Hari sudah malam, tapi sampai sekarang pun Shania belum juga kembali ke vila. Hal itu sontak membuat semua orang panik, kecuali Bella. Sedari tadi yang dilakukan wanita itu cuma marah-marah saja. Ia kesal karena Shania yang hilang, tapi Jean yang harus repot untuk mencari si Laras yang cuma berpangkat pembantu itu.
Andi yang juga khawatir tentang di mana keberadaan Shania, dipaksa oleh Jean untuk menunggu di rumah, padahal anak itu juga sangat ingin membantu ayahnya itu untuk mencari Shania. Anak itu merasa bersalah karena telah meninggalkan Shania yang menyuruhnya menunggu di tempat istana pasir tadi. Karena setelah itu, Shania langsung saja menghilang dan tidak kembali ke rumah lagi. Andi pikir, menghilangnya Shania pasti karena gadis itu tersesat saat mencari keberadaannya yang tidak ada di tempat istana pasir tadi. Coba saja ia tidak meladeni Adel si anak resek itu, hal ini pasti tidak akan pernah terjadi.
Jean sendiri sekarang berputar-putar dari satu tempat ke tempat lain dengan harapan akan ada keberadaan Shania di sana. Raut wajah laki-laki itu menunjukkan garis-garis kekhawatiran yang sangat jelas. Tidak sekalipun ia berhenti ataupun sekedar beristirahat sebentar dalam mencari Shania, untuk suatu alasan khusus ia takut sesuatu yang buruk telah terjadi kepada gadis itu.
Andaikan saja ia ada memberi Shania ponsel waktu itu, ia pasti tidak akan kesulitan seperti ini. Namun, semuanya hanya percuma untuk disesali karena yang terpenting adalah ia harus bisa menemukan Shania.
Dirasanya semua tempat telah ia kunjungi, tapi belum juga berhasil menemukan Shania, Jean tidak tahu lagi harus pergi ke mana. Ia benar-benar menemui jalan buntu. Saat ia hampir menyerah, laki-laki itu teringat akan satu hal. Dengan segera, ia berjalan setengah berlari. Berkeyakinan kalau Shania pasti sedang ada di suatu tempat yang tengah ia pikirkan sekarang ini, itu adalah satu-satunya tempat yang belum Jean hampiri dan itu juga menjadi tempat yang memiliki kemungkinan besar adanya Shania.
Jean langsung bernapas dengan lega, dalam hati mengucapkan puji dan syukur. Ia kini berjalan dengan perlahan, tidak tergesa-gesa seperti tadi lantaran kini di hadapannya sudah duduk Shania yang sama sekali belum menyadari kedatangan Jean. Jean tidak ingin mengejutkan Shania, oleh karenanya laki-laki itu memilih duduk di samping gadis itu. Biarlah gadis itu tahu kedatangannya secara alami.
"T-tuan, Tuan J-jean?" ucap shania sedikit gagap, baru sadar kalau Jean sudah duduk enteng di sebelahnya.
"S-sejak kapan Tuan ada di sini?" tanya gadis itu. "Dan, bagaimana Bapak tahu kalau saya ada di sini?" lanjutnya.
"Saya yang seharusnya bertanya, kenapa kamu bisa tiba-tiba ngilang. Saya dan Andi tadi nyari-nyariin kamu. Ini sudah malam, kenapa kamu gak kembali ke rumah?" tanya Jean, sudah terlihat seperti seorang ayah yang menginterogasi anaknya.
Shania menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia merasa bersalah karena sudah membuat semua orang mengkhawatirkan dirinya sampai-sampai membuat Jean menjadi repot seperti ini hanya untuk mencarinya.
Selepas berbicara empat mata dengan Vanya tadi, hati Shania sungguh-sungguh merasa sesak. Ia mencari tempat yang sunyi untuk meresapi semuanya dan tanpa sadar ia telah melewati jam demi jam sampai pada malam hari yang pekat ini. Mengingat keluarganya yang berada di rumah, Shania melupakan tentang Andi dan Jean.
Dengan menunduk, Shania lalu berkata, "Maafkan saya, Tuan. Silahkan Tuan marahkan saya sampai Tuan merasa puas karena saya memang bersalah di sini. Kalau perlu, saya gak masalah kalau Tuan mau motong gaji saya. Saya sama sekali gak keberatan kok, itu adalah hukuman bu—" ucapan Shania langsung dipotong oleh Jean.
"Sudah-sudah, jangan ngelantur kayak gitu. Saya tidak marah sama kamu, saya hanya khawatir saja takut sesuatu yang buruk telah terjadi sama kamu," ucap Jean dibarengi dengan menarik napas panjang.
"Eh?" Shania Seketika mengangkat kepalanya. Apakah ia tidak salah dengar barusan? Jean tidak marah padanya meski ia sudah melakukan sesuatu yang melewati batas untuk seorang bawahan? Shania bingung, apakah Jean ini adalah orang baik atau orang yang overdosis baik?
"Kamu gak salah denger," ucap Jean.
"Jangan begitu, Tuan. Kalau begitu saya jadi semakin merasa bersalah. Setidaknya Tuan harus memberi saya wejangan walaupun itu sedikit," ucap Shania. Shania pikir adalah salah jika seorang yang telah dirugikan oleh orang lain namun sama sekali tidak merasa marah. Setidaknya orang itu harus mengekspresikan dirinya sebagaimana mestinya. Jika begini, Shania rasa ia tidak akan nyaman untuk berinteraksi dengan Jean karena merasa ada hutang yang tidak bisa dibalas di antara mereka.
"Saya sungguhan tidak marah," ulang Jean.
"Ayolah, Tuan. Saya mohon." Shania menautkan kedua telapak tangannya untuk ditunjukan depan Jean.
Mendengar itu, Jean jadi mendadak terkekeh kecil. Hal itu membuat alis Shania terangkat. "Kenapa Tuan tertawa?" tanyanya keheranan, padahal ia barusan bukan sedang melawak, tapi kenapa laki-laki di hadapannya ini malah tertawa mendengar perkataannya.
Dengan masih terkekeh, Jean berucap. "Tidak. Saya hanya ngerasa kalau kamu sekarang ini mirip banget sama anak umur lima tahun yang mohon-mohon sama orang tuanya biar dibelikan kinderjoy," ucap Jean yang seketika membuat wajah Shania merah padam, syukur-syukur mereka sekarang ini sedang berada di tempat yang temaram jadi Jean tidak akan mungkin bisa menyadari perbuatan warna pada wajah gadis itu.
"Tuan aneh," ucap Shania sembari memalingkan mukanya ke arah langit malam. Ia kembali memandangi bintang yang bersinar terang. Sebenarnya mereka berdua sedang berada di atas menara. Jean bisa menebak kalau Shania ada di sini adalah karena gadis itu menyukai bintang, dan tempat yang cocok untuk melihat benda langit adalah menara ini.
Melihat Shania yang begitu fokus mendongkak ke atas langit, memberikan Jean fakta baru. Gadis di hadapannya ini pasti tengah mendapati masalah, terbukti juga dari sorot matanya. Ada kesedihan di dalam sana. Jean yakin, masalah yang tengah ditanggung gadis di sampingnya itu pasti berkaitan erat dengan keluarganya.
Angin berhembus sedikit kencang dan itu berhasil membuat rambut Shania yang tergerai menjadi melambai dengan bebas sampai-sampai bergantian menutupi wajah gadis itu. Tubuh gadis itu sekarang hanya dibaluti oleh kaos putih tipis yang telah lama mengering semenjak dirinya selesai bermain air dengan Andi tadi sore, tapi itu bukan berarti kalau ia tidak merasa kedinginan. Lokasi mereka ini berdekatan dengan pesisir pantai, tahu sendiri sedingin apa tempat itu saat tidak memakai baju tebal.
Untuk meminimalisir rasa yang tidak nyaman itu, Shania menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya agar ketika sudah terasa panas ia bisa menghantarkan itu pada tubuhnya. Jean yang menyadari akan apa yang Shania rasakan dan lakukan, berinisiatif sendiri melepaskan sweater tebal yang menempel pada tubuhnya untuk digunakan oleh Shania.
"Tuan?" Ucap Shania sembari menoleh kepada laki-laki itu. Ia cukup terkejut akan apa yang Jean lakukan padanya.
"Kamu pakai aja," kata laki-laki itu sembari tersenyum.
"Tapi Tuan sendiri bagaimana. Udara di sini lumayan dingin lohh," kata Shania, merasa tidak enak hati menerima sweater pemberian Jean lantaran ia sendiri tahu kalau majikannya itu pasti juga kedinginan.
"Oleh karena itu, saya ingin bertanya sama kamu. Apakah kita sekarang sudah bisa pergi dari sini? karena di rumah Andi juga ingin tahu tentang kabar kamu," jelas Jean.