Shania kini seperti sedang berdiri di sebuah tali tambang, ia merasa sangat bimbing. Perihal tentang Jean yang ingin mewujudkan mimpinya untuk bertemu dengan Sheila Marcia, Shania masih sulit mempercayainya. Namun, dia masih belum menjawab apakah ia akan menerimanya atau tidak.
"Kenapa kamu gak terima aja tawaran dari Tuan Jean, bukan kah kamu sendiri yang bilang kalau itu adalah mimpi kamu. Selagi kita diberikan kesempatan, gak baik untuk menolaknya," ujar Bibi Iyem ketika telah selesai mendengar cerita dari cucu angkatnya itu.
"Tapi, Nek. Gimana ya, aku bukannya mau nolak. Tapi, hanya saja aku rasa hadiah ini terlalu besar dan mengejutkan. Aku gak percaya bisa dapetin hal ini dari Tuan Jean. Makanya tadi aku gak langsung ngejawabnya dan malah bilang bakalan aku pikirkan dulu," ujar sembari mengenang kejadian di beberapa menit lalu, kala ia malah menyuruh Jean menunggu untuk tahu apakah ia menerima ajakan itu atau tidak.
"Ya ... Bagus dong. Kamu tahu sendiri 'kan kalau Tuan Jean itu orangnya baik banget, dia gak pernah pandang bulu dalam memberi bantuan ke orang lain," ujar Bibi Iyem.
Shania menganggukkan kepalanya. "Tahu, Bi. Buktinya aja Laras bisa ada di sini berkat dia," ujar Shania, mengatakan yang memang ia rasakan.
"Nahh ... Itu tahu, jadi kenapa kamu masih ragu. Kamu tahu kan gak baik nyia-nyaian kesempatan baik. Kesempatan baik itu ibaratkan kamu lagi nunggu di halte bis, ketika bis yang kamu tunggu itu sudah berhenti di depan kamu, kenapa kamu malah biarin dia lewat begitu aja tanpa terlebih dahulu kamu naiki?" Ucap Bibi Iyem lagi, sembari tanpa menghentikan kegiatan mencuci piring di wastafel. Shania pikir, ia sangatlah tidak salah telah meminta pendapat kepada orang tua seperti Bibi Iyem yang pastinya sudah memiliki banyak pengalaman.
"Gitu ya, Nek?" ucap Shania sembari manggut manggut pelan karena sekarang pikirannya sudah mulai tercerahkan oleh perkataan yang ia dengar dari Bibi Iyem barusan.
Sebenarnya tangan gadis itu juga tidak sedang dalam keadaan diam, ia juga tengah membantu Bibi Iyem mengelap piring piring keramik yang kotorannya telah dihilangkan oleh Bibi Iyem menggunakan sabun serta air yang mengalir.
"Iya," balas Bi Iyem menggunakan suara khasnya. Wanita tua itu menyadari kalau Shania kini tengah terdiam, tampak sedang memikirkan sesuatu. Alhasil Bibi Iyem menarik sedikit garis bibirnya untuk menampung sebuah senyum tipis sebelum kemudian ia berlanjut berkata.
"Sudah, sudah. Mau sampai kapan kamu diam mikirin sesuatu yang sebenarnya sudah pasti. Katanya kamu mau bantu Nenek, ayo sekarang percepat pergerakan kamu. Jangan sampai kita menghabiskan banyak waktu kita hanya untuk melakukan satu perkejaan saja," ucap Bibi Iyem yang mengajak Shania untuk segera menyelesaikan pekerjaan mereka.
Shania segera mengangguk, "Iya, baik Nek," katanya sembari melakukan suatu aksi.
Jika ditanya, Shania pasti akan menyerukan bahwa ia sangat menyukai situasi saat ini. Di mana ia benar-benar dianggap sebagai seorang keluarga oleh Bibi Iyem. Dia yang memang membutuhkan seorang yang menjadi pendukungnya, mendapatkan seorang yang juga sedang membutuhkannya.
Shania menyadari, segala sesuatu yang sulit yang kita anggap tidak bisa dilalui pasti akan diberikan kemudahan oleh Tuhan. Makanya lah Shania tidak pernah lupa untuk mengucap syukur atas nikmat yang telah diberi oleh Tuhan, baik itu yang ia rasa adalah sesuatu yang membuatnya untuk maupun sesuatu yang ia anggap sebuah kerugian.
*****
Hari sudah malam, dan pekerjaannya juga sudah selesai karena Andi sudah ia suruh tidur setelah ia memberikan anak itu s**u. Untung saja Andi itu adalah tipe anak yang sangat penurut sekali, sehingga Shania tidak pernah kesulitan. Hal itu hampir saja membuat Shania merasa kalau ia bukanlah seorang babysitter untuk Andi, karena selama ini Andi lebih kebanyak mengurus dirinya sendiri seperti mengenakan pakaian dan dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh sekolahnya sendiri.
Shania lebih merasa kalau dirinya itu ada seorang teman untuk Andi, karena kebanyakan anak itu lebih senang apabila dirinya mau diajak olehnya bermain. Namun, meskipun begitu Shania tidak pernah merasa sedih, malahan ia juga turut senang atas kesenangan Andi. Karena seorang babysitter itu bukan hanya bertugas dalam mengurus segala keperluan anak yang ia urus saja, melainkan membuatnya menjadi merasa senang dan bahagia juga merupakan sebuah keharusan.
Shania kini bersiap-siap untuk melemparkan tubuhnya yang penat itu ke atas ranjang. Sumpah, semenjak ia meninggalkan rumahnya, tidak barang sekalipun Shania mengakhiri malamnya dengan rasa yang tidak letih.
Setiap hari jadwalnya itu adalah bekerja dan bekerja saja, tidak seperti dulu yang rajin datang ke salon ataupun tempat spa langganannya, tidak hanya itu saja, matanya dulu juga sering ia manjakan dengan berbagai barang-barang yang terpampang di dalam mall mewah.
Jika ditanya apakah ia ingin kembali ke masa itu lagi? Tentu saja Shania akan menjawabnya dengan mengatakan bahwa ia sangat mau, tapi yang ia mau itu adalah bukan dalam keadaan seperti sekarang ini. Ia ingin kembali, benar-benar kembali ke keadaan semula. Tanpa adanya perjodohan konyol, tanpa adanya aksi kabur kaburan, dan tanpa adanya kesedihan karena dirinya tidak dianggap sebagai anak lagi oleh keluarganya lagi.
Shania terdengar menarik napasnya panjang, bagaimana rasanya menenangkan kala napas yang ia tarik tadi keluar menuruti irama nya yang pelan.
"Kok gua masih terus kepikiran ya tentang ajakan Tuan Jean tadi?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri. Pertanyaan itu malah mendapatkan jawaban kesunyian karena tidak terdengar suara lain lagi selain hanya helaan napasnya saja.
Lama lama Shania lalu berpikir kalau perkataan Bibi Iyem tadi siang sangatlah benar, jadi kenapa ia harus merasa ragu lagi. Pokonya Shania sudah membulatkan tekad, ia akan menerima ajakan Jean padanya untuk datang ke acara pernikahan penulis favoritnya itu. Tdak ada kerugian juga kan kalau ia mengambil kesempatan itu. Yang ada keuntungan berkali-kali lipat lah yang akan ia nikmati nanti. Ya, besok ia harus menemui Jean dan membicarakan hal ini lagi sebelum Jean malah berubah pikiran dan ajakan itu tidak berlaku lagi untuknya.
"Kok makin gua pikirin makin gua ngerasa kalau gua kayak lagi diajak kencan aja sama Tuan Jean. Berlebihan banget," ucapan Shania itu berakhir dengan kekehan kecil. Ia jadi malu sendiri karena bisa bisanya berpikiran seperti itu. Untung saja yang bisa keluar masuk ke dalam pikirannya itu hanya dirinya sendiri, Shania tidak bisa membayangkan kalau ada orang lain yang bisa membaca pikirannya yang seperti itu.
Shania memutar tubuhnya menjadi tidur dengan menyamping, kini yang berada di hadapannya adalah sebuah bakas yang di atasnya terdapat segelas sirup putih yang ditutup dengan piringan plastik kecil berwarna biru serta handphone yang tergeletak begitu saja.
Seharian ini ia tidak menyentuh benda pipih itu, Shania jadi merasa ingin menghubungi Fika yang tumben-tumbenan tidak datang berkunjung hari ini. Mungkin kah sahabatnya itu merasa kesal karena teleponnya sempat dimatikan oleh Shania secara sepihak sewaktu di sekolah Andi tadi?
Segeralah tangan gadis itu terulur untuk mengambil benda itu. Kemudian setelah beberapa kali mengulirkan layar handphonenya untuk mencari kontak milik Fika, gadis itu langsung menekan ikon panggilan.