"Haifa ...."
"M-mas Gani."
Kami sama-sama terkejut. Untuk sejenak, dunia rasanya berhenti berputar. Aku dan Haifa masih saling tatap hingga akhirnya dia memutus kontak mata kami terlebih dahulu. Haifa berjalan ke arahku dan Bayu seraya menampilkan selarik senyum. Penampilannya tidak berubah. Haifa masih tetap terlihat bersahaja dengan gamis dan jilbab lebar yang ia kenakan. Pun dengan wajahnya yang tidak pernah mendapat sentuhan make up. Namun, ada yang berbeda. Haifa terlihat lebih kurus dari terakhir kali kami bertemu.
"Haifa, kamu--"
"Mas mau pesan berapa porsi?" tanyanya sama sekali tak menghiraukan diriku yang masih terkejut atas pertemuan kami. Haifa bersikap seolah-olah kami adalah dua orang asing yang tidak terikat dalam tali pernikahan. Tak sadar, tanganku mengepal di atas paha ketika mendapati dia yang menganggapku hanya sebagai seorang pembeli, bukan suami yang sudah lama tidak ia jumpai.
Bayu pun pasti sama terkejutnya denganku. Terbukti, bukannya menjawab pertanyaan Haifa, dia malah melirikku dan Haifa secara bergantian.
"Mas? Maaf kalau memang tidak jadi memesan, saya harus melayani pembeli yang lain."
"Kami pesan dua porsi," selaku cepat sebelum Haifa sempat menghindar. Untuk sementara, akan kubiarkan dia menjalani perannya sebagai penjual nasi uduk yang harus melayani pembeli dengan baik. Mungkin memang bukan saat yang tepat jika aku langsung mengajak Haifa berbicara tentang nasib pernikahan kami. Aku harus mencari waktu lain agar kami bisa berbicara berdua dengan kondisi yang sudah sama-sama siap.
Mata ini tak lepas dari setiap pergerakan istriku. Haifa nampak gugup, terbukti dengan tangannya yang terlihat gemetar ketika menuang nasi ke atas piring. Setelah kontak mata kami tadi, Haifa seperti enggan kembali bersitatap denganku.
Tiba-tiba saja hati ini terasa ngilu. Sebegitu bencinya-kah dia padaku? Mengingat, perlakuanku dulu yang tidak pernah bersikap layaknya seorang suami kepada istrinya. Jarak yang sengaja aku ciptakan membuat Haifa tidak bisa menembus dinding kokoh yang telah aku bangun di antara kami. Ya, aku memang sebejat itu. Namun, aku merasa perlu melakukannya karena aku tidak ingin Haifa berharap lebih dari pernikahan tanpa cinta ini.
"Silakan, Mas."
Haifa meletakkan dua porsi nasi uduk ke atas meja berukuran panjang yang terdapat di sebelah gerobaknya, disusul dengan dua gelas teh hangat yang ia sediakan juga. Setelahnya, ia kembali melayani pembeli yang memang lumayan banyak.
Satu suap nasi uduk yang masuk ke mulut ini susah payah aku telan. Rasanya ... masih tetap sama. Masakan Haifa memang selalu lezat dan terasa pas di lidah. Pantas saja jualannya terlihat laris karena pembeli masih mengantri mengelilingi gerobak milik istriku. Tak terasa, ada yang mengembun di kedua kelopak mata ini. Haifa harus berjualan nasi uduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak ada yang tahu bahwa dia adalah istri dari seorang pemilik perusahaan Kontraktor ternama di Jakarta. Terdengar miris memang. Akan tetapi, bukankah ini semua bukan salahku? Dia yang memilih pergi tanpa pamit bahkan sampai bertahun-tahun tanpa memberi kabar padaku. Andai saja aku mengetahui keberadaannya sejak dulu, tidak mungkin aku membiarkan Haifa hidup kesusahan apalagi sampai harus berjualan dengan membawa gerobak seperti ini.
"Lo masih mau di sini? Gue yakin kalian berdua harus bicara. Tapi kalau boleh gue kasih saran buat Lo, jangan ucapkan kata talak itu sekarang, bahkan kalau bisa pikirkan lagi keputusan Lo. Kasihan Haifa. Lo lihat sendiri bagaimana kehidupannya sekarang. Gue yakin Lo masih punya hati nurani untuk tidak menjatuhkan talak di pertemuan pertama kalian setelah bertahun-tahun terpisah." Bayu menepuk bahuku. "Lo yang bayar. Gue duluan ke Hotel," ucapnya sebelum pergi meninggalkanku yang kini termangu menimbang ucapannya barusan.
Haruskah aku menunda lagi? Bagaimana kalau setelah ini Haifa malah menghindar dan pergi lagi tanpa bisa kutemui?
Tak terasa mentari mulai merangkak naik. Aku masih duduk di bangku ini sembari menunggu Haifa selesai berjualan. Terlihat dia mulai membereskan peralatan dan bersiap untuk pulang. Dengan sigap, aku menghampirinya dan mengajaknya berbicara.
"Haifa, kita harus bicara," ucapku setelah berada di dekatnya.
"Iya, Mas. Aku sudah selesai. Sudah waktunya kita bicara." Tak kuduga, Haifa bisa bersikap tenang setelah tadi dia terlihat gugup. Aku mengikutinya duduk di bangku yang tadi kutempati bersama pembeli yang lain.
Haifa memejamkan mata. Entah apa yang tengah ia pikiran hingga akhirnya satu kalimat lolos dari bibirnya yang terlihat pucat.
"Silahkan Mas ucapakan talak sekarang. Aku sudah siap."
Aku terperangah, "Haifa ...."
"Dari dulu, Mas ingin mengucapkan itu kan? Maaf jika aku pergi tanpa pamit karena jujur waktu itu aku belum siap mendengarnya. Tapi sekarang, Mas tidak perlu khawatir aku akan mengulur waktu. Aku sudah sangat siap untuk mendengar kata talak dari Mas."
Tak sedikit pun keraguan yang aku lihat dari wajahnya. Haifa nampak sangat yakin atas keputusan berpisah yang sejak dulu memang aku inginkan. Akan tetapi mengingat ucapan Bayu, mengapa justru diri ini yang menjadi ragu?
"Haifa ...." Ah, lidah ini mendadak kelu.
"Mas--"
"Bunda!"
Aku dan Haifa terkesiap. Sontak kami menoleh ke arah bocah kecil yang dituntun oleh seorang wanita paruh baya. Wajah Haifa berubah tegang. Begitupun denganku setelah melihat wajah bocah kecil itu yang ternyata sangat mirip denganku.
"Bunda!" Teriaknya lagi saat dia hampir mendekat ke arah kami.
"I-iya, Sayang. Bunda di sini."
Aku melirik Haifa dan anak itu bergantian. Mata ini menyipit ketika melihat fokus anak itu yang hanya menatap ke satu arah dengan tangan yang bergerak seperti ingin menggapai sesuatu.
Satu pemikiran tiba-tiba terlintas dalam benak ini. Ya Tuhan! Jangan-jangan dia ... buta?
*
*
Bersambung.