mimpi menjadi penulis

1114 Kata
Jean terlihat termenung di kursi santainya, matanya yang terbuka lebar menatap kosong ke arah depan. Ia tidak melakukan apa pun lagi, selain hanya duduk santai serta mengabaikan buku bacaan yang lembaran halamannya sudah terbuka. Entah kenapa, ia sekarang tidak memiliki mood untuk melakukan hobi nya yaitu membaca buku bersampul putih s**u itu dengan tulisan berbahasa Inggris di atasnya. Laki-laki itu lebih tertarik menyibukkan otaknya untuk memikirkan suatu hal yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan secara serius seperti ini. Namun, suatu kejadian satu tahun yang lalu terus mengintai dirinya membuat otaknya seperti berkali-kali memutar kaset yang sudah rusak untuk menampilkan sebuah kejadian yang sama dan kejadian itu adalah kejadian yang benar-benar tidak bisa ia lupakan sepanjang hidupnya. Di mana secara tidak langsung, keluarga dekatnya yang berasal dari almarhum ayahnya telah melakukan sesuatu yang membuatnya menganggap mereka adalah orang-orang yang buruk yang tidak seharusnya dirinya anggap sebagai keluarga. Namun, melihat undangan pernikahan salah satu sepupunya yang sebenarnya tidak pernah menjalin kontak lagi dengan dirinya membuat hati Jean menjadi melanglang buana, di satu sisi ia ingin memaafkan mereka karena berpikir melalui surat undangan yang diberikan padanya ini, kalau sebenarnya mereka masih mau hubungan kekerabatan ini menjadi lebih baik lagi, akan tetapi di sisi lainnya Jean masih belum bisa move on tentang kejadian itu. Atensi laki-laki itu langsung teralihkan kala matanya melihat seorang gadis yang turut serta mendiami pikirannya beberapa hari belakangan ini. Jean segera membenarkan posisi duduknya, membuat dirinya menghadap arah datangnya gadis dengan senyuman yang candu itu. "Ini kopinya, Tuan," kata gadis yang tidak lain dan tidak bukan adalah Shania itu. Bibi Iyem memang sudah sembuh dan juga sudah kembali bekerja lagi seperti waktu dia sehat. Akan tetapi, Shania masih sering membantu Bibi Iyem dalam pekerjaannya, seperti membuat minuman untuk Jean ini misalnya. Jean mengangguk, tatapannya tidak turun dari gerak-gerik Shania yang akan meletakkan cangkir minuman itu di atas meja yang berada di sebelahnya. Namun, tanpa diduga oleh Shania, tangannya itu mendadak menyenggol beberapa buku dan barang lain yang berada di sana. Sehingga membuat barang barang itu menjadi terjatuh ke lantai. "Ya ampun ... Maaf, Tuan," ujarnya penuh rasa sesal. Ia sedikit panik karena telah melakukan kesalahan itu. Betapa cerobongnya dirinya, untung saja bukan air kopi itu yang ia buat terjatuh tadi. Kalau saja minuman kopi itu yang terjatuh, Shania yakin hal itu akan membuat dirinya habis. Dan masalah besar pasti akan menantinya di depan. Jean diam diam terkekeh kecil menyaksikan bagaimana raut wajah Shania yang ketakutan, mungkinkah gadis itu takut kalau dirinya akan dimarahi? Kalau iya, Jean rasa itu tidak perlu karena ia tidak mungkin menjadi marah karena kesalahan yang sebenarnya bisa dianggap sangat sepele itu. "Tidak apa-apa," ucap Jean dengan begitu lembut, yang seketika membuat Shania bisa bernapas dengan lega. Shania merutuki dirinya sendiri, alih alih mengambil barang yang telah ia buat jatuh tapi dirinya malah sibuk dengan rasa bersalahnya. Dengan gerakan gesit, Shania lalu segera memperbaiki kerusakan yang telah ia buat. Akan tetapi, dipertengahan kegiatannya itu Shania tiba-tiba saja menghentikan pergerakannya. Matanya itu menatap satu titik dan itu berlangsung beberapa saat lamanya. "Ada apa?" Tanya Jean yang keheranan karena Shania tidak juga terlihat bangkit dari posisinya sekarang ini. Mendengar teguran dari Jean, Shania langsung memalingkan wajahnya ke arah laki-laki itu. Dengan raut yang ingin tahu sesuatu, Shania mengajukan sebuah pertanyaan. "Tuan, bukankah perempuan ini adalah Sheila Marcia?" tanya gadis itu sembari mengangkat sebuah pamflet yang mewah penuh dengan warna putih itu ke arah Jean, itu adalah surat undangan pernikahan yang tanpa sengaja Jean selipkan di antara tumpukan bukunya. Memang benar di sana ada tertulis sebuah nama yang Shania sebutkan tadi. Mendengar pertanyaan yang diajukan Shania, alis Jean tentu saja terangkat. "Iya," jawabnya singkat, anehnya Shania langsung menampilkan sebuah senyuman yang merekah pada laki-laki itu. "Wahhh ... Kebetulan sekali, Tuan. Dia itu adalah salah satu penulis terkenal kesukaan saya," ujar Shania dengan sedikit antusias. "Benarkah?" ucap Jean sembari menunjuk raut ketertarikan pada cerita yang Shania katakan padanya. Seketika Shania menganggukkan kepalanya dengan aktif. Kemudian tanpa diminta oleh Jean, Shania menceritakan banyak hal kenapa ia bisa segitu sukanya dengan penulis yang sering sekali menulis sebuah buku yang masuk ke dalam buku best seller itu. Semua buku yang pernah dikeluarkan oleh penulis yang bernama Sheila itu semuanya telah dibaca oleh Shania dan buku-buku itu juga pernah membuat Shania terinspirasi menjadi seorang penulis juga. Sayangnya, impian Shania itu menjadi pupus ditengah jalan karena Shania menyadari kalau ternyata fasionnya itu bukan di dalam dunia menulis. Alhasil ia pun hanya bisa menguburkan mimpinya itu entah di mana, akan tetapi hobi membacanya masih bertahan hingga sekarang. Jean begitu tertegun melihat bagaimana Shania menceritakan banyak hal tentang dirinya, mata gadis itu yang berseri-seri saat mengatakan sesuatu, sungguh membuat Jean jadi merasa candu. Seakan ia teracuni oleh tatapan yang begitu cerah itu. ".... Sayangnya, impian saya buat ketemu langsung sama penulis terkenal ini tidak pernah terwujud sampai sekarang." Saat dirinya mengatakan kalimat itu, tatapan Shania mendadak menjadi turun seakan impian sederhana yang belum terwujud itu adalah sesuatu yang membuatnya merasa benar-benar sedih. "Wah ... Sayang banget, ya," ujar Jean, merespons perkataan Shania. Shania terlihat menarik napas dalam, untuk dihembuskannya secara perlahan. Kemudahan, ia menggelengkan kepalanya. "Tapi, gak apa. Saya gak ngerasa kecil kok karena belum ketemu sama dia, waktu masih panjang saya yakin suatu saat nanti saya pasti bisa ketemu langsung sama dia," katanya yang kali ini langsung memperbaiki raut wajahnya yang sempat down akibat rasa percaya diri yang membuncahnya. "Kalau gitu saya doakan, semoga impian kamu itu segera terwujud ya," kata Jean kemudian, dengan sebuah senyuman hangat yang terpatri di bibirnya. Sebenarnya, Jean memang sedari dulu tahu kalau sepupu jauhnya itu memiliki pekerjaan menjadi seorang penulis terkenal, tapi tidak pernah ia duga kalau Shania ternyata turut menjadi fans dari perempuan itu. Shania mengangguk dengan cepat, "Terima kasih banyak, Tuan. Gara-gara cerita ini, saya rasanya jadi semakin tidak sabar. Tuan sungguh beruntung bisa mendapatkan undangan langsung dari dia," ujarnya yang juga menampilkan sebuah senyuman untuk membalas senyuman Jean. Namun, di detik berikutnya ia tersadar kalau ia sudah banyak bercerita kepada Jean yang Shania rasa laki-laki itu pasti menganggapnya hanyalah sebuah racauan yang tidak penting. Alhasil Shania lalu ijin pamit kepada laki-laki itu. "T-tuan, kalau gitu saya ummm ... Pergi dulu ya. Soalnya masih banyak kerjaan lain di belakang," ujarnya sambil bangku berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk melangkah dari sana. Mendengar kata pamit dari Shania, Jean jelas mengangkat salah satu alisnya. "I-iya," ujar laki-laki itu kemudian, mengijinkan Shania untuk pergi. Padahal sebenarnya Jean ingin mendengar lebih banyak cerita dari gadis itu, tapi ... Ya sudahlah. Karena sudah mendapatkan ijin, Shania pun melangkah tanpa merasa ada beban. Namun, suara pemanggilan dari Jean berhasil membuat dirinya berhenti melangkah. "Laras, apa kamu mau berikan saya kesempatan untuk mewujudkan mimpi kamu itu?" tanya laki-laki itu. "M-maksudnya, Tuan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN