Renata sedikit terkejut melihat Ben di depan butik. Laki-laki itu bersandar di mobil mewahnya. Melirik jam tangannya dan tersenyum kecil ketika melihat Renata. Laki-laki itu mengenakan kacamata hitam dan tangannya memegang jas yang sudah ia lepas. Lengan kemejanya yang tergulung membuat Renata bisa melihat otot tangan Ben yang kuat.
"Kenapa kau masih di sini?" tanya Renata.
Ben membukakan pintu untuk Renata. "Mengantarmu pulang. Kau tak tahu Aalisha mengambil kunci mobil dari tasmu? Aalisha membawa mobilmu pergi," kata Ben.
Renata segera merogoh tasnya dan Ben benar. Renata tak menemukan kunci mobilnya yang selalu ada di tas. Perempuan itu mendengus kesal dan segera naik ke mobil Ben. Laki-laki itu tersenyum kecil lalu duduk di samping Renata.
"Aku pikir kau akan menolak naik mobilku," kata Ben sambil menyalakan mobilnya.
Renata memakai sabuk pengamannya. "Kenapa harus menolak? Lima belas menit lagi aku harus datang ke konferensi pers dan aku tak punya waktu untuk mencari taksi."
Ben membelokkan mobilnya ke jalan raya. "Renata, apa kau tak peduli apapun selain pekerjaanmu?" tanya Ben.
"Lihat saja dirimu. Bukankah kau sama saja?" tanya Renata sinis.
"Dulu kupikir iya. Tapi sekarang sepertinya berbeda."
Renata tak tahu apa maksud Ben, tapi ia tak ingin bertanya lagi. Renata tak ingin tahu apapun tentang Ben. Sedikit hal yang ia tahu, sedikit masalah yang mendatanginya nanti.
Ben melepas kacamata hitamnya. "Kau tak ingin tahu apa yang berbeda sekarang?" tanya laki-laki itu.
Renata menggeleng. "Tidak. Aku tidak ingin tahu, jadi jangan beri tahu aku," katanya.
Ben tersenyum kecil. Laki-laki itu mengendarai mobilnya dengan pelan. Cukup pelan hingga beberapa mobil di belakangnya mendahuluinya. Perempuan itu melirik jam tangannya dan mendengus pelan.
"Apa kau selalu mengendarai mobilmu selambat ini? Kau tak lihat ada pesepeda yang menyalipmu tadi?" kata Renata.
"Aku melihatnya."
"Jika kau tak bisa menyetir dengan benar, biar aku saja yang menyetir," kata Renata dengan kesal.
Ben menggeleng. "Aku memang sengaja melambatkannya."
"Sudah kubilang aku ada konferensi pers dengan partai lima belas menit lagi, Benedict. Sepuluh menit sudah berlalu dan kita bahkan masih jauh," kata Renata.
Ben berhenti ketika lampu merah. "Apa kau harus datang ke konferensi pers itu? Apa acara itu akan batal jika kau tak datang? Tidak, kan?"
"Aku adalah sekretaris ketua umum partai - tentu saja aku harus datang. Apa aku harus menjelaskan semua ini? Harusnya kau tahu!"
"Renata, aku tak mengerti denganmu." Ben menatap Renata dengan mata menyipit. "Kau jelas tak menyukai pekerjaanmu sekarang. Tapi kenapa kau sangat bekerja keras?" tanya Ben.
"Apa pernah kau merelakan sesuatu yang sangat kau suka?" tanya Renata balik.
Ben tampak berpikir sebelum menjawab. "Tidak. Aku rasa tidak."
"Aku merelakan mimpiku dari kecil untuk pekerjaanku sekarang. Aku melepaskan hal yang aku suka - menjadi desainer pakaian dan mengadakan fashion show sendiri adalah impianku, Benedict. Dan itu semua harus kulepaskan demi partai. Lalu jika aku tak bekerja keras dan mencapai sesuatu setelah meninggalkan impianku, aku akan merasa sangat tak berguna." Renata melirik Ben yang masih fokus menyetir. "Kau tak akan paham karena kau tak pernah merasakannya," lanjut perempuan itu.
"Aku -" Ben mempercepat laju mobilnya. "Dari awal aku memang tak tahu apa yang aku suka. Jadi aku tak pernah merasa kehilangan apapun," ucap laki-laki itu dengan sedih.
Renata menatap laki-laki itu cukup lama. Suaranya yang rendah dan terasa berat membuat perempuan itu terdiam. Sebenarnya - orang seperti apa laki-laki di sampingnya itu? Kenapa Renata tak menyukainya? Apa yang membuat Renata tak menyukai laki-laki itu? Apa karena laki-laki itu begitu mirip dengannya? Tapi kenapa sekarang Renata merasa ia dan Ben sangatlah berbeda?
"Aku minta maaf," kata Renata pelan.
"Untuk?"
"Karena bersikap konyol dan menyebalkan padamu."
Bibir laki-laki itu tertarik miring. "Akhirnya kau menyadarinya. Kau harus tahu kalau kita bukanlah musuh, Renata. Jadi kalau kau tak menyukainya, setidaknya jangan membenciku," kata Ben.
Renata mengangguk kecil, "Aku akan berusaha," katanya.
"Aku tahu kau tak suka menikah denganku. Tapi kita tak punya pilihan lain, kan? Setidaknya kita bisa menjadi rekan yang baik," kata Ben.
Renata menatap lurus ke depan. "Benedict, apa kau tak ingin sekali saja - memberontak pada keluargamu? Kenapa kau harus menuruti mereka. Kau sudah bertunangan dengan Aalisha selama dua puluh tahun. Aku tahu kau tak memiliki perasaan apapun pada Aalisha. Semua itu hanya urusan bisnis - aku tahu. Tapi kenapa kau mau melakukan itu?"
"Aku rasa kau sudah tahu jawabannya, Renata. Kau juga selalu menuruti kakekmu."
"Tapi kakek berbeda. Kau masih memiliki orang tua, sedangkan aku tidak. Apa mereka tidak ingin sekali saja - mempertimbangkan kebahagianku? Karena aku pikir - jika orang tuaku masih hidup, mereka tak akan memaksaku untuk menikah seperti sekarang."
"Sayangnya - orang tuaku tak sama dengan orang tuamu. Dan mereka tak pernah mengharapkan kebahagianku - sama sekali."
Renata menatap Ben dengan kening berkerut. "Kau - apa kau bukan anak kandung mereka?" tanya Renata penasaran.
Ben tertawa kecil mendengar pertanyaan Renata. "Kalau aku bukan anak kandung, aku tak akan menuruti mereka sama sekali, Renata. Aku lebih baik pergi dari rumah itu dari dulu."
"Rupanya kau juga memiliki hidup yang rumit," kata Renata lirih.
Mobil Ben sudah berbelok ke kantor Renata. "Jangan mengasihaniku. Aku bisa menerima semua perasaanmu padaku, tapi bukan rasa kasihan," kata Ben sambil menghentikan mobilnya.
Renata tak membalas perkataan Ben dan langsung turun dari mobil laki-laki itu. Renata baru saja ingin mengucapkan terima kasih karena Ben sudah mengantarnya, tapi laki-laki itu segera melajukan mobilnya dengan cepat. Meninggalkan Renata yang masih termenung melihat mobil Ben semakin menjauh - dan menjauh - hingga hilang di antara mobil-mobil lain yang berlalu lalang di gedung kantornya.
* * * * *
"Jadi bagaimana? Apa persiapan pernikahanmu berjalan lancar?" tanya Marist tanpa melepaskan pandangannya pada layar ponselnya.
"Aku rasa begitu," balas Renata pendek.
"Kau sungguh beruntung. Ayahmu harusnya berterima kasih padaku. Kalau saja Aalisha tak memberitahu Ben, kau tak akan bisa menikah dengan anak pengusaha paling kaya di negara ini, Renata."
"Aku juga tak menginginkannya."
"Sayang sekali. Sebagai salah satu keluarga Gelael, kau tak cukup memiliki ambisi," kata Marist.
Renata tersenyum kecil. "Harusnya kau lihat sendiri anak-anakmu, Paman Marist. Aku tak melihat sedikitpun ambisi dari mereka."
Marist menyimpan ponselnya di saku celana. "Mereka tak memiliki ambisi, tapi mereka memiliki aku. Aku yang akan menentukan ambisi mereka. Tapi kau? Kau harus memikirkan ambisimu sendiri karena ayahmu tak ada, Renata. Kapan kau akan sadar itu?"
Renata membelokkan mobilnya ke rumah Gelael. "Ambisi lagi yang harus aku miliki? Aku akan menikah dengan anak tunggal pengusaha paling kaya di negera ini. Kalau aku punya ambisi yang lebih besar daripada itu, aku mungkin akan mengalahkanmu, Paman," kata Renata.
Marist menatap Renata dengan tajam. "Mengalahkanku? Aku pamanmu! Atasanmu yang harus kau hormati! Umurku dua kali lipat darimu dan kau ingin mengalahkanku? Kau sudah lama bekerja denganku, apa kau tak paham?" Marist melepas sabuk pengamannya. "Tak ada tempat untuk perempuan sepertimu di partai. Tempat tertinggi yang bisa kau raih hanya menjadi asistenku, Renata. Asisten yang mengikutiku kemanapun aku pergi," kata pria itu.
Sebelum menutup pintu mobil, Marist berkata lagi. "Parkirkan mobilku dengan rapi dan jangan lupa segera buat script untuk pidatoku besok di kantor kepresidenan," kata Marist lalu meninggalkan Renata.