yang dulu sempat kandas.
Pernikahan tanpa cinta yang kujalani bersama Haifa terasa menyiksa diri ini. Aku ingin mengakhirinya agar tidak terus terbelenggu dengannya, pun dengan dia agar bisa mencari pria yang bisa mencintainya dengan tulus.
Sayang sekali, sebelum kata talak sempat aku ucapkan, Haifa pergi tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Hingga kini setelah delapan tahun kepergiannya, aku belum berhasil menemukannya.
Kehadiran Nesya kembali mampu menghilangkan sebagian ingatan ini tentang Haifa. Hidupku terasa lebih berwarna bersamanya. Kini, Nesya sudah siap untuk aku nikahi, tetapi sayang ia tidak ingin menyandang status sebagai istri kedua. Aku harus memenuhi syarat darinya untuk menceraikan Haifa terlebih dahulu. Seharusnya hal itu menjadi hal yang mudah jika saja aku mengetahui keberadaan Haifa saat ini. Beberapa orang suruhan sudah kukerahkan untuk mencarinya tetapi belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Ah, Haifa. Di mana kamu? Aku ingin bertemu denganmu agar kata talak ini bisa kuucapkan. Aku tidak ingin Nesya pergi lagi dari hidupku hanya karena dia terlalu bosan menunggu kepastian dariku.
"Mas, kok malah bengong?" Tepukan di bahu menyadarkan diri ini dari lamunan. Nesya berpindah duduk ke atas paha dengan tangan yang tak henti memainkan kancing kemeja yang kukenakan.
"Enggak, Sayang. Aku hanya sedang memikirkan Haifa. Sampai saat ini belum ada kabar dari orang yang aku bayar untuk mencarinya."
Wajah Nesya berubah sendu. Aku paham pasti ia pun merasakan kekecewaan yang sama denganku. Kami sudah terlalu lama menunggu dan aku takut kesabaran Nesya hampir berada di ujung batas.
"Aku ingin segera menjadi istrimu, tapi ingat! Istri satu-satunya. Aku tidak ingin menjadi yang kedua apalagi hanya dinikahi siri. Pokoknya kamu harus segera menemukan Haifa dan menceraikannya!" tegasnya dengan mata yang melotot. Namun, bukannya takut, dia justru terlihat menggemaskan di mataku.
"Sabar ya, Sayang. Aku janji akan menemukan dia secepatnya. Kita akan segera menikah dan mempunyai keluarga yang bahagia."
"Aku sudah tidak tahan menunggu masa-masa itu," bisiknya di telinga ini dengan nada yang s*****l.
Jika sudah begini, aku tidak bisa menahan diri. Kami hanyut dalam buaian kemesraan yang selalu mampu membuatku melayang. Namun jangan salah. Aku masih tahu batasan. Kami tidak pernah melakukan lebih sampai ke tahap berhubungan suami istri. Hanya sekedar melepas rindu lewat c*uman dan sentuhan kecil.
"Aku pasti akan merindukanmu," bisikku setelah tautan kami terlepas.
"Aku juga," balasnya dengan manja.
???
"Terima kasih Lo berdua sudah mau hadir. Gak nyangka aja orang sibuk kayak kalian masih bisa menyempatkan datang ke acara kecil-kecilan ini."
Andi memang selalu merendah. Di antara kami bertiga, dia yang lebih dulu menikah dengan gadis cantik asal Bogor. Sekarang Andi mengelola usaha milik mertuanya di bidang kuliner. Mertua Andi mempunyai lima cabang Restoran yang tersebar di beberapa kota. Kehidupan rumah tangganya sangat harmonis. Anak kedua Andi yang berjenis kelamin perempuan terlihat sangat menggemaskan. Andai saja aku dan Nesya sudah menikah, kami pun pasti akan segera memiliki bayi lucu seperti itu.
"Santai aja, Bro. Gue sama Gani memang sengaja meluangkan waktu buat ke sini. Sekalian liburan lah. Sumpek juga tiap hari berkutat sama berkas yang gak ada habisnya," kelakar Bayu yang ditanggapi tawa renyah kami berdua.
"Terus lo gimana, Gan? Lo udah berhasil menemukan Haifa?"
Aku menggeleng lemah, "belum. Gue sudah mengerahkan orang bayaran untuk mencari dia tapi belum berhasil. Mana Nesya udah mendesak terus pengen dinikahi. Gue pusing, Ndi. Andai saja Nesya mau gue ajak nikah siri sementara, tapi ya itu, dia gak mau. Dia tetep minta gue menceraikan Haifa dulu, baru kami nikah," terangku.
"Pusing Lo buat sendiri. Menurut gue, kurang apa coba si Haifa? Cantik iya, Sholehah juga. Soal cinta itu mah belakangan, Bro. Gue jamin lama-lama Lo pasti cinta sama dia."
"Gak semudah itu," tukasku. "Buktinya sudah satu tahun kami menikah, tapi rasa cinta itu tak juga hadir. Gue gak mau mengikat dia dalam pernikahan tanpa cinta ini terlalu lama. Gue yakin Haifa bakal dapetin cowok yang lebih baik dari gue," ujarku menjelaskan. Andi tidak tahu saja betapa tersiksanya diri ini hidup bersama wanita yang tidak aku cintai. Pulang ke rumah saja rasanya enggan karena harus berpura-pura bersikap baik di depan Haifa. Padahal, diri ini rasanya muak jika berdekatan dengannya.
"Lo berdua nginep di sini kan? Biar gue siapin kamarnya." Sepertinya, Andi sengaja mengalihkan pembicaraan.
Aku dan Bayu memang sudah sepakat untuk tinggal beberapa hari di Bogor. Rencananya kami akan menikmati suasana kota ini sekaligus mencicipi kuliner di sini. Toh Nesya juga sedang berada di Bali. Soal perusahaan, aku sudah meminta Vina-Sekretarisku untuk menghandle pekerjaan sementara. Tak peduli dengan reaksi papa yang pasti akan memarahi dan menganggapku sebagai pemimpin yang tidak bertanggung jawab.
"Kami nginap di Hotel saja. Gak enaklah kalau di sini. Takut mengganggu kalian," jawab Bayu yang langsung aku setujui.
"Ya, sudah. Besok gue ajak kalian jalan-jalan mengelilingi Bogor. Kalian juga harus mampir ke Restoran gue dan mencicipi menu di sana."
Aku dan Bayu mengangguk setuju. Selepas magrib, kami check in di salah satu Hotel yang tidak jauh dari rumah Andi.
Suasana pagi di kota Bogor terasa menyenangkan. Aku dan Bayu berjalan-jalan di sekitar alun-alun sambil mencari menu untuk sarapan. Bayu menolak ketika aku mengajaknya sarapan di Hotel saja. Katanya, pagi ini ia ingin menikmati sepiring nasi uduk di sekitar sini.
Setelah cukup lama berkeliling, kami sampai di sebuah gerobak nasi uduk yang letaknya tidak jauh dari alun-alun. Bayu mengajakku duduk di sebuah bangku sambil menunggu si penjual yang katanya sedang mengantar pesanan.
"Lo yakin mau makan di sini?" tanyaku memastikan.
"Yakinlah. Memang kenapa? Lo gak level makan di tempat kayak gini?"
"Bukan. Tapi ...."
"Maaf menunggu. Mas mau pesan berapa porsi?"
Tubuh ini menegang mendengar suara lembut yang sepertinya sangat kukenal. Aku menajamkan pendengaran. Suara itu ....
Bergegas aku bangun dan berbalik menghadap ke arahnya. Dia ... berdiri mematung setelah netra kami bersitatap. Kemudian, mata sendunya melebar dengan tangan yang membekap mulut serta kaki yang mundur beberapa langkah.
"Haifa ...."
"M-mas Gani."
*
*
Bersambung.