Cahaya sinar matahari pagi yang terpancar menembus tirai putih tipis di sebuah kamar berhasil membuat Shania terbangun. Gadis itu menggeliat kemudahan menguap lebar.
"Bik San—ahhh ... Gua lupa kalau gua gak lagi di rumah," teriak Shania memanggil, tapi berakhir berbicara pada diri sendiri. Semulanya Shania ingin memanggil salah satu pembantu yang berkerja untuk keluarganya, memang kebiasaan Shania dari dulu setiap bangun tidur. Namun, hal itulah yang membuat dirinya sadar kalau saat ini ia sedang melancarkan aksi kabur dari rumah.
Shania meneguhkan hati, mulai sekarang ia harus bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri. Gadis itu kemudian bangkit dari posisi rebahannya. Berlanjut menuju kamar mandi yang berada di sudut ruangan. Shania hendak membasuh diri.
Setelah selesai dengan kegiatan itu, Shania mulai berkemas semua barang bawaannya. Hari ini juga, ia berencana untuk keluar dari hotel yang sudah menampungnya semalam karena bahaya kalau ia tetap berada di sini bisa-bisa keluarganya berhasil menemukan keberadaannya. Shania tidak mau hal itu sampai terjadi, karena bagaimanapun caranya ia harus bisa menghindari perjodohan sepihak itu.
Disela-sela kegiatan mengemas barang-barangnya, perut Shania mendadak bergetar dengan sendirinya. Tangan Shania lalu turun memegangi perutnya yang ternyata kelaparan. Oleh sebab itulah, Shania memilih keluar dari kamar hotelnya. Kebetulan hotel yang ia tempati menyediakan restoran khusus untuk para tamu yang menginap, Shania hendak menuju ke sana bersama dengan barang bawaannya yang telah selesai terkemas. Karena sehabis sarapan, Shania berpikir ia akan langsung pergi.
Dua puluh menit lamanya Shania berhasil menyantap makanannya tanpa sisa. Setelah itu, ia lalu bergegas bangkit berdiri hendak menuju tempat p********n.
"Semuanya 350 ribu," kata wanita kasir itu kepada Shania.
Shania kemudian mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompetnya yang akan ia jadikan sebagai alat p********n. Kartu tersebut langsung diterima oleh penjaga kasir. Kening Shania seketika mengernyit lantaran mengetahui kalau kartu yang ia berikan tidak bisa digunakan. Terlebih lagi ketika wanita penjaga kasir itu menatap Shania dengan tatapan aneh. Cepat-cepat Shania mengambil kartu ATM-nya yang lain.
Keringat dingin mulai bercucuran deras dari pelipis mata dan telapak tangan Shania. Sudah 2 sampai 4 kartu ia berikan, tapi tidak ada satupun di antara mereka yang berfungsi. Shania ingat dengan jelas kalau semalam kartu itu masih bisa ia gunakan untuk melakukan transaksi pendaftaran kamar hotel, tapi sekarang kenapa tidak bisa lagi?
"Bagaimana kalau Mbak gunakan uang cash saja?" Ucap wanita itu, memberi solusi.
Shania kembali merogoh dompetnya. Namun, di detik itulah wajahnya semakin berubah menjadi pucat pasi. Seolah-olah mengambang sendirian di tengah-tengah lautan lepas, Shania ingin berteriak lantang menggunakan kata 'tolong'. Shania baru ingat, saat kabur dari rumah semalam ia tidak membawa uang cash sepersen pun karena mulanya Shania berencana akan melakukan penarikan dari kartu-kartu yang ia punya.
Tapi tanpa ia duga sebelumnya, ternyata keluarganya menyadari lebih awal kalau ia kabur dari rumah. Shania yakin betul, di balik kartu atm-nya yang tidak bisa digunakan pasti ada campur tangan dari ayahnya. Ayahnya pasti sudah membekukan semua kartu yang sering Shania gunakan untuk berbelanja.
Melihat Shania yang tidak lagi melakukan pergerakan, wanita kasir itu menjadi merasa curiga. "Ayo, Mbak. Bisa cepetan gak? Di belakang banyak yang antri," kata wanita itu sengaja memburu Shania. Shania semakin bingung dengan keadaan. Seumur-umur belum pernah ia berhadapan dengan peristiwa seperti ini.
"Mbak, bisa ngutang gak?" Tanya Shania, hati-hati. Meski tahu pasti akan menerima dampratan.
Brakk
Wanita yang tadinya bertutur lembut kepada Shania, memukul dataran meja yang berada di hadapan Shania dengan keras. Tentu saja Shania terperanjat dan sekarang dirinya juga menjadi pusat perhatian semua orang yang berada dalam satu ruangan dengannya.
"Mbak kira ini restoran milik saudara Mbak, begitu? Sudah dikasih makan, seenak jidatnya gak mau bayar. Saya gak mau tahu, pokoknya sekarang juga Mbak harus bayar makanan yang sudah Mbak pesan. Kalau tetap gak mau, terpaksa saya akan panggil petugas satpam," kata wanita itu, tegas dan terkesan tidak mau tahu. Matanya menatap horor pada Shania. Bukannya kenapa, pasalnya wanita yang sudah berkerja lebih dari 5 tahun di restoran ini tentu saja sudah sering bertemu dengan orang-orang yang bermasalah sama seperti Shania. Bisa wanita itu simpulkan kalau Shania itu penipu, oleh karena itulah sedikitpun Ia tidak mau bersikap lunak kepada Shania.
"G-gak. S-saya bukanya gak mau bayar, ta—"
"Satpam!" Panggil wanita itu tanpa peduli dengan raut wajah Shania yang sekarang berubah menjadi panik.
"Lohhh ... Mbak. Saya belum selesai ngo—"
"Satpam!" Panggilan kali ini berhasil memunculkan dua orang pria berbadan kekar yang mengenakan seragam berwarna putih yang sama.
Wanita penjaga kasir itu menjelaskan kepada kedua pria yang ia panggil tadi perihal masalah Shania. Sedangkan Shania hanya bisa menunduk dalam diam sembari memainkan jari-jari tangannya karena takut. Ingin bertindak, ia tidak punya kekuatan ataupun uang yang dapat membopongnya. Shania akui kalau dirinya lah yang bersalah di sini. Apa pun yang akan dilakukan oleh para satpam itu padanya nanti, mau tidak mau Shania harus tetap menerimanya.
*****
Sesuai dengan perkiraan Shania, memang benar di kediaman keluarga besar Prasetyo sekarang ini tengah heboh karena menghilangnya Shania. Ayah serta kakak laki-lakinya sibuk memikirkan kemana anak gadis itu pergi. Padahal segala sesuatu untuk acara perjodohan Shania hampir rampung dipersiapkan. Meski itu adalah acara pertunangan, tapi surat undangan sudah banyak disebarkan ke banyak orang.
Ayahnya, Bimo sudah mencak-mencak di hadapan kakaknya, Shekan. Padahal pria tua itu tadi sudah bertindak dengan mengerahkan anak buahnya untuk mencari Shania, sekaligus membuat Shania miskin di luar sana karena yakin Shania pasti akan pulang ke rumah lantaran tidak punya uang untuk menyambung hidup di luar sana. Namun, tetap saja Bimo tidak merasa puas.
"Pa. Apa ini gak keterlaluan ya. Kasian Shania sendiri di luar sana. Gimana dia bisa hidup tanpa uang?" Tanya Shekan yang sudah keberapa kalinya. Mengingat bagaimana sifat manja Shania yang sama sekali tidak punya pengalaman dalam menjalani hidup yang berkekurangan, membuat Shekan sedikit ragu. Biar bagaimanapun ia adalah seorang kakak bagi Shania, tentu saja sangat peduli terhadap adiknya. Tapi laki-laki berumur 25 tahun itu tidak mengerti, kenapa beberapa hari terakhir ini ayahnya itu sangat keras memperlakukan Shania hanya demi perjodohan yang sebenarnya ingin ia tantang agar sampai tidak terjadi.
Iya, kakak Shania yang sampai sekarang masih single itu sebenarnya tidak setuju atas perjodohan Shania dan sudah berkali-kali mencoba membuat agar ayahnya mengerti tentang perasaan Shania. Sayangnya, usaha yang ia lakukan tidak menghasilkan apa pun. Ayahnya itu tetap teguh terhadap pendiriannya sendiri. Alhasil, Shekan hanya bisa meratapi kesedihan Shania dengan diam memangku tangan.
"Sudahlah, Shekan. Kamu gak perlu menggurui Papa. Ini urusan antara Papa sama Putri Papa. Kalau kamu gak bisa bantu, cukup kasih dukungan aja sama Papa. Agar kamu gak Papa cap sebagai anak durhaka seperti adik kamu itu," kata Bimo, membalas ucapan Shekan.
Shekan pun menghela nafas panjang. Lagi-lagi kalimat itu yang ayahnya gunakan sehingga membuat Shekan semakin bimbang untuk membantu Shania, yang pada akhirnya membuat Shania jadi salah paham karena mengira kakaknya itu tidak lagi menyayanginya. Jujur, sebenarnya Shekan cukup senang atas berita kaburnya Shania. Setidaknya, adiknya itu masih punya usaha untuk membebaskan diri dari curam yang hendak menerjang hidupnya. Ini membuktikan kalau Shania yang dikenalnya sangat manja kini sudah mulai beranjak dewasa.