Dan Ben benar. Ketika Renata melangkahkan kakinya ke ruang tamu, perempuan itu mendengar nada tinggi nan berat saling bersahutan di ruangan itu. Salah satunya suara tak asing bagi Renata, yaitu suara kakeknya - Gabino Gelael.
Perdebatan mereka membuat Renata berdiri di pintu masuk. Ragu apakah ia akan masuk sekarang dan membuat semua orang menatapnya. Karena sekarang semua keluarga Gelael dan Oetomo berada dalam satu ruangan. Dan itu bukan pemandangan yang indah bagi Renata.
"Kau pikir siapa bisa menolak cucuku Aalisha? Meskipun Aalisha memiliki penyakit jantung, kami merawatnya dengan baik! Aalisha mungkin bisa hidup lebih lama darimu, Rajah!" kata Gabino dengan suara berat dan seraknya yang khas.
"Apa kau bilang? Kau membicarakan umur, bukankah kau yang lebih pantas mati lebih dulu?" balas Rajah Oetomo.
"Apa yang kau katakan? Kau baru saja mendoakan aku mati? Kau sadar apa yang terjadi kalau aku mati? Aku akan membuat wasiat agar cucuku tak boleh ada yang menikah dengan putramu! Kita lihat bagaimana kau menangani bisnis ilegalmu tanpa kekuasaan keluarga Gelael, Rajah!" kata Gabino.
Renata sedikit menegang ketika Ben menyentuh bahunya dan berbisik di telinganya. "Ayo masuk," katanya lalu mendahului Renata dan duduk di depan Rajah Oetomo.
Rajah melirik anaknya dengan tajam. "Kita sudahi permasalahan umur karena Benedict sudah datang. Jadi katakan padaku, apa yang bisa Gelael tawarkan padaku untuk memperbaiki semua ini?" tanya Rajah.
Apa yang bisa Gelael tawarkan?
Renata tersenyum kecil mendengar pertanyaan ayah Ben itu. Jelas sekali pertemuan hari ini adalah pertemuan bisnis - bukan pertemuan keluarga pasangan yang akan menikah. Renata dengan cepat mendekati Phoebe yang menepuk sofa di sampingnya - seolah meminta Renata duduk di sampingnya.
"Benedict bisa menikahi cucu keduaku," kata Gabino dengan datar.
Renata tak jadi duduk ketika mendengar perkataan kakeknya. Melirik Rajah yang tertawa kecil di depannya.
"Maksudmu Phoebe? Yang benar saja! Berita tentang hubungan Phoebe dan Eren sudah tersebar ke seluruh media! Kau ingin membuat lelucon dengan menikahkan putraku dengan kekasih putra Presiden? Kau gila?!" teriak Rajah dengan tajam.
Gabino menghembuskan napas kecil. "Cucu keduaku, Rajah! Apa kau tak tahu? Cucu keduaku adalah Renata! Bukan Phoebe! Sudah berapa tahun kau mengenal keluargaku?"
Rajah menatap Renata yang masih berdiri di antara orang yang duduk itu. Renata tahu itu bukan tatapan yang bersahabat. Dan Renata tahu alasan di balik tatapan itu. Rajah Oetomo tak mungkin rela putra satu-satunya menikah dengan anak yatim piatu sepertinya, meskipun Renata cucu Gabino sekali pun.
"Maksudmu perempuan itu?" tanya Rajah dengan mata merendahkan.
"Namanya Renata! Bukan perempuan itu!" bentak Gabino.
Rajah mendengus kesal dan berdiri. "Aku tahu ini akan terjadi! Tapi bagaimana? Perempuan itu tak cukup untukku! Kau harusnya memberiku penawaran yang lebih baik! Aku tak akan menikahkan putraku dengan perempuan yang tak memiliki masa depan sepertinya!" kata Rajah.
"Ayah!" bentak Benedict.
Renata mencengkeram erat tasnya. Hatinya sakit mendengar perkataan Rajah. Memangnya apa yang salah dengannya? Renata bukan anak haram atau pun anak simpanan di keluarga itu. Hanya karena kedua orang tuanya meninggal, apa Renata tak pantas untuk siapa pun?
Gabino mengambil tongkat kayunya dan berdiri. "Sayang sekali aku hanya memiliki tiga cucu perempuan dan semuanya tak ada yang cocok dengan keinginanmu, Rajah. Kalau begitu, apa perlu kita batalkan saja penyatuan keluarga ini? Pesta pernikahannya masih satu minggu lagi? Itu cukup untuk membatalkan perjanjian bisnis kita," kata Gabino.
Kening Rajah berkerut tajam. Berjalan mondar-mandir seperti berpikir keras. Rajah menatap Renata, lalu menatap Ben.
Ben tiba-tiba berdiri dan membungkuk pada Gabino. "Maaf Kakek, bisakah aku berbicara dengan Ayah sebentar? Kami akan segera kembali," kata Ben sambil menarik ayahnya menuju taman di samping ruang tamu.
Margareth - ibu Ben - ikut berdiri dan ruangan itu pun hanya tinggal keluarga Gelael. Melihat kakeknya hanya diam, Renata berdiri menghadap kakeknya.
"Apa ini, Kek? Bukankah Kakek harus membicarakannya dulu denganku sebelum mengumpankanku pada mereka?" tanya Renata.
"Mengumpankanmu?" Gabino menghentakkan tongkatnya dengan kasar. "Bagaimana kau bisa berpikir aku sedang mengumpankanmu? Aku sedang memberimu kesempatan, Renata! Kesempatan menjadi menantu keluarga terkaya di negera ini! Apa kau tak melihatnya?" tanya Gabino.
Renata menyentuh pelipisnya yang mendadak pusing. "Kakek tahu aku tak peduli dengan semua itu. Aku tak ingin menikah dengan Benedict, Kek," kata Renata.
"Ini bukan soal ingin atau tidak. Tapi kau harus melakukannya." Gabino menunjuk Aalisha yang duduk di sebelah ibunya. "Kau lihat Aalisha? Apa Aalisha bertunangan dengan Ben selama dua puluh tahun karena dia ingin? Tidak, Renata! Tapi itu hal yang harus ia lakukan demi keluarga Gelael, karena itu Aalisha melakukannya! Dan sekarang kau pun harus begitu!"
"Tapi Aalisha tak sampai menikah dengan Benedict! Dia hanya bertunangan! Dan karena Aalisha tak mau, karena itu sekarang aku yang menggantikannya sekarang, kan? Apa aku salah? Aku selalu hanya menjadi pengganti Aalisha!" kata Renata dengan penuh penekanan.
Gabino memukul lantai dengan tongkatnya lagi. "Cukup, Renata! Apa yang kau lakukan sekarang? Aku membawamu ke pertemuan ini, itu artinya keputusanku sudah bulat! Kau akan menikah dengan Benedict!" ujar Gabino lalu duduk di sofa lagi.
Renata menyugar rambut pendeknya. "Aku pikir tak semudah itu. Oetomo tak mungkin menerimaku," kata Renata lalu pergi dari ruangan itu.
"Kau salah! Oetomo akan menerima siapapun asalkan dari keluarga Gelael," kata kakeknya yang masih Renata dengar.
Renata tetap berjalan meninggalkan ruangan itu meskipun beberapa kali Rachel - bibi Renata - memanggilnya. Renata tak peduli lagi dengan pertemuan itu. Dari awal Renata tahu ia tak memiliki kuasa di keluarga itu. Renata datang atau tidak, itu tak akan mengubah keputusan Gabino. Tak ada yang bisa mengubah keputusan kakeknya itu.
"Aku akan menikah dengan Renata."
Suara tak asing itu membuat Renata berhenti. Perempuan itu menoleh ke balik jendela dan melihat Ben berdiri di depan kedua orang tuanya. Mereka tampak serius membicarakan tentang pernikahan itu.
"Tidak. Tidak. Kau tak boleh menikah dengan perempuan itu. Aku tak membesarkanmu untuk menikah dengannya," kata Rajah sambil menyentuh kepalanya yang sedikit botak.
"Lalu bagaimana, Ayah? Sepertinya yang Ayah bilang, Phoebe sudah memiliki kekasih. Putra presiden yang tak mungkin kita ganggu. Tak ada pilihan lain selain Renata," kata Ben.
"Tidak bisa." Rajah seperti berpikir keras. "Lebih baik kau menikah Glade, putri keluarga Xylene. Ayahnya seorang menteri keuangan. Mereka akan cukup membantu bisnis kita," kata Rajah.
Ben mendesah panjang. "Ayah! Apa Ayah berniat menjadikanku lelucon? Ayah sudah memberitahu semua media kalau aku bertunangan dengan putri keluarga Gelael selama dua puluh tahun dan sekarang Ayah ingin aku menikah dengan putri keluarga Xylene?"
"Kalau begitu, lebih baik kau menikah dulu dengan Aalisha dan jika Aalisha meninggal nanti, kau bisa menikah dengan Glade. Ini pilihan yang lebih baik."
"Ayah! Itu bukan pilihan! Mungkin Ayah menganggap pernikahanku hanya bisnis, tapi aku akan menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Dan aku tak ingin merasa bersalah menikahi Aalisha hanya untuk menunggunya meninggal. Apa yang Ayah pikirkan?" kata Ben dengan kesal.
"Pernikahan ini dari awal memang sebuah bisnis, Ben! Jangan mengubahnya menjadi perasaan kasihan apalagi cinta! Bukan itu yang Ayah inginkan!"
"Apa Ayah pikir, keluarga Xylene akan menerimaku nanti? Mantan menantu Gelael? Ayah tahu hubungan Gealeal dan Xylene tak terlalu baik. Mereka adalah lawan politik, Ayah."
Rajah menatap tajam anaknya. "Lalu apa yang kau inginkan? Kau ingin Ayah menerima perempuan bernama Renata itu? Dia bukan siapa-siapa! Meskipun dia cucu Gabino, tapi dia tak memiliki kekuasaan apa-apa. Kalau ayahnya masih hidup mungkin aku akan menerimanya, tapi sekarang dia tak memiliki siapapun. Dia tak berguna untuk kita, Benedict!"
"Tak berguna?"
"Kau sepertinya tak mengerti. Keluarga Gelael berbeda dengan keluarga kita. Kita memiliki banyak uang, tapi mereka tidak. Yang mereka punya adalah kekuasaan, Benedict! Dan setelah Gabino mati, kekuasaan itu akan turun ke Marist! Kau pikir Marist memperlakukan anak itu seperti anaknya sendiri? Tidak! Marist tak menyukai anak itu! Itu artinya Marist juga tak akan suka denganmu."
Ben melangkah mendekati ayahnya. "Ayah... Aku tak pernah menentang apapun keputusanmu selama ini - tapi bisakah kau percaya padaku kali ini saja? Renata tak selemah yang Ayah pikirkan. Dia perempuan pintar. Dan nama Gelael di belakangnya sudah cukup untuk kita. Aku tak mungkin menikahi Aalisha dan Phoebe. Kita juga tak mungkin membatalkan pernikahan ini, kan? Soal bisnis, ayah bisa membicarakannya dengan Kakek Gabino. Dia pasti akan memberikan yang kita mau, Ayah. Dia bersalah ke kita karena menyembunyikan penyakit Aalisha. Ayah bisa menggunakan itu untuk memaksa Kakek Gabino melakukan apapun yang Ayah mau," kata Ben.
Renata bisa melihat Rajah berpikir. Butuh beberapa detik sebelum pria itu berkata.
"Kenapa kau ingin menikahinya?" Mata Rajah memicing menatap anaknya, seperti mencurigai sesuatu. "Kenapa kau ingin menikahi perempuan itu? Kau menolak setengah mati saat aku ingin mempercepat pernikahanmu dengan Aalisha. Dulu kau memohon padaku untuk memutuskan pertunanganmu dengan Aalisha, tapi sekarang? Kenapa kau ingin menikah dengan perempuan itu, Ben? Karena kalau kau memiliki perasaan padanya - aku tak akan setuju."
"Aku tak memiliki perasaan apapun padanya," jawab Ben - cepat dan terdengar yakin.
"Lalu kenapa? Kenapa kau lebih memilih Renata daripada Glade?"
"Karena aku tak ingin mempermalukan keluarga kita. Pernikahanku satu minggu lagi. Kalau kita tiba-tiba membatalkannya, itu akan memalukan dan Oetomo tak boleh melakukan hal memalukan seperti itu, kan?" kata Ben.
Rajah mendesah kasar lalu berjalan melewati anaknya itu. "Lakukan apapun yang kau mau. Tapi kau harus bertanggung jawab dengan keputusanmu ini," ucapnya dengan dingin.
Renata menepi ke arah dinding ketika Rajah keluar dari pintu. Setelah Rajah pergi, Renata bisa mendengar Margareth mengatakan sesuatu pada anaknya.
"Mami tak peduli siapa yang kau nikahi nanti. Tapi kau harus mengingat satu hal." Wanita itu mendekati Ben dan merapikan kerah kemejanya. "Jangan pernah membuat ayahmu kecewa, Benedict," ucap wanita itu dengan nada yang sama dinginnya dengan Rajah.
Renata kembali bersembunyi ketika Margareth keluar. Perempuan itu melihat Ben masih termenung di tempatnya berdiri. Mata laki-laki itu terlihat lelah - lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas. Dan Renata tahu - meskipun dari kejauhan, bahwa laki-laki itu tak bahagia.
Renata mencegat Ben di depan pintu ketika laki-laki itu ingin keluar. "Kau tak pandai berdebat, tapi ku akui kau pandai merayu dan memohon pada orang tuamu." Perempuan itu menyilangkan tangannya di d**a. "Kenapa kau sampai melakukan itu untuk hanya untuk menikah denganku, Benedict?"
Ben menatap Renata dengan datar. "Jangan salah paham. Aku tak melakukannya untukmu, aku melakukannya untuk diriku sendiri," kata Ben sambil melewati Renata dengan wajah dingin.