Istana Pasir

1097 Kata
Sepanjang hari Andi dan Shania bermain bersama di bibir pantai. Banyak hal yang mereka lakukan. Setelah merasakan lelah karena telah melakukan semua itu, keduanya kemudian serentak beristirahat dengan merebahkan diri di atas dataran pasir putih. Namun, suara canda dan tawa tidak berhenti terdengar dari ke duanya. Jean dan Bella tadi memang ada ikut bermain bersama mereka, tapi itu tidak bertahan lama. Mereka berdua pergi terlebih dahulu, membiarkan Shania beserta Andi untuk melanjutkan permainan mereka. Kini, di lain tempat, Bella merasa kesal atas semua hal yang ia alami hari ini. Rencana yang sudah ia pikirkan matang-matang, telah gagal untuk ia laksanakan. Awalnya ia mengira akan begitu mudah menarik perhatian anak kecil seperti Andi, dan mengajak anak itu mau bersamanya. Namun, nyatanya hal yang ia kira mudah adalah sesuatu yang teramat sulit. Jangankan menerima ajakannya untuk bermain bersama, untuk membuat Andi berbicara padanya saja hampir mustahil untuk diwujudkan. Jika terus begini, Bella rasa ia tidak akan pernah bisa mengambil hati anak Jean dan itu berarti impiannya untuk menikah dengan seorang miliarder seperti Jean akan semakin sulit ataupun bahkan tidak akan pernah bisa ia gapai. Karena satu-satunya persyaratan untuk mendapatkan hal itu adalah Andi. Sembari menghela napas, Bella berkata. "Aku nyerah," ucapnya dengan nada melemah pada Jean yang duduk tepat di hadapannya. Salah satu alis Jean terangkat, bingung memikirkan ke mana perginya semangat yang dimiliki oleh Bella semalam. Namun, laki-laki itu segera mengerti, sehingga kemudian ia menggenggam tangan Bella yang disandarkan di atas meja. "Baru aja sehari, kenapa udah bilang nyerah dulu. Semalam kamu sendiri yang bilang akan terus berusaha sampai Andi beneran luluh dan mau nerima kamu," ucap Jean. Menghela napas panjang lagi, Bella lanjut berkata. "Anak kamu itu yang aneh. Masa setiap kali aku mau deketin dia, tapi dia malah sengaja ngehindar dari aku dan lebih milih pengasuh baru itu, si Laras. Siapa yang gak kesel coba," katanya dengan mulut yang mengerucut. "Kamu tahu, kalau batu yang keras ditetesi oleh air secara terus-menerus pasti akan meleleh juga. Begitu juga Andi, perlahan-lahan dia pasti mau nerima kamu. Kamu hanya perlu bersabar saja," ucap Jean, berkata dengan nada bijak. Bukannya mencoba memahami maksud perkataan Jean, Bella malah memutar bola matanya karena jengah. "Kamu enak, cuma ngomong doang. Lahh aku ... Di sini aku yang harus ngeluarin usaha. Andi itu anak kamu pastinya dia mau dengerin kata kamu. Tapi ini kamu malah gak pernah bener-bener coba buat Andi mengerti tentang hubungan kita. Semakin hari semakin aku ngerasa kalau yang beneran serius mau nikah itu cuma aku aja," ucap wanita itu. "Seharusnya kamu yang sebagai laki-laki, kamu yang harus berusaha lebih, bukan aku." Setelah menunjuk wajah Jean menggunakan jari telunjuknya, wanita itu meninggalkan Jean dengan emosi yang masih bertahan. Jean terdiam, ia tidak bisa berkata-kata atau sekedar membalas ucapan Bella barusan. Ia hanya menatap kepergian wanita itu dengan tatapan sendu. Ia pikir ucapan Bella tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar, dan ada alasan tersendiri mengapa Jean berpikir begitu. ***** Shania bangun dari posisi rebahannya di atas pasir, ia menghadap ke arah Andi. Sembari tersenyum ia berkata, "Tuan Muda haus gak?" tanyanya. Seketika Andi menaik-turunkan kepalanya dengan cepat. Sepanjang hari mereka tanpa henti-hentinya tertawa dan berlari ke sana ke mari, sehingga wajar saja kalau tenggorokan yang mengering menjadi konsekuensi dari itu semua. "Mau es kelapa?" tawar Shania dengan menaik-turunkan alisnya, pikirnya es kelapa adalah opsi yang pas untuk menyembuhkan dahaga yang Andi dan ia miliki. "Boleh, Kak," ucap Andi, menyetujui tawaran Shania. Shania kemudian bangkit dari duduknya, "Ya udah, Tuan Muda tunggu di sini bentar ya. Biar Kakak yang pesenin," ucap gadis itu, tapi Andi malah langsung berdiri mengikuti gerakan Shania. "Aku ikut, Kak," katanya. Shania menggeleng, lalu tersenyum. "Kenapa, kamu takut ya di sini sendiri?" goda gadis itu. "Bukan gitu, kalau Andi ikut kan bisa bantu kakak bawa es kelapanya ke sini," ucap anak itu, dan itu adalah alasan yang benar-benar real. Shania tersenyum, "Kakak bentar aja kok, janji gak bakalan lama. Nanti kalau kamu ikut juga, siapa yang jagain istana pasir kita ini. Susah payah loh kita bikin, nanti dirusakin sama orang lain, gimana?" ucapnya sembari menunjuk sebuah hasil karya kolaborasi mereka melalui pasir yang sudah dibuat oleh mereka berdua bermenit-menit yang lalu. Andi menghela napas, pasrah. Meskipun ada sedikit kecewa, tapi ia tetap menerimanya dengan hati terbuka. "Ya udah, Kakak pergi ya," pamit Shania. "Iya," balas Andi. Tidak lagi terlarut, anak itu melanjutkan memperbaiki istana pasir mereka, membuat beberapa bagian istana yang menurutnya kurang. Shania berusaha banyak dalam membuat karya tersebut, Andi ingin membuat kakaknya itu merasa lebih senang setelah kembali dari membeli es kelapa lantaran melihat penampilan istana pasir mereka yang semakin cantik. Andi fokus membuat benteng, mengukirnya kemudian merapikannya. Saking terlalu memusatkan perhatiannya pada objek tersebut, Andi sampai tidak sadar ada sebuah bola yang melayang ke arahnya. Bruk Secara spontan, bola itu langsung mengenai tubuh Andi. Karena ling-lung, anak itu jadinya tanpa sengaja menindih apa yang telah ia buat. Benteng jadi-jadian itu hancur melebur, kembali rata dengan pasir. Setelah berhasil mengembalikan jiwanya yang hampir hilang karena syok, segeralah Andi menoleh untuk mencari asal penyebab bola itu bisa melayang ke arahnya. Seketika itu ia melihat seorang gadis kecil yang rambutnya diikat dua dan sedang berjalan menghampiri dirinya. "M-maaf, aku tadi gak sengaja—lohh ... prince itu kamu?" Anak perempuan itu seketika mengernyitkan keningnya, tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. "Kamu." Andi menghembuskan napasnya panjang, sontak ia membuang bola Adel yang mengenainya tadi ke sembarangan arah. Andi tidak habis pikir, kenapa bisa ia selalu saja bertemu dengan anak resek seperti Adel di tempat yang seharusnya sangat mustahil, apakah anak perempuan itu menguntitnya? Mengabaikan bolanya yang sudah melenggang jauh dari pelupuk mata, Adel malah mendekati Andi dengan mimik wajah yang bersemangat. "Prince, kamu dateng ke sini bareng siapa? Kalau aku dengan mommy dan daddy aku?" "Gak nanya," balas Andi dengan nada yang super duper ketus. Tidak merasa sakit hati, Adel memusatkan perhatiannya pada objek yang berada di belakang Andi. "Oh Prince lagi bikin istana pasir ya, kebetulan banget aku juga suka bikin istana pasir," katanya lagi, hendak mengambil ember cetakan yang tergeletak di samping kaki Andi, tapi anak laki-laki itu langsung mencegatnya. "Jangan sentuh," katanya. "Gak papa, aku cuma mau perbaiki bagian istana pasir yang udah rusak itu kok," ucap Adel, namun Andi lagi-lagi mencegahnya. "Aku bilang jangan sentuh, mending kamu pergi aja deh dari sini." "Gak mau," tolak Adel. "Kamu gak punya pilihan lain, selain pergi dari sini," titah Andi lagi. "Aku bakalan pergi, tapi Prince cariin dulu bola yang udah dibuang tadi." Andi menghela napas, ia terpaksa harus menuruti permintaan Adel lantaran itu adalah satu-satunya pilihan yang bisa membuat anak perempuan itu berhenti mengganggu dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN