Jika Andi bersama dengan Adel sedang mencari keberadaan bola yang tidak mereka ketahui berada di mana karena Andi benar-benar melambungkannya sejauh mungkin, Shania bersama dengan dua es kelapa di tangannya kembali ke tempat di mana ia menyuruh anak laki-laki itu menunggu.
"Di mana anak itu?" tanya Shania pada dirinya sendiri. Ia bingung karena sama sekali tidak melihat keberadaan Andi di sini. Padahal ia tadi sudah jelas-jelas mengingatkan anak itu untuk menunggunya sampai ia kembali. Namun, kenapa tumben-tumbenan Andi tidak mau mendengarkan apa yang dikatakannya.
Selagi Shania sibuk menyebar pandangannya ke segala arah, ada seorang perempuan berbadan dua yang berjalan dengan hati-hati menghampiri gadis itu.
"Shania?" katanya dengan nada sedikit terkejut. Mendengar itu, Seketika Shania pun langsung menoleh ke arah perempuan itu.
"K-kak V-vanya?" Shania tidak kalah terkejut, secara spontan ia mundur beberapa langkah ke belakang dan andaikan kalau ia tidak refleks menyeimbangi posisi berdirinya, bisa saja ia tadi menjadi terjerembab ke dataran pasir.
Shania pikir ia tidak boleh berada di sini bersamaan dengan Vanya, ia harus segera pergi. Baru saja ia melangkah, tapi kalimat yang dilontarkan oleh Vanya berhasil membekukan gerakan gadis itu.
"Kamu beneran mau hubungan kita putus untuk selamanya?" ucap Vanya, mengancam.
Mendengar itu, Shania mau tidak mau harus memutar badannya dalam radius seratus delapan puluh derajat, kembali menghadap ke arah Vanya.
"Mau sampai kapan kamu lari kayak gini? Apa kamu gak pernah nganggap aku ini sebagai Kakak kamu," lanjut Vanya dengan kata-kata yang membuat hati Shania terasa sedikit sesak.
"Kak Vanya." Shania kemudian berjalan mendekat ke arah perempuan itu, ia merentangkan tangan memeluk tubuh besar Vanya sembari wajahnya menunjukkan kesedihan.
Vanya membalas pelukan Shania. Perempuan itu ikut mengeluarkan air mata seperti Shania, ia sungguh-sungguh rindu bertemu dengan gadis yang sedang ia peluk sekarang ini. Mendengar kabar tentang Shania yang menghilang, berhasil membuat Vanya syok. Hampir siang dan malam, Vanya tidak pernah berhenti memikirkan tentang di mana keberadaan dan bagaimana kondisi adik sepupu kesayangannya itu.
"Kak, aku kangen," lanjut Shani.
Plak
Vanya menepuk pundak Shania, sudah seperti seorang ibu yang memarahi anak gadisnya karena ketahuan keluar malam saja. "Dasar gadis nakal, ke mana aja kamu selama ini hah? Kenapa gak pernah sekalipun ngehubungi Kakak?" tanyanya yang sekarang sudah bisa mengontrol tangisan matanya.
"Aku takut, Kak. Makanya aku berusaha buat lari dari semua kenyataan yang papa bebankan ke aku," katanya semakin ingin menangis.
Mendengar itu membuat hati Vanya menjadi mencelos, hatinya ikut terluka. Vanya sebenarnya adalah salah satu orang yang mengerti tentang alasan mengapa Shania memilih untuk kabur dari rumah. Malahan jika ia yang berada di posisi Shania, mungkin saja ia akan melakukan hal yang sama. Tapi, yang ia tidak mengerti adalah mengapa adiknya itu tidak meminta bantuan padanya ataupun sekedar memberikan kabar untuknya.
Meskipun Vanya tahu bahwa ayahnya Shania itu adalah orang yang sangat berpengaruh dan juga tipe orang yang lumayan menakutkan kalau sudah marah, tapi Vanya tidak akan takut karena ia lebih mementingkan kebahagiaan adiknya dibanding itu semua.
"Iya, Kakak tahu. Tapi, bukan berarti kamu harus ngehindar dari kakak juga, 'kan?"
Shania mengangguk cepat, menarik air hidungnya yang hampir keluar karena menangis. Ia bukannya sengaja memilih lari dari Vanya, ia hanya ingin menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk saja.
"Kakak gak bakalan bilang sama orang rumah 'kan tentang keberadaan aku?" tanya Shania dengan harapan Vanya akan mengiyakan.
Vanya belum menjawab, ia tersenyum kemudian berlanjut berkata, "Lebih baik kita cari tempat berteduh dulu, biar bisa lebih nyaman dan leluasa. Uaf bicaranya," kata Vanya yang seketika dibalas anggukan dari Shania.
Mereka berdua kemudian berjalan menuju sebuah bangku yang terletak di pohon besar dan rindang. Jujur saja perasaan Shania saat ini lumayan deg-degan, awalnya ia mengira reaksi yang akan ia dapatkan ketika bertemu dengan Vanya adalah sebuah kemarahan besar. Namun, nyatanya kebalikan dari perkiraannya itu. Shania lupa memperkirakan tentang hati lemah lembut yang Vanya miliki ditambah lagi perempuan tersebut teramat sayang padanya.
Setelah mereka berdua menempati bangku itu, Shania lebih dulu memulai pembicaraan.
"Bagaimana Kakak bisa ada di sini juga? Kakak gak mungkin sengaja liburan dengan perut seperti itu, 'kan?" tanya Shania, sedikit heran kenapa Vanya sampai rela untuk pergi ke tempat sejauh ini. Shania sangat tahu seperti apa Vanya itu, Vanya bukan seperti sosok perempuan sosialita yang kebanyakan sering menghamburkan uang demi kesenangan sesaat. Vanya terlalu realistis dan selalu mementingkan keluarga. Jadi, sangat aneh baginya melihat Vanya pergi jalan-jalan ke daerah seperti ini untuk memenuhi hasratnya sendiri tanpa memikirkan anak di dalam perutnya yang sebentar lagi akan melihat dunia.
Vanya memukul pelan bahu Shania. "Kamu lupa, ini 'kan kampung halaman suami Kakak. Kami sekeluarga memutuskan akan melakukan proses persalinan di sini, biar lebih dekat dengan keluarga dan supaya nanti ada yang bantu-bantu sedikit. Ini juga Kakak terpaksa ke sini karena Adel pengen pergi ke pantai," ungkap perempuan yang memakai topi biru muda bermotif bunga itu.
"Ahh ... Iya juga ya." Shania menggaruk lehernya, menertawai dirinya sendiri yang bisa-bisanya melupakan pengetahuan umum seperti ini.
"Maafin Shania kak," ucap Shania beberapa saat kemudian.
Mengerti akan maksud permintaan maaf itu, Vanya lalu berkata, "Sudahlah, itu sudah tidak terlalu penting lagi karena sekarang kita berdua juga 'kan sudah bertemu," ucap Vanya. "Kakak cuma mau ngasih tahu satu hal ke kamu," lanjut Vanya.
Kening Shania Seketika menggerenyit, merasakan kalau apa yang Vanya ingin katakan padanya pastilah sesuatu yang serius. Tidak hanya dari nada suaranya, mimik wajah perempuan itu juga mendukung apa yang sedang Shania pikirkan.
"Iya, apa kak?"
Dengan menatap lekat rentina mata milik Shania, Vanya kemudahan berkata. "Papa kamu sekarang sedang sakit, bobot tubuhnya semakin lama semakin berkurang. Dia terus-terusan cari kamu," kata Vanya.
"Papa sakit?" ulang Shania.
Vanya menggaguk. "Kapan kamu akan kembali ke rumah? Kakak kasihan sama kamu juga papa kamu. Abang kamu juga setiap hari tanpa istirahat, selalu nyariin kamu."
Shania termenung beberapa saat. Sebelum kemudian ia kembali mendongkak, menatap lawan bicaranya. "Aku gak bisa kak, aku gak mau. Aku terlalu gak berani buat ngehadap papa, papa sekarang bukan papa yang dulu lagi. Aku takut setelah aku kembali, papa tetap akan jodohin aku sama orang yang nggak aku kenal. Bukannya aku sengaja bersikap egois, tapi keadaan lah yang memaksa," ucap Shania.
Vanya mencengkram pelan kedua pundak Shania, membuat gadis itu agar duduk dengan tegap dan menatap padanya dengan fokus.
"Kamu tahu semua orang itu sangat sayang sama kamu, termasuk papa kamu. Kakak yakin, setelah kamu bicara baik-baik dia pasti akan mengerti," kata Vanya.
Shania menggeleng, "Gak semudah itu, Kak. Kalau memang seperti itu, aku gak mungkin jadi seperti ini. Seperti gembel di jalanan yang syukur-syukur ada orang baik hati yang mau nolongin ngasih tempat tinggal dan ngasih makan," ucap Shania, menyinggung Jean sedikit banyak.
"Kamu percaya sama kakak. Kakak yakin, kali ini papa kamu pasti mau dengerin kamu. Dia gak mungkin mau kamu pergi lagi setelah lama kembali," ucap Vanya, berusaha agar Shania mau percaya. Namun, sayangnya Shania tetap menggelang.
"Gak, Kak. Aku gak bisa," kata Shania sembari membuang muka karena lagi-lagi ia ingin menangis.
"Shania," panggil Vanya.
"Sudahlah, Kak. Kalau kakak tetap paksa aku, aku juga gak akan mau ketemu sama Kakak lagi." Shania langsung berdiri dari dudukannya.
"Shania please, dengerin kakak dulu," mohon Vanya.
Shania menghela napas. "Aku pergi dulu, Kak. Aku harap setelah apa yang terjadi kakak gak akan pernah ngasih tahu orang-orang rumah tentang pertemuan kita. Satu lagi, aku titip salam sama Adel. Bilang sama dia kalau Aunty-nya ini sangat rindu." Setelah mengatakan itu, Shania benar-benar pergi dari hadapan Vanya.
Vanya tidak bisa menghentikan Shania karena ia tahu kalau dirinya sendiri lah yang telah membuat adik sepupunya memilih untuk pergi.