Akhir yang benar-benar membuat Shania ingin sekali menjadi asap yang mengepul di udara agar kemudian dapat menghilang dari muka bumi. Sekarang ini ia berada di situasi yang amat tak bisa Shania gambarkan dengan menyerat kata-kata indah.
Sebagai akibat karena tidak bisa membayar makanan yang ia makan tadi, Shania diberi sanksi yaitu harus menjadi seperti orang-orangan sawah namun lokasinya bukan di sawah melainkan di depan pintu masuk restoran itu sendiri. Dengan mengalungkan papan slogan yang bertuliskan "Diharapakan Kalau Makan, Harus Punya Uang. Jangan seperti Saya yang Malah Minta Ngutang" dilehernya, Shania sukses membuat para pengunjung restoran itu menertawainya bahkan ada juga yang terang-terangan mencibir Shania.
Jangankan ingin membalas cibiran orang tersebut, untuk mengangkat kepalanya yang menunduk saja Shania tidak bisa karena takut kalau-kalau bertemu dengan orang yang mengenalnya. Apalagi andaikan ia bertemu dengan teman-teman kampusnya, bisa-bisa langsung rusak reputasi yang sudah susah payah Shania kembangkan sampai bisa menjadi seorang primadona di kampusnya.
Tidak dapat dipungkiri, Shania itu cantiknya memang di atas rata-rata. Lahir dengan keadaan blasteran Indonesia-Belanda, gadis itu jadi mempunyai manik mata biru yang jernih, tubuh ramping yang tinggi dan terdapat t**i lalat lucu di tengah-tengah hidung mancungnya. Waktu kecil, dia juga pernah menghiasi majalah model cilik dan karena lahir dari keluarga yang berada sampai besar pun Shania selalu rutin melakukan perawatan tubuh. Jadi, lumrah saja kalau Shania dikagumi oleh banyak orang.
Shania mendongkak hendak melihat jam dinding yang berjarak tidak jauh darinya. Seketika itu ia pun menghela nafas karena jengah, merasa kalau jarum pendek pada jam yang ia lihat masih stay di lokasi yang sama. Padahal sanksi ini hanya akan berakhir jika sudah tengah hari, tapi saat ini masih menginjaki pukul 9 pagi.
"Lohhh ... Laras?"
Shania langsung mengarahkan pandangannya ke arah seseorang yang barusan menyebut nama tengahnya. Mata Shania terbuka sempurna ketika tahu siapa pelaku itu. Dia adalah Jean, pria yang menolongnya semalam.
"Jean?"
*****
Berkali-kali Shania mengucapkan kata 'terimakasih' kepada Jean yang kini ia anggap sebagai superhero baginya. Kenapa tidak? Sewaktu ia dipergoki oleh Jean sedang menjadi orang-orangan tadi, pria itu dengan rela hati mau membantu Shania agar terbebas dari sana, ia membayar semua hutang Shania. Saat ditanyai Jean kenapa hal ini bisa terjadi, Shania lancar-lancar saja berbohong kalau ia sudah ditipu oleh seseorang dan semua uangnya dibawa kabur oleh penipu itu. Tidak lupa Jean juga menanyai tentang keluarga Shania, Shania menjawabnya dengan mengatakan kalau sebenarnya ia adalah seorang yatim piatu, rumah pun tidak punya.
Mendengar cerita Shania, Jean menjadi prihatin sehingga mau membantu Shania. Dari cerita Shania, Jean juga menjadi sadar kalau ternyata masih banyak orang di luar sana yang memiliki penderita yang lebih berat dari penderita yang selama ini diam-diam ia keluhkan kepada Tuhan.
"Beruntung tadi saya ada keperluan bertemu klien saya di hotel itu. Sehingga saya bisa bertemu kamu dan membantu kamu," kata Jean sembari fokus menyetir mobil yang membawa Shania di kursi sebelahnya. Iya, Shania sekarang tengah berada di dalam mobil Jean. Karena tahu kalau Shania tidak punya tempat tujuan lagi, Jean menawarkan Shania sebuah pekerjaan dan tempat tinggal.
Katakan saja kalau Shania itu tidak tahu malu, karena menerima terlalu banyak bantuan dari Jean tanpa berniat sedikitpun untuk menolak. Kalau bisa memilih, Shania juga tidak mau terlalu bergantung pada Jean yang notabenenya adalah orang asing bagi Shania.
"Sekali lagi, terimakasih banyak atas pertolongan Bapak tadi. Kalau Bapak gak ada, mungkin aja saya udah jadi satu-satunya patung di dunia yang bisa keriputan," ujar Shania dibumbui dengan sedikit candaan. Karena sebentar lagi ia akan menjadi bawahan Jean, Shania berpikir ia harus lebih sopan. Penggunaan panggilan Lo-Gua tidak berlaku lagi, meskipun Shania perkira umur mereka berdua tidak terpaut lebih dari lima angka.
Jean terkekeh mendengar penuturan Shania. "Jangan berlebihan gunain kata terimakasihnya karena saya sendiri malahan senang bisa bantu kamu, Laras," sahut Jean. Shania memang sengaja memperkenalkan dirinya pada Jean menggunakan nama tengahnya. Shania bertekad selama ia berada di luar jauh dari keluarganya dan bertemu dengan orang-orang baru, ia akan memperkenalkan dirinya sebagai Laras bukan Shania. Hal itu dilakukan Shania karena alasan khusus, yaitu tidak ingin ada seorangpun yang mengenalinya.
Shania tertegun, baru kali ini ia bertemu dengan manusia tipikal Jean. "Bapak ini udah tampan baik banget ya. Saya yakin, siapapun yang jadi istri Bapak pasti bakalan selalu bahagia," ujar Shania.
"Semoga saja," balas Jean.
Mendengar balasan dari Jean, membuat Shania berpikir keras. 'apa? Barusan dia bilang semoga. Ini berarti dia beneran masih single. Gua bisa gunain kesempatan ini buat pdkt-an sama dia. Lumayan 'kan udah ganteng, baik tajir lagi. Jadi gua bisa bangga banggain dia di depan Papa' batin Shania sembari menampakkan senyum yang menyeringai.
"Kamu kenapa, Kebelet pipis ya?" Tanya Jean, menyadari Shania yang tiba-tiba saja tersenyum tanpa alasan dan senyuman itu kelihatan seperti seseorang yang gregetan akan sesuatu.
*****
Perjalanan Shania berhenti di sebuah rumah besar dengan halaman yang luas. Kaki Shania keluar dari balik pintu mobil. Ketika matanya turut keluar, di detik itulah ia langsung tercengang akan pemandangan luar rumah yang luar biasa mewah. Bagaimana tidak? Luas halamannya tidak main-main, bahkan di setiap petak nya di hiasi tanaman yang Shania yakini harganya sangat mahal. Tak hanya itu saja, di sisi kiri jalan menuju pintu rumah juga terdapat sebuah air pancuran yang berkilauan, mewah, dan elegan dengan patung burung Phoenix. Tinggi gedung rumahnya juga menjulang tinggi, karena terdiri dari beberapa tingkat.
Shania baru tahu, ternyata Jean itu sangatlah kaya bahkan dua atau tiga kali lipat melebihi keluarganya sendiri. Ternyata memang benar tentang perkataan orang kalau di atas langit itu masih ada langit yang lebih besar.
Dengan pandangan berputar-putar menyusuri setiap sudut di tempat itu, Shania berujar, "rumah ini beneran punya Bapak, 'kan?" Tanya Shania.
Pertanyaan Shania tidak dijawab oleh Jean menggunakan kata-kata. Pria itu hanya menjawab melalui anggukan saja sembari tersenyum.
"Pak Jean. Apa Bapak itu seorang putra mahkota?" Tanya Shania, tanpa berniat sedikitpun untuk berhenti menyeletuk. Ia sekarang benar-benar mengagumi Jean. Julukan si sendok emas dirasa Shania sangat pantas untuk disematkan pada Jean.
Jean seketika terkekeh mendengar penuturan dari Shania. "Mungkin aja," katanya.
"Ummm ... apa Ba—"
"Sampai kapan kamu terus bertanya? Ayo kita masuk sekarang," ucap Jean yang langsung menyela Shania.
Shania menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ahhh ... Iya," balas Shania, sedikit malu karena tingkahnya ditegur Jean. Kalau tahu begini, Shania akan lebih berusaha untuk mengontrol rasa kekagumannya. Pikir Shania, Jean pasti menganggap sikapnya ini kekanak-kanakan atau bahkan kampungan dan itu membuat Shania menyesali sikapnya yang berlebihan. Benar-benar memalukan!
"Papa!"