PART 3 - Lukisan yang Tak Kusuka

1201 Kata
Raquetila Boutique, Jakarta. "Sampai kapan kau akan mendiami aku seperti ini, Renata?" tanya Aalisha di belakangnya. Renata tak menjawab. Perempuan itu melirik jam tangan mahal yang bertengger di pergelangan tangan mungilnya. Hanya setengah jam - Renata berjanji ia akan melakukan apa yang diinginkan kakeknya hanya setengah jam. Fitting gaun pernikahan. Sesuatu yang dulu sering ia lakukan. Ketika kuliah desainer, Renata bekerja sambilan di butik dan ia sering membantu pemilik butik mendesain gaun pengantin. Renata suka membuat gaun-gaun itu, tapi bukan berarti ia suka memakainya. Renata bahkan berharap ia tak akan memakainya. "Renata, apa kau masih marah padaku?" tanya Aalisha yang masih mengikutinya di belakang. "Marah? Aku rasa itu bukan kata yang tepat. Marah hanyalah perasaan dangkal yang mudah hilang. Tapi aku akan merasakan penyesalan ini seumur hidupku, Aalisha. Kau membuatku menikah dengan laki-laki yang tak aku cintai. Apa kau pikir aku marah sekarang?" kata Renata masih berjalan cepat memasuki butik besar itu. "Aku tahu. Kau pasti membenciku. Aku minta maaf, Renata." Renata berbalik. "Dan kata maaf adalah hal yang paling egois di dunia. Kata maaf hanya membuat orang merasa lebih baik setelah membuat kesalahan,"kata Renata. "Kau selalu membuatku kehabisan kata-kata, Ren." "Kalau begitu, jangan mengatakan apapun padaku. Aku tak pandai berbohong dan menahan diri. Jujur aku sangat membencimu akhir-akhir ini, Aalisha," kata Renata lalu meninggalkan Aalisha. Renata masuk ke butik lebih dalam. Butik itu sangat ramai, dipenuhi orang-orang kaya yang tengah berburu pakaian. Renata hampir saja berbelok ketika Aalisha menahan tangannya. "Renata, bukan ke sana arahnya," kata perempuan itu. Aalisha menarik Renata ke ruangan yang lebih kecil dan tersembunyi. Butik itu terlalu besar hingga Renata kesulitan menemukan Rachel, bibinya yang menunggunya untuk fitting baju pengantin. Sudah tiga hari sejak pertemuan keluarga Oetomo dan Gelael. Dan di sinilah Renata akhirnya, berada di antara gaun-gaun panjang berwarna putih yang tampak indah. Hanya saja tak seindah perasaannya. "Kenapa kau ikut datang? Bukankah kau harus istirahat? Bukannya kau tak ingin menikah dengan Benedict karena sakitmu semakin parah? Kenapa kau tak berdiam diri saja di rumah seperti biasa, Aalisha? Apa kau menggunakan penyakitmu hanya untuk mendapat apa yang kau inginkan?" tanya Renata dingin. Sekilas, Renata melihat sinar sedih di mata kakak sepupunya itu. Sinar redup yang membuat Renata seketika merasa bersalah. Penyakit Aalisha bukanlah main-main, kenapa Renata berkata seperti itu? "Aalisha, aku -" Aalisha tersenyum dan tetap menarik Renata. "Tak apa-apa. Sesakit apa pun perkataanmu, aku tak akan marah. Aku tak akan bisa marah padamu," kata Renata sambil membuka tirai besar yang mengarah ke ruangan VVIP Raquetila Boutique. Renata sedikit terkejut ketika melihat Ben di sana. Laki-laki itu duduk dengan tenang di sofa bersama Rachel. Tampak asik membicarakan sesuatu. Dan Renata tak habis pikir kenapa laki-laki itu terlihat sangat tenang, bahagia, dan - tertawa. Bagaimana bisa Ben tertawa ketika pernikahan mereka kurang tiga hari lagi? Renata bahkan ingin menenggelamkan diri di lautan jika saja Aalisha tak selalu di sampingnya. "Renata, akhirnya kau datang. Nak Ben sudah menunggu dari tiga pulut menit yang lalu," kata Rachel, bibinya yang langsung memeluk Renata dengan erat. Renata tersenyum tipis dan membalas pelukan wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu. Rachel melepas pelukannya ketika pemilik butik memanggilnya. Renata melihat Ben berdiri. Laki-laki itu mengenakan setelan formal yang terlihat mahal dan rambutnya tertata sangat rapi. Garis wajahnya tajam, tapi entah kenapa Renata tak merasa Ben adalah laki-laki yang menakutkan. Ben lebih terlihat sebagai laki-laki lemah menurut Renata. Laki-laki yang terlihat kesepian dan tak memiliki kehidupan. Renata sesekali mendengar pembicaraan Aalisha mengenai Ben dan Aalisha selalu berkata kalau Ben adalah orang yang gila kerja. Laki-laki itu hampir tak memiliki kehidupan sosial. Bahkan akhir pekannya pun ia habiskan di kantor. Karena itu Renata tak pernah melihat Ben mengajak Aalisha pergi selama ini. Ben mendekati Renata dan tersenyum kecil. "Kau datang," ucap pelan. Renata memutar matanya. "Tentu saja. Kau kira aku melarikan diri? Atau terjun ke laut dan membuatmu senang karena tak jadi menikah denganku?" kata Renata sinis. Ben tersenyum kecil. "Bagaimana kau tahu aku senang jika tak jadi menikah denganmu?" Renata melotot pada laki-laki itu. Tak tahu apakah Ben sedang bercanda atau tidak. Tapi yang Renata tahu, Ben bukanlah laki-laki yang suka bercanda. Humor dan laki-laki adalah dua hal yang berlawanan. Rachel kembali dengan dua orang pelayan di belakangnya. "Jadi aku sudah memberitahumu kan? Hari ini kau harus mencoba semua gaun di sini. Gaun-gaun ini adalah pilihan terbaik di sini, Renata. Keluaran terbaru - dan mereka sudah menyesuaikannya dengan ukuran tubuhmu. Kau pasti akan cantik memakai gaun-gaun ini," kata Rachel sambil memberikan gaun pertama pada Renata. "Bibi, aku tak bisa mencoba semuanya. Aku harus kembali ke kantor sebentar lagi. Bisakah aku memilih tanpa mencobanya? Aku tahu mana yang bagus untukku hanya dengan melihatnya." Renata mendekati lemari kaca itu dan melihat beberapa gaun itu. "Ini! Aku akan memakai ini," kata Renata sambil mengeluarkan gaun tanpa lengan yang sederhana dan cantik. Rachel menghembuskan napas kecil. "Kau harus mencobanya, Sayang. Tak ada pengantin yang memilih gaun tanpa mencobanya," kata Rachel. Aalisha ikut menyahut. "Benar, Renata. Aku tahu kau seorang desainer. Langsung tahu mana gaun yang cocok denganmu. Tapi kau harus tetap mencobanya. Biar kita bisa memberi saran agar gaunnya lebih baik lagi. Kau tak kasihan melihat Ben yang sudah menyempatkan datang untukmu?" Renata menggeleng. "Tidak. Memangnya siapa yang menyuruhnya datang?" tanya Renata santai. "Renata!" sergah Rachel. Renata melirik jam tangannya lagi. "Baiklah. Aku hanya akan mencoba satu gaun ini. Setelah ini aku harus pergi," kata Renata lalu membawa gaun itu ke ruang ganti. Renata membuka pakaiannya satu-persatu. Dengan wajah kesal melepaskan kaitan gaun itu dan memakaianya. Perempuan itu terkejut ketika tirai di belakangnya terbuka. Renata segera menutupi dadanya dan langsung menaikkan gaunnya dengan cepat. "Apa yang kau lakukan, Benedict?!" teriak Renata. "Tak perlu berteriak. Aku tak akan macam-macam." Kening Renata berkerut panik. "Aku tak menyangka kau tipe yang suka mengintip sembarangan. Kupikir kau sopan, ternyata -" Renata berbalik tanpa menyelesaikan perkataannya. "Ternyata apa?" tanya Ben sambil mendekati Renata. Renata melirik laki-laki itu dari kaca di depannya. Renata segera mengaitkan gaunnya dengan cepat. "Ternyata apa, Renata?" tanya Ben lagi. Perempuan itu berbalik. "Minggir, aku ingin keluar dan segera menyudahi hal tak penting ini," kata Renata. Renata melewati Ben dan membuka tirai ruang ganti itu. Perempuan itu mencari keberadaan Rachel dan Aalisha, tapi tak ada siapapun di ruangan itu. Kenapa mereka meninggalkan Renata sendirian bersama Ben? Apa yang sebenarnya mereka pikirkan? "Tante Rachel dan Aalisha pergi dulu. Mereka -" "Aku tak ingin tahu. Sekarang kau sudah melihat aku memakai gaun pengantin sialan ini, jadi aku anggap masalah gaun selesai. Aku akan memakai gaun ini entah kau suka atau tidak," kata Renata. Ketika Renata ingin masuk ke ruang ganti lagi, Ben menahan tangannya. "Apa kau akan bersikap seperti ini terus padaku, Ren?" tanya laki-laki itu. "Bersikap seperti apa?" "Seperti aku adalah musuhmu." Renata tersenyum kecil. "Jangan sok tahu, Benedict. Kau tak sepenting itu hingga aku mengganggapmu musuh," kata Renata. "Jadi aku lebih buruk dari seorang musuh?" Renata melepaskan tangannya. "Aku pernah bilang kan, kalau kau adalah salah satu lukisan yang tak aku suka. Itu tak akan berubah meskipun kita menikah. Jadi kau harus terbiasa dengan sikapku ini. Karena aku tak akan berubah." Renata masuk ke ruangan ganti. "Dan jangan masuk ke ruang ganti perempuan sembarangan! Kau membuatku tak nyaman!" kata Renata sambil menutup tirai ruangan itu dengan kasar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN