Bab 5

1122 Kata
Pov Haifa "Fa, pria tadi itu beneran teman kamu? Kok Ibu baru melihatnya sekarang." Bu Wanti bertanya ketika kami tiba di rumah dan kini tengah duduk di kursi rotan yang berada di teras depan. Abyan sengaja aku suruh untuk beristirahat karena keadaannya yang belum pulih setelah kemarin putraku itu terserang demam. Bu Wanti sudah kuanggap seperti Ibu kandung sendiri. Pertama kali aku datang ke kota ini, dialah yang membantuku mencarikan kontrakan yang tidak jauh dari rumahnya. Wanita paruh baya itu adalah seorang janda dengan satu anak. Suaminya meninggal tiga tahun yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya. Hingga saat ini, Bu Wanti selalu ada jika aku sedang membutuhkan pertolongan. Termasuk menawarkan diri untuk menjaga dan mengantar Abyan ke sekolah ketika aku sedang berjualan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Bu Wanti mengandalkan uang pensiun suaminya yang dulu bekerja sebagai Guru di Sekolah Menengah Atas. Ditambah kiriman dari putranya yang bekerja sebagai TNI yang kini sedang bertugas di Papua. Tak hentinya aku bersyukur karena telah dipertemukan dengan orang baik seperti Bu Wanti. Di tengah kesedihan karena harus mengandung dan merawat Abyan seorang diri, Tuhan telah mengirimkan sosok malaikat tak bersayap untuk meringankan beban hidup yang harus kuhadapi. Hanya kepada Bu Wanti aku menceritakan tantang kisah hidupku, termasuk nasib rumah tanggaku dengan Mas Gani. "Bunda, apa Abyan punya Ayah? Kenapa Ayah tidak pernah menemui Abyan?" Pertanyaan Abyan waktu itu terasa mengiris hati ini. Selayaknya anak yang lain, Abyan pasti ingin mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Namun, aku tidak berani berkata jujur demi menjaga perasaan putraku. Tidak mungkin aku mengatakan jika sang ayah kemungkinan tidak akan bisa menerima kehadirannya, terlebih dengan kondisi Abyan yang seperti ini. "Ayah sedang bekerja di tempat yang jauh. Nanti kalau Ayah pulang, Abyan pasti bisa ketemu sama Ayah." Hanya itu yang bisa aku katakan untuk menjawab pertanyaan Abyan. Meski aku tahu jawaban dariku seakan memberi harapan palsu untuknya, tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Biarlah untuk sementara Abyan berharap sampai nanti saatnya aku mengatakan yang sebenarnya. Dia masih terlalu kecil untuk memahami permasalahan yang sedang dihadapi ibunya ini. "Kamu senang karena akhirnya aku menyentuhmu? Dengar, Haifa. Andai aku tidak sedang mabuk, aku tidak sudi melakukannya. Jangan merasa di atas angin apalagi sampai ngelunjak! Harusnya kamu tahu diri. Aku tidak pernah menginginkanmu baik dulu maupun saat ini. Kehadiranmu hanya membuat hidupku tambah kacau! Enyahlah dari hadapanku!" Perkataan Mas Gani malam itu membuat harga diriku sebagai seorang istri terasa tercabik. Ia menyentuhku dengan kasar serta menyebut nama wanita lain. Aku menangis, merintih, memintanya untuk berhenti tetapi dia sama sekali tak menggubris. Setelah kesucianku terenggut, Mas Gani tertidur pulas di sebelahku dengan senyum kepuasan yang terukir di bibirnya. Aku ingin marah dan memakinya saat itu juga. Namun, aku kembali disadarkan tentang statusku yang masih menjadi istrinya. Sudah menjadi kewajibanku untuk melayaninya termasuk menyerahkan harta berharga yang selama ini aku jaga untuk suamiku kelak. Mas Gani mencintai wanita lain, aku tahu itu. Namun, aku tetap memilih bertahan dengan keyakinan bahwa cinta itu akan hadir seiring kebersamaan kami. Akan tetapi, ternyata aku salah. Jangankan cinta, melihatku pun Mas Gani sepertinya sangat muak. Tidak ada pilihan lain setelah batas kesabaran ini habis. Aku memilih pergi sebelum Mas Gani mengucapkan kata talak yang ingin ia lontarkan untukku. Jujur saja, aku belum siap mendengarnya karena hati ini masih menaruh sedikit harapan tentang perubahan di pernikahan kami. Setelah delapan tahun lamanya aku pergi, aku sadar kalau aku terlalu egois jika tetap menahan Mas Gani dalam pernikahan yang tidak dia inginkan. Aku ikhlas jika memang kata talak itu harus terucap saat ini ketika kami ditakdirkan untuk bertemu kembali. "Fa, kamu melamun?" Sentuhan lembut di punggung tangan, membuyarkan lamunan ini. Aku memaksakan senyum sebelum menjawab pertanyaan Bu Wanti. "Maaf, Bu." "Kamu belum menjawab pertanyaan Ibu. Pria tadi itu siapa? Benar dia teman kamu?" tanyanya lagi. Aku menghela napas dalam sebelum akhirnya menjawab. "Sebenarnya dia ... dia itu ayahnya Abyan." Bu Wanti terperangah. Genggamannya pada tangan ini sampai terlepas. "Maksud kamu, dia suami kamu?" "Iya, Bu. Dia Mas Gani, suamiku." Aku mengangguk. "Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Andai Ibu tahu, ibu pasti sudah menampar wajahnya berkali-kali!" umpatnya dengan tangan yang mengepal. "Aku tidak ingin Abyan tahu dan mendengarnya, Bu. Aku ... aku takut Abyan akan kecewa," lirihku. "Ibu paham. Ibu hanya terlalu emosi kalau ingat cerita kamu waktu itu. Ibu heran, kok sampai ada lelaki seperti itu. Tega menelantarkan istrinya sampai bertahun-tahun." "Aku yang memilih pergi, Bu. Mas Gani tidak tahu kalau aku kabur dari rumah." "Ckk, Ibu heran sama kamu. Pria b*jingan seperti dia masih saja kamu bela. Terus tadi dia bicara apa saja? Dia sudah mentalak kamu?" "Belum. Tadi keburu Abyan dan Ibu datang jadi pembicaraan kami terhenti. Mas Gani juga sudah tahu kalau Abyan itu anaknya, makanya tadi dia mendekati Abyan. Mungkin besok kami akan berbicara lagi untuk menuntaskan semuanya," terangku. "Bagus. Lebih baik kamu memintanya untuk segera menceraikanmu. Untuk apa kamu punya suami kalau kenyataan selama ini kamu menghidupi dirimu sendiri. Kalau statusmu sudah jelas, kan kamu bisa mencari lagi lelaki yang lebih baik dari dia." "Bu, aku tidak pernah kepikiran sampai ke sana." "Kamu masih muda dan cantik, Haifa. Banyak pria di sini yang menyukaimu, termasuk ... Ah, sudahlah. Ibu mau pulang dulu. Kamu istirahat sana. Jangan lupa nanti Abyan disuruh minum obat." "Iya, Bu. Terima kasih, Ibu sudah menjaga Abyan dengan baik." "Ibu senang bisa menjaga Abyan. Dia anak yang baik dan pintar. Ibu tidak bisa membayangkan kalau suatu saat kalian pergi dan kita tidak bisa bertemu lagi," ucapnya sebelum benar-benar beranjak meninggalkanku yang masih termenung. Pergi? Memangnya aku dan Abyan mau pergi ke mana selain tinggal di kota ini? ??? "Bunda, dingin." "Bunda." Suara Abyan yang mengigau, membangunkanku yang terlelap di sampingnya. Aku terperanjat ketika mendapati keningnya yang terasa panas, pun dengan tubuhnya yang menggigil kedinginan. "Badan kamu panas lagi, Nak." Aku panik. Pasalnya, kondisi Abyan tidak pernah sampai separah ini. Kalaupun demam, Abyan pasti akan segera sembuh setelah aku memberinya obat dari Apotik. Namun kali ini, sudah terhitung empat hari Abyan mengalami demam yang turun naik seperti ini. "Nak." "Bunda, dingin." "Ya Allah, badan kamu panas sekali. Kamu tunggu sebentar ya, Nak. Bunda ke rumah Nenek Wanti dulu." Aku bergegas menuju rumah Bu Wanti yang hanya terhalang dua rumah dari kontrakan ini. Meski merasa sungkan harus membangunkan wanita paruh baya itu selarut ini, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain meminta bantuannya. "Haifa? Ada apa? Kenapa malam-malam begini membangunkan ibu?" tanyanya setelah membuka pintu. "Abyan demam lagi, Bu. Kali ini panasnya makin naik." "Ya, Allah! Kita bawa ke rumah sakit saja. Kamu siap-siap biar Ibu yang akan meminjam mobil sama Pak RT." Aku mengangguk dan bergegas kembali menuju rumah. Bersiap memangku Abyan yang terkulai lemas sambil tak hentinya mengigau. "Yang kuat ya, Nak. Abyan harus bertahan demi Bunda," lirihku di tengah kecemasan. * * Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN