Sepertinya Fika tidak menaruh dendam padanya perihal apa yang telah ia lakukan tadi siang, buktinya saja sahabatnya itu langsung membalas panggilan telepon yang ia lambung kan selang lima detik kemudian.
Namun, akibat trauma yang ia dapatkan tadi siang, Shania tidak mau terlebih dahulu ia yang membuka suara. Gadis itu menunggu Fika lah yang pertama kali mengeluarkan suaranya di seberang sana. Shania mewanti wanti, takutnya kalau kejadian sewaktu ia mengangkat telepon gadis itu tadi siang terulang lagi, percaya saja telinganya itu pasti akan benar benar kehilangan fungsinya kalau hal itu terulang kembali.
"Yooo ... What's up, Shania."
Seketika Shania bernapas dengan lega kala ia mendengar suara Fika yang seperti terdengar sangat bersahabat dengan telinganya, tanpa menunggu lama lagi gadis itu langsung membalas perkataan Fika.
"Ohh ... Fik, Lo lagi ngapain sekarang?" tanya gadis itu yang malah menjawab pertanyaan Fika dengan pertanyaan juga. Bukan tanpa sebab, Shania hanya tidak tahu harus mengawali pembicaraan mereka dengan apa. Jadilah pertanyaan seperti ini yang dirasa oleh Shania sangat cocok.
"Biasa, lagi nugas," jawab Fika seadanya. Namun anehnya, Shania tanpa sengaja mendengar suara helaan napas milik Fika dari dalam teleponnya.
"Kenapa? Tugasnya susah ya?" tanya gadis itu dengan kening yang menggerut, tubuhnya yang terbaring di atas kasur itu ia buat menjadi tiarap.
Lagi, helaan napas terdengar sebelum Fika menjawab. "Kayanya Lo itu cocok deh jadi peramal, tau aja kalau gua lagi kesusahan," ujar gadis itu.
Shania seketika terkekeh sebentar, akan tetapi perkataan Fika berikutnya membuat suara tawa Shania perlahan melemah. "Lo sih enak, gak ngampus lagi sekarang. Jadi, Lo pasti gak bakalan dibuat susah sama tugas kampus yang tiap hari ngantri minta dikerjain."
Shania terdiam beberapa saat, sedih saja mendengar ucapan Fika yang menurutnya seolah sahabatnya itu menganggap kalau adanya intrik di dalam keluarganya itu hanyalah perihal kenyamanan yang ia dapatkan. Tidak tahu kah Fika, kalau selama masalah ini menerpa dirinya, Shania seringkali berangan angan menjadi dirinya yang dulu, di mana permasalahan yang selalu ia hadapi hanyalah perihal tugas tugas kampus dan pergaulan para mahasiswa saja. Apakah menurut Fika, Shania merasa menikmati akibat yang ia dapatkan dari permasalahan ini.
"Hallo, Shan. Kenapa? Lo kok diam?" tanya Fika di seberang telepon, karena melebihi setengah menit lamanya ia tidak mendapatkan balasan dari Shania.
Mendengar perkataan Fika itu, Shania langsung tertarik kembali dari dunia lamunannya. "Ehh ... Iya, Fik. Ini ... Tadi, lampu kamar gua mendadak mati. Makanya gua jadi diam karena nunggu lampunya jadi hidup lagi," balas Shania, memberi alasan sebuah kebohongan.
"Ohhh ... Bola lampu Lo kayaknya harus Lo pindahin deh," ucap Fika.
Meskipun sebenarnya ucapannya tentang bola lampu yang mati itu hanyalah kebohongan belaka, tapi Shania tetap bisa menjadi merasa keheranan dengan ucapan Fika yang ini. "Kenapa harus dipindahin? Kenapa gak langsung diganti aja?" tanyanya dengan raut wajah yang segera ingin mendapatkan sebuah jawaban.
"Karena sebenarnya lampu Lo itu bukan rusak, tapi cuma salah penempatan aja. Coba aja Lo taruhnya di tempat karokean, gua jamin, itu cocok banget dengan hobinya yang mati hidup, mati hidup," ujar Fika, tapi entah kenapa candaan Fika kali ini malah terdengar sangat cringe bagi telinga Shania. Tidak ada reaksi yang ia dapatkan selain hanya gidikan saja.
"Kenapa diam lagi?" Fika lagi-lagi mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang sebelumnya karena lawan bicaranya itu mendadak tidak mengucapakan sepatah katapun seperti sebelumnya.
"Gua pengen muntah," ujar Shania seketika. Tidak, Shania tidak bersungguh sungguh dengan ucapannya, ia mengatakannya hanya sebagai responsnya tentang candaan yang Fika lontaran saja.
Namun, tanpa ia sangka ternyata ia malah menerima respons yang lebih melebihkan dari Fika. Fika, gadis itu mendadak berkata dengan suara yang kalut.
"Apa! Gua gak salah denger, 'kan. Shania, Lo muntah?! Gua gak salah denger itu, 'kan?!" Ujarnya dengan nada panik yang kentara, hampir saja suaranya itu menyamai nada suaranya tadi siang, yang seperti jeritan. Untung kali ini Shania tidak terlalu fokus dengan nada suara Fika yang meninggi itu, melainkan ia lebih tertarik apa alasan Fika bisa bersuara yang melengking itu.
"Lo kenapa jadi heboh kayak gitu? Lo gak lagi berpikiran yang macem macem, 'kan?" tanya Shania dengan nada yang sepenuhnya keheranan.
"Tentu aja gua jadi heboh, karena orang yang pernah tidur bareng Lo itu 'kan cuma gua aja. Gua gak mau Lo malah nuduh gua jadi dalangnya," ucap Fika, dengan nada kesedihan yang dibuat buat. Tentu saja hal itu membuat Shania jadi memutar bola matanya, ternyata tebakannya tidak salah. Fika benar benar tengah berpikiran yang bukan bukan, walaupun Shania tahu kalau sebenarnya hal itu hanyalah sebuah bentuk candaannya saja.
Dasarnya Fika itu memang tidak akan pernah absen dalam membuat bahan yang menurutnya cocok menjadi sebuah lelucon. Tentang hal ini saja gadis itu tidak mau ketinggalan, padahal tujuan Shania melakukan aksi penuh kepura-puraan ini hanyalah untuk membuat gadis itu sadar kalau leluconnya tentang bola lampu itu tidak pantas disebut sebuah lelucon.
"Gua matiin nihh telepon kalau Lo ngelantur lagi," ancam Shania. Bukannya kenapa, hanya saja ia merasa ucapan Fika itu sangat menggelitik telinganya. Shania sangat tidak menyukai itu.
Alhasil ternyata ancaman dari Shania itu sukses membuat nyali lawan bicara di teleponnya itu menjadi menciut. Buktinya saja ia kembali berbicara dengan normal, tanpa sedikitpun menyinggung perihal ucapannya tadi.
"Iya, oke Shania. Gua gak bakalan lagi ngomong yang aneh aneh sama Lo, tapi, gua mau tanya dong. Lo itu sebenarnya mau bilang apa sama gua?" tanya gadis itu.
Salah satu alis Shania terangkat. "sejak kapan gua bilang kalau gua mau ngomong sesuatu sama Lo?" tanya Shania, sebenarnya ia memang ingin mengatakan sesuatu kepada Fika perihal tentang ajakan Jean. Shania ingin mendengar pendapat dari sahabatnya itu. Tapi mengingat bagaimana keadaan Fika saat ini, Shania jadi tidak ingin mengganggunya lebih lama lagi. Bisa bisa gadis itu tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan benar. "Gua tadi cuma lagi gabut aja, makanya gua milih nelpon Lo," ucap Shania, memberi alasan yang jelas berbeda dari kenyataan yang sebenarnya.
"Ohh ... Gitu doang?" tanyanya, bernada meremehkan.
"Iya, makanya sekarang kita udahan aja nelpon nya, gua gak mau gangguin Lo lagi nugas. Lagian, sekarang gua juga mau tidur," ucap Shania.
"Ya udah, matiin aja."
"Lo aja," ucap Shania.
"Kenapa harus gua? Kenapa gak Lo aja?" tanya Fika.
"Karena gu—"
Belum juga Shania menuntaskan omongannya, ternyata sambungan teleponnya itu langsung dimatikan oleh Fika di seberang sana. Kalau tidak berpikir panjang, Shania sudah pasti mengumpat dengan menyebut berbagai macam nama hewan di kebun binatang.
Tidak ingin terus bergumul dengan hal yang membuat dirinya menjadi kesal itu, Shania lalu meletakkan kembali handphonenya di tempat seharusnya, di atas nakas. Kemudian, ia lalu bangkit berdiri untuk mematikan lampu kamarnya karena Shania memang tidak dapat tidur dengan nyenyak apabila lampu dinyalakan dengan terang.