bc

Perempuan yang Terpinjam

book_age18+
125
IKUTI
1K
BACA
possessive
contract marriage
second chance
CEO
drama
twisted
mxb
office/work place
secrets
affair
like
intro-logo
Uraian

Renata tak tahu sejak kapan hidupnya bukan miliknya lagi. Mungkin sejak ia lahir dan menyandang nama Gelael yang mengharuskannya menjadi putri yang sempurna. Mungkin sejak orang tuanya meninggal yang mengharuskan Renata mengikuti semua perintah kakeknya. Atau mungkin saja sejak ia menikah dengan Ben, seseorang dengan mata teduh yang tentu saja tak pernah Renata cintai.

Menikah dengan Benedict Oetomo adalah impian semua perempuan di Indonesia. Namun bagi Renata, itu hanyalah penjara. Satu tempat dimana Renata tak bisa hidup dengan bebas lagi. Apalagi hanya untuk memperjuangkan cinta barunya yaitu Erland - pelukis muda yang membuat hati Renata berdebar.

Tapi seperti Dandelion selalu yang kembali ke tanah - Renata tahu ia hanyalah perempuan yang terpinjam. Karena Benedict adalah suaminya. Dan akhirnya Renata tahu apa itu arti seorang suami yang seharusnya. Laki-laki yang mencintainya dan selalu menunggunya di rumah dan itu adalah Benedict Oetomo yang tak pernah Renata sadari sebelumnya.

chap-preview
Pratinjau gratis
PROLOG
Aalisha mengajaknya bertemu. Renata tak tahu apa yang akan mereka bicarakan, tapi jika Aalisha sudah mengajak cucu keluarga Gelael berkumpul, berarti ada yang tak beres. Seperti lima tahun yang lalu, ketika Aalisha tiba-tiba berhenti kuliah dan memilih mengikuti les menjahit. Membuat seluruh keluarga Gelael terkejut, tapi tak ada yang berani melarangnya. "Ben sudah tahu," kata Aalisha. Kening semua orang berkerut bingung, tapi Renata tidak. Ia bisa dengan mudah menebak apa yang akan dikatakan Aalisha. "Ben sudah tahu soal penyakitku," kata perempuan itu lagi. "Darimana dia tahu?" tanya Renata dengan tatapan datar andalannya. Aalisha menatap lembut Renata. "Aku memberitahunya - kemarin. Sekarang mungkin dia sudah memberitahu orang tuanya," kata perempuan itu. Phoebe berdiri, memegang pelipisnya dan terlihat sangat bingung. Perempuan itu mengelilingi kamar Aalisha beberapa putaran. Lalu menatap Aalisha dengan bingung. "Kenapa kau memberitahunya?" tanya perempuan itu. Aalisha menggigit bibirnya, terlihat sangat lemah. "Karena aku tak mau menikahinya," kata perempuan itu dengan takut-takut. "Sialan, Aalisha! Kau akan menikah seminggu lagi! Dan kau baru saja mengatakan kau tak mau menikahinya? Kau bercanda?!" Phoebe mendekati Aalisha dan menatap kakaknya itu tajam. "Kalian sudah dijodohkan sejak dua puluh tahun yang lalu! Kenapa kau baru bilang kalau kau tak menyukainya sekarang? Kenapa kau bertingkah sebodoh ini?!" teriak Phoebe dengan mata melotot. "Aku sudah bilang aku tak menyukai Ben. Tapi tak ada yang mendengarkanku," bela Aalisha dengan mata berkaca-kaca. "Karena kau tak punya pilihan! Sejak kau dijodohkan dua puluh tahun yang lalu, kau tak punya pilihan! Sejak kau lahir di keluarga Gelael, kau tak punya pilihan! Kenapa kau baru tahu sekarang?" kata Phoebe dengan kasar. "Tapi kau punya pilihan. Kau akan menikah dengan orang yang kau cintai. Kenapa aku tak bisa?" tanya Aalisha pada adiknya - Phoebe. "Karena aku mencintai laki-laki yang diizinkan keluarga Gelael. Kalau kau mencintai laki-laki yang lebih baik dari Ben dan bisa membuatnya menikahimu, kakek tak akan mempermasalahkannya. Tapi sayangnya kau tak bisa! Tak ada yang lebih baik dari Ben untukmu! Karena itu kau tak punya pilihan, Aalisha!" kata Phoebe. Aalisha berdiri, menatap tajam adiknya dengan bibir bergetar. "Karena itu aku membuat pilihanku sendiri. Aku memberitahu Ben dan membiarkan mereka memutuskan. Apakah mereka akan tetap menerima perempuan penyakitan sepertiku atau tidak. Lagipula mereka akan tetap tahu tentang penyakitku. Tidak ada bedanya jika aku memberitahu mereka sekarang, kan?" tanya Aalisha. Phoebe menghentakkan kakinya. "Kau bodoh? Tentu saja ada bedanya. Kau tak tahu keluarga Oetama? Mereka adalah keluarga paling kaya di negara ini, Aalisha. Dan Benedict adalah putra tunggal mereka. Kau pikir, keluarga seperti mereka akan membiarkan anaknya menikah dengan perempuan yang memiliki penyakit jantung sepertimu?" tanya Phoebe. Kerren berdiri dan menatap tajam kakaknya. "Phoebe, jaga ucapannmu!" kata laki-laki itu. Aalisha menahan Kerren, "Tak apa-apa, Kerren. Aku memang perempuan penyakitan. Tak ada yang salah. Memang tak ada yang akan mau menerimaku." Aalisha menatap Phoebe. "Karena itu - karena sebentar lagi aku akan mati, kali ini aku akan melakukan apa yang aku inginkan. Aku tak akan menikahi Benedict," kata Aalisha dengan tajam. "Aalisha -" Renata menyilangkan kakinya, memotong perkataan Phoebe. "Lalu apa kau mengundang kami kemari hanya untuk mengatakan ini?" tanya Renata dengan tak peduli. Aalisha menatap Renata tak percaya. "Aku baru mengatakan kalau pernikahanku terancam gagal. Apa yang lebih genting daripada ini?" tanya Aalisha. Renata menatap jam tangannya. "Yang lebih genting adalah aku yang harus menemani ayahmu bertemu Presiden tiga puluh menit lagi," kata Renata. Renata merapikan roknya dan berdiri, "Kalau tak ada yang ingin kau katakan lagi, aku pergi," kata perempuan itu. Tangan lembut Aalisha menahan Renata, "Tunggu. Aku ingin memberitahumu sesuatu," kata Aalisha. Renata mengangguk dan kembali duduk di sofa kamar Aalisha. Phoebe dan Kerren juga ikut duduk. Sedangkan Aalisha tetap berdiri. Wajahnya pucat dan tatapannya terlihat tak fokus. Perempuan itu menatap Renata dengan penuh penyesalan. "Aku memberitahu Benedict karena aku tahu keluarga Oetomo tak akan menerimaku setelah tahu penyakitku. Tapi aku berpikir lagi - dengan harga diri kedua keluarga yang tinggi, aku kira mereka tak akan membatalkan pernikahan dan penyatuan kedua keluarga ini. Jadi -" Aalisha menatap Phoebe dan Renata bergantian. "Aku takut keluarga Oetomo meminta salah satu dari kalian untuk menggantikanku menikahi Benedict," kata Aalisha. Phoebe langsung berdiri. "Kenapa kau menatapku? Kau ingin aku menikah dengan Benedict? Jangan mimpi, Aalisha! Aku tak akan menikah selain dengan Eren. Dan kakek juga tak akan membiarkannya. Kakek sudah memberitahu semua orang kalau aku dan Eren sedang menjalin hubungan. Kakek tak akan membiarkannya!" kata Phoebe. "Karena itu -" Aalisha menatap Renata. "Aku pikir Renata yang akan menggantikanku," kata Aalisha pelan. Renata menghembuskan napasnya panjang. "Kenapa aku?" tanya Renata dengan datar. "Karena hanya kau. Kau adalah pilihan terakhir dan pilihan satu-satunya yang bisa Gelael tawarkan pada Oetomo, Renata," jawab Aalisha dengan lembut. Renata berdiri, "Aku tak sama dengan kalian. Ketua partai bukanlah ayahku, tapi ayah kalian. Oetomo menginginkan kekuatan politik dari keluarga kita dan aku tak bisa memberikannya. Karena kedua orang tuaku sudah mati," kata Renata. "Tapi kau tetap keturunan Gelael. Kau tetap keluarga kami. Oetama tak akan menolakmu, Renata," kata Aalisha. Phoebe tersenyum lebar. "Benar. Lagian kau tidak punya hubungan dengan siapapun, kan? Menikah dengan Ben adalah keuntungan bagimu," kata Phoebe. Renata berdiri, merasa pembicaraan itu semakin tak masuk akal. "Kenapa aku harus melakukannya? Aku tak akan merusak hidupku hanya untuk membersihkan masalah yang kau buat, Aalisha," kata Renata. Aalisha memegang tangan Renata, tapi perempuan itu menepisnya. "Hanya kau yang bisa membantu keluarga ini. Aku mohon, ini permintaan terakhirku, setelah ini, aku tak akan memintamu melakukan apapun lagi untukku, Renata," kata Aalisha. Renata menatap saudara sepupunya itu dengan senyum jahat, "Kau selalu membuatku seolah jahat, Aalisha! Kau harusnya tahu apa saja yang aku lepaskan untukmu. Hanya karena kau sakit, apa aku harus melakukan semua yang kau inginkan? Kau sudah menghancurkan mimpiku dan sekarang - kau ingin aku menikah dengan orang yang bahkan tak aku kenal? Kau tahu aku tak akan menikahi siapapun!" bentak Renata. Kerren menarik lengan Renata. "Kak, sudahlah, kondisi Kak Aalisha sekarang sedang tak baik," katanya. "Aku tahu. Aku tahu kau pasti membenciku karena aku memutuskan berhenti kuliah. Kau harus merelakan sekolahmu di Parsons dan masuk ke fakultas hukum karena aku. Aku tahu aku sudah menghancurkan mimpimu. Karena itu -" Aalisha memegang tangan Renata lagi. "Aku akan memohon pada kakek agar kau bisa keluar dari partai. Asalkan kau mau menikah dengan Ben, aku akan membujuk kakek agar membiarkanmu menjadi desainer lagi. Aku akan mengembalikan mimpimu, Renata," kata Aalisha dengan mata berkaca-kaca. "Kau pikir kakek akan membiarkan itu? Kalau aku keluar, siapa Gelael yang akan meneruskan partai? Phoebe?" Renata tertawa kecil sambil melirik Phoebe. "Dia bahkan tak pernah menonton berita politik. Kau pikir kakek akan melepaskanku begitu saja hanya karena aku mau menikahi anak tunggal Oetomo?" tanya Renata. Aalisha menunjuk Kerren yang berdiri di belakang Renata. "Kita masih punya Kerren. Kita semua tahu Kerren yang akan mewarisi semuanya nanti," kata Aalisha. Renata tersenyum kecil. "Kau pasti tak tahu sama sekali tentang Kerren, ya?" kata Aalisha. Aalisha menarik napas panjang. "Aku akan mengatur semuanya, Renata. Kalau tidak Kerren, akan ada Eren yang menjadi keluarga kita nanti - atau Ben. Atau siapapun itu yang akan menjadi penerus ayah." Kening Aalisha berkerut, menatap Renata dengan sedih. "Akan ada yang menggantikanmu, siapapun itu. Aku tak peduli dengan partai. Aku hanya ingin hidup sesuai keinginanku - di hari-hari terakhirku, Renata." Renata melepaskan tangan Kerren yang sedari tadi menahannya. Perempuan itu mengambil tasnya dan melewati Aalisha dengan tatapan tajam. Menandakan bahwa ia tak akan mau mengikuti permintaan sepupunyai itu. Sebelum Renata keluar dari kamar Aalisha, perempuan itu berhenti ketika mendengar suara lirih Aalisha yang penuh keputusasaan. "Tak bisakah kau - memberikan beberapa harimu untukku yang sakit ini? Aku hanya punya beberapa hari lagi untuk hidup - tak bisakah kau membiarkanku bahagia, Renata?" tanya Aalisha dengan lemah. Renata menggigit bibirnya. Merasa tak adil ketika Aalisha mengatakan hal seperti itu padanya. Aalisha menyerangnya - karena ia tahu bahwa Renata tak akan pernah bisa menolak permintaannya. Apalagi jika Aalisha memohon dengan putus asa seperti sekarang - persis seperti yang Aalisha lakukan padanya, delapan tahun yang lalu. New York, delapan tahun yang lalu... Renata tak menyangka melihat Aalisha di depannya. Di samping manekin yang baru Renata beli untuk pameran fashion besok di Brooklyn. "Maafkan aku Renata, tapi kau harus pulang sekarang. Kakek menyuruhmu pulang dan keluar dari sekolah ini. Kakek menyuruhmu mendaftar sekolah hukum menggantikanku." Renata menatap perempuan di depannya tak percaya. "Kenapa? Bukannya semua sudah sepakat hanya kau yang akan bergabung dengan partai? Kenapa memanggilku sekarang?" tanya Renata dengan mencengkeram erat buku sketsanya. Perempuan itu menatap Renata dengan sinar lemah. "Aku tak bisa melakukannya lagi, Renata. Aku menyerah. Sampai kapanpun, aku tak pernah tertarik dengan politik. Aku tak bisa mempelajari hal yang aku benci," kata perempuan itu. "Kau pikir aku menyukainya? Aku juga membencinya. Tapi kenapa harus selalu aku yang mengalah?" batin Renata dalam hati. Renata tak mau bersusah payah mengatakan hal itu pada Aalisha. Karena ia tahu meskipun beribu kali mengatakannya pun, tak akan ada yang berubah. Jika Gabino Gelael sudah memutuskan sesuatu - tak ada yang bisa mengubahnya. Apalagi cucu yang yang tak punya kuasa seperti Renata.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
3.2K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
146.6K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
148.8K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
282.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
205.0K
bc

TERNODA

read
191.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
221.2K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook