Shania sekarang sudah sampai di kamar hotel yang proses penyewaannya dibantu oleh pria yang menolongnya tadi yang sekarang sudah Shania ketahui bernama Jean. Setelah selesai dengan urusan Shania, pria itu pergi dengan meninggalkan kartu namanya kepada Shania dan memberi pesan kalau seandainya Shania butuh bantuan Shania boleh menghubunginya. Baru pertamakali bertemu saja, Jean sudah memberikan kesan yang dalam kepada Shania melalui sikap baik hati dan mau menolongnya. Shania pikir, Jean adalah manusia langka untuk ditemui di dunia.
Meskipun Shania berpikir begitu, ia tidak terlalu berharap untuk dapat bertemu dengan Jean lagi. Cukup sudah ia merepotkan Jean sampai membuat pria itu sedikit babak-belur malam ini. Kalaupun ia menemui kesulitan kedepannya, Shania akan berusaha menghadapinya sendiri.
Shania langsung menuju tempat tidur tanpa berniat mengganti terlebih dahulu pakaiannya yang terlihat kucel itu. Biasanya Shania akan merasa risih jika tubuhnya kotor walau sedikit, namun sekarang ini Shania tidak begitu peduli. Ia hanya ingin cepat-cepat menuju alam mimpi, agar fajar yang beberapa jam lagi akan menyingsing bisa ia sambut dengan gairah.
Shania menutup matanya, namun baru beberapa detik kegelapan hinggap tapi kelopak matanya itu mekar begitu saja. Shania merasa sulit tidur. Ia mencoba lagi untuk menutup matanya kali ini dengan paksaan, tapi tetap saja matanya itu kembali terbuka.
Ia kemudian memilih untuk duduk dan menyandarkan punggung serta kepalanya di bagian headboard. Ia merasa sulit untuk tidur karena teringat kembali dengan perkataan ayahnya kemarin.
"Lebih baik Papa gak perlu punya putri daripada punya tapi tidak berguna seperti kamu," kata Bimo, ayah Shania waktu itu. Shania tahu kalau laki-laki yang hendak dijodohkan oleh ayahnya itu adalah kolega ayahnya yang sangat penting, yang mana jika kalau Shania mau menuruti dan menerima perjodohan itu, perusahaan milik ayahnya pasti akan semakin berkembang dan semakin berjaya. Tapi tetap saja, Shania tidak habis pikir bagaimana ayahnya yang selalu penuh kasih bisa berkata sejahat itu padanya hanya karena Shania menolak perjodohan itu. Apakah perusahaan lebih berharga dibanding dirinya, apakah uang lebih penting dibanding kebahagiaan anaknya sendiri.
Shania menunduk dalam, ia kembali menangis seperti malam kemarin. Menangis dalam diam tanpa ada yang mengetahuinya. Shania sekarang merasa sendiri, tidak punya siapa-siapa lagi. Ayah, kakak bahkan sahabatnya sendiripun tidak ada di sisinya ketika ia merasa terpuruk. Disaat-saat seperti inilah Shania merasa sangat rindu pada ibunya, pada senyum ibunya yang seumur-umur belum pernah Shania lihat dalam dunia nyata.
Kalau bisa Shania sangat ingin bertemu ibunya itu agar bisa meminta pelukan hangat di tubuhnya, agar bisa menerima usapan lembut di kepalanya, agar bisa diberi kecupan di wajah, dan melakukan hal-hal lainnya yang belum pernah ia rasakan sedari ia kecil.
Namun Shania sangat sadar, bertemu dengan ibunya hanya bisa diwujudkannya dalam mimpi saja karena dunianya dan dunia ibunya itu sudah berbeda. Ibunya pergi tanpa sempat memberikannya sebuah kecupan yang seharusnya diterima kebanyakan bayi ketika ia baru lahir. Ibunya itu sama sekali tidak melihat bagaimana proses pertumbuhan Shania.
Shania melepaskan kalung yang selalu ia kenakan setiap saat. Sebuah kalung pemberian ayahnya yang mana jika dibuka akan terlihat foto kecil yang memuat gambar ibunya yang tengah tersenyum sangat anggun sambil memegang perutnya yang besar, di mana didalam itu terdapat Shania.
"Mama. Shania sakit ...." Lirih Shania. Air mata Shania turun tidak terbendung. Ia meletakan kalung itu dalam dekapannya. Merasakan adanya kehadiran ibunya melalui kalung tersebut.
*****
Setelah selesai memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah mewah bergaya Eropa, Jean pun langsung turun dan memberikan kunci mobilnya pada seorang penjaga yang membukakan gerbang untuknya tadi.
Tanpa adanya jeda, Jean bergegas masuk ke dalam rumah, menaiki tangga hendak ke lantai dua. Ia membuka salah satu pintu kamar dan memasukinya.
Melihat kehadiran Jean, tuan mereka. Beberapa pelayan rumah yang semulanya mengelilingi ranjang tidur segera menepi memberi jalan untuk Jean. Pria itu mendekat lalu duduk di kursi yang berada di sisi kanan ranjang itu.
"Bagaimana?" Pertanyaan Jean ini ditujukan kepada pria berjas putih yang mengalungkan sebuah alat yang disebut stetoskop di lehernya.
"Tuan tidak perlu khawatir, semua sudah baik-baik saja sekarang. Tuan Muda Andi hanya perlu beristirahat saja karena demamnya sudah berangsur-angsur turun," jawab pria yang adalah seorang dokter itu.
Mendengar itu, tetap saja kecemasan di hati Jean tidak bisa hilang, ia teramat menyayangi anak yang berada di hadapannya ini. Ia tidak akan pernah bisa tenang jika mendengarnya sedang sakit.
Untuk merespons ucapan sang dokter yang telah lama bekerja khusus untuk keluarga Abirama itu, Jean menaik-turunkan kepalanya sekali sambil berkata, "terima kasih."
"Tidak perlu sungkan, Tuan. Ini sudah menjadi tugas saya," ungkap pria yang usianya mungkin dua kali lipat dari usia Jean itu, terbukti dari keriput yang terpatri jelas di wajahnya. Sang dokter kemudian mengemas peralatan yang sudah selesai digunakannya, memasukkan semuanya ke dalam tas hitam.
Jean menghela napas, saat ia hendak akan beranjak dari posisi duduk, tapi tangannya tiba-tiba saja di tahan oleh genggaman kecil. Ternyata anak laki-laki itu terbangun dan sadar akan ada kehadiran Jean di sisinya.
"Papa ..."
Mendengar itu, Jean terpaksa mengurungkan niatnya untuk bangkit berdiri, ia tersenyum. "Iya sayang. Papa ada di sini," kata Jean pada anak yang memiliki nama Andi itu. Tangannya kemudian terulur untuk mengelus kening Andi yang bibirnya sedikit pucat itu dengan sangat lembut.
"Mama di mana?" tanya Andi yang langsung membuat Jean berhenti mengelus. Pertanyaan yang dilontarkan oleh anak itu seketika mencabik-cabik hati Jean. Sudah satu tahun lamanya, tapi Andi belum bisa menerima kepergian ibunya. Saat sedang demam seperti ini, Andi memang selalu bertingkah kalau ibunya masih ada. Tak jarang pula Jean menyalahkan dirinya karena belum bisa menjaga Andi dengan benar-benar baik.
"Terpenting Papa ada di sini. Papa gak akan ninggalin kamu. Papa gak akan pergi ke mana-mana," kata Jean berusaha menenangkan anak berumur 7 tahun itu.
"Kalau gitu, apa Papa mau nemenin Andi tidur?" Tanya Andi. Walau ada kekecewaan di hatinya, mendengar kalau papanya itu tidak akan pergi kemana-mana sudah cukup menghibur hati Andi.
Jean mengangguk, membuat sebuah senyuman sedikit terbit di bibir Andi yang pucat itu. Karena tubuhnya belum sepenuhnya pulih, bersusah-payah Andi mencoba menggeser tubuhnya ke tepian hendak memberikan Jean tempat. Melihat itu, Jean menghentikan apa yang Andi lakukan.
"Tidak apa-apa, kamu tidur di atas kasur aja. Papa di sini," kata Jean sembari menempatkan dirinya di kursi samping ranjang Andi. Andi mengangguk, namanya anak kecil tidak akan terlalu mengerti.