"Papa!"
Mata Shania seketika terbuka lebar melihat seorang anak kecil yang berlari menghampiri Jean dengan menyerukan kata 'Papa'. Jean punya anak? Sesuatu hal yang tidak pernah Shania perkirakan sedari awal mereka bertemu. Shania kira Jean itu adalah pria lajang karena masih kelihatan muda, namun ternyata itu salah. Harapan Shania untuk bergantung kepada Jean kini sudah pupus. Shania hanya bisa tersenyum kaku menatap interaksi antara Jean bersama dengan anaknya.
"Andi, jangan lari-lari. Nanti jatuh lohh ...," ucap Jean, ia lalu mengangkat tubuh anak kecil yang sudah berdiri di depannya itu untuk di tempatkan dalam dekapannya.
"Papa. Apa hari ini kita akan jalan-jalan?" Tanya Andi dengan antusias, tanpa mengindahkan omelan Jean. Anak itu bersikap sangat manja dan membuat Shania semakin ingin menjaga jarak dari keduanya.
Jean tampak terdiam sebentar, kemudian di detik ke tiga ia pun mulai berbicara, "Maafin Papa, sayang. Hari ini Papa lagi banyak kerjaan. Lain waktu aja ya," katanya dengan jujur, meski merasa tidak tega mematahkan semangat Andi. Padahal anak itu baru saja sembuh dari demam, seharusnya ia bisa meluangkan waktu untuk anak itu. Namun lagi-lagi masalah pekerjaannya yang benar-benar important lah yang membuat Jean tidak bisa lebih leluasa.
Mendengar perkataan Jean, tentu saja raut di wajah Andi berubah menjadi cemberut. "Yahhh ... Padahal hari ini 'kan akhir pekan, Pa. Ya udah dehh ... Tapi Papa harus janji kalau Papa gak sibuk lagi nanti, kita harus jalan-jalan," ucap Andi sembari mengajukan jari kelingking nya kepada Jean.
Jean tersenyum, merasa bangga dengan Andi yang masih kecil tapi bisa bersikap pengertian padanya. "Janji." Jean lalu menautkan jari kelingkingnya sendiri pada jari kelingking milik Andi tadi.
Tawa Andi seketika terdengar, "Yeeee ... Kalau gitu, aku mau kita jalan-jalan ke taman bermain yang baru buka itu. Teman-teman Andi banyak yang udah pergi ke sana, cuma Andi aja yang belum."
"Iya-iya. Papa janji, kali ini Papa pasti bisa luangin waktu buat kamu," kata Jean, melihat Andi yang senang pria itu ikutan senang.
"Dia siapa, Pa?" Tanya Andi sembari menunjuk Shania yang baru ia respons keberadaannya. Shania yang semula membuang muka ke arah lain, seketika langsung menoleh kembali ke arah mereka berdua.
Dengan masih mengendong Andi, Jean berpindah tempat dari samping Shania berganti menghadap gadis itu. "Dia Laras, pengasuh baru kamu. Kamu harus manggil dia Kak Laras," ujar Jean, menjelaskan. Andi sekarang terlihat meneliti penampilan Shania, dari ujung kaki sampai ke ujung rambut Shania. Diberi tatapan serius seperti itu dari seorang anak kecil, bisa-bisanya Shania menjadi salah tingkah.
Merasa puas memperhatikan penampilan Shania, anak kecil itu lalu berkata, "Ohhhh ... Babysitter Andi," katanya sambil manggut-manggut, pertanda kalau ia sudah paham betul akan penjelasan Jean. Anak laki-laki itu lalu meminta Jean untuk menurunkannya. Setelah turun, langsung saja ia berjalan lebih dekat kepada Shania.
"Hai, Baby. Kenalin aku Andi, panggil aja your boy," ucap Andi dengan lagak yang berlawanan untuk ukuran anak kecil atau bisa dikatakan sok dewasa.
Jika Shania terkekeh mendengar kalimat yang Andi lontarkan, berbeda lagi dengan Jean yang malah melotot karena tidak menyangka. "Dari mana kamu belajar ngomong kayak gitu?" Tanya Jean.
Tanpa pikir panjang, Andi pun berucap, "dari Papa lah." Andi seperti tidak mau kalah dan sama sekali tidak merasa ada yang salah dengan ucapannya.
Shania semakin terkekeh ketika melihat raut wajah Jean yang berubah, menurut Shania raut itu sangatlah lucu jika digunakan oleh sosok Jean yang dikiranya kalem.
Shania lalu membungkukkan tubuhnya untuk menyamai tinggi Andi. "Haii ... Andi. Salam kenal ya. Kamu lucu banget deh," ucap Shania berlanjut mencubit pipi gembul milik Andi, tapi anak itu dengan cepat menyingkirkan tangannya.
"Gak usah pegang-pegang. Pamali, bukan muhrim," kata Andi, bernada tidak suka. Ia langsung mengusap-usap pipinya yang dicubit oleh Shania tadi, setelah itu ia langsung pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun.
"Dia marah?" Tanya Shania pada Jean.
"Dia paling gak suka kalau ada yang nyentuh pipinya. Katanya sakit," kata Jean yang seketika membuat Shania semakin merasa bersalah.
"Maafin saya, Pak. Saya beneran gak tahu," ucap Shania yang benar-benar menyesali perbuatannya. Padahal baru masuk sesi kenalan saja, tapi ia sudah memberikan kesan yang buruk kepada majikannya.
"Kamu gak perlu khawatir, Andi bukan anak yang pendendam. Terpenting kamu sudah tahu apa yang dia gak suka," ucap Jean. Mendengar itu, Shania baru bisa bernafas lega. Memang benar, Jean itu spesialisnya menenangkan jiwa dan raga Shania. Shania tidak perlu takut ataupun khawatir karena akan ada Jean yang selalu siap sedia menolongnya. Jika terus begini, lama-lama Shania pasti bakalan kepincut pada Jean.
Shania menggeleng kepalanya, teguh. 'Sadarlah Shania, pak Jean itu udah punya istri. Lo jangan sampe tergoda sama suami orang, apalagi dia udah punya anak. Pamali namanya' ucap Shania dalam hati, berusaha memperingati dirinya sendiri.
"Oh iya. Saya tadi 'kan belum kasih tahu kamu tentang pekerjaan yang akan saya berikan." Sedari awal, Jean memang belum mengatakan kepada Shania perihal pekerjaan jenis apa yang hendak ia tawarkan. Pria itu hanya mengatakan bahwa ia akan memberikan Shania sebuah pekerjaan berserta dengan tempat tinggal saja. Shania yang memang sudah kepepet oleh keadaan juga belum memikirkan sampai ke situ.
"Gak papa, Pak. Saya sekarang juga udah tahu," ucap Shania penuh kesopanan. Melalui pembicaraan Jean bersama anaknya tadi, siapapun akan tahu. Menurut Shania menjadi pengasuh seorang anak kecil sepertinya seru juga. Apalagi secara kebetulan Shania itu tipe gadis yang menyukai anak kecil dan sudah memiliki beberapa pengalaman dalam memperlakukan anak kecil, karena sebenarnya Shania itu memiliki seorang keponakan dari kakak sepupunya yang seusia lebih muda dari Andi. Kadang-kadang Shania juga mengunjungi kediaman kakak sepupunya itu untuk bercengkrama sekalian bertemu dengan Abel, keponakannya.
"Jadi, apa kamu setuju jadi pengasuh anak saya? Saya sebenarnya memang butuh seorang pengasuh, karena pengasuh sebelumnya berhenti sudah satu minggu yang lalu," ucap Jean.
Tanpa pikir panjang Shania langsung menyahut, "setuju lah Pak, ya ... kali rejeki ditolak," ucap Shania, kelewat antusias dan Jean meresponnya dengan tersenyum saja.
Kemudian, Jean memanggil kepala pelayan di rumah nya yang Shania ketahui bernama Orman karena Jean menggunakan nama itu saat memanggil. Beberapa detik setelah aksi pemanggilan itu, muncul seorang laki-laki tua yang rambutnya dominan dihiasi oleh warna putih. Shania perkira, umur laki-laki tua itu pasti beda tipis dengan umur ayahnya, hanya saja tubuhnya tidak se-gembul kepunyaan Bimo. Meski berbadan sedikit kurus, tapi laki-laki itu memiliki rahang yang tegas, tubuh yang tegap dan ekspresi wajah yang datar. Hal itu membuat Shania sedikit was-was.
"Ada apa, Tuan?" tanyanya diawali dengan menunduk hormat.
"Ini Laras, dia pengasuh baru untuk Andi. Saya minta Bapak tunjukkin kamar untuknya sekalian buat dia mengenali rumah serta pekerjaannya," jelas Jean, memerintah.
Sembari mengulum senyum, Shania membungkukkan sedikit badannya. "Salam kenal, saya Laras. Mohon bimbingannya," kata Shania kepada pak Orman, ia hanya ingin akrab kepada pak tua itu.
"Baik, Tuan," ucap laki-laki tua itu kepada Jean, tanpa sedikitpun memperdulikan gadis di hadapannya. Itu menandakan kalau salam sapaan Shanis diberi balasan cuek bebek oleh pak Orman. Shania jadi berpikir, apa ia barusan membuat kesalahan?
"Ikut saya," kata orang tua itu kepada Shania, masih mempertahankan ekspresi datarnya.
Tidak ingin berlarut dalam memikirkan kesalahannya, Shania mulai melangkahkan kakinya mengikuti ke mana pun pak Orman hendak menuntunnya pergi.
Shania berjalan diselingi dengan celingak-celinguk kiri-kanan, memperhatikan interior rumah yang benar-benar mewah. Tapi ada satu yang benar-benar menarik perhatian Shania, yaitu sebuah foto keluarga yang menampilkan seorang wanita tengah mengendong balita yang Shania yakini adalah Andi waktu berumur 3 tahun serta seorang pria yang memiliki lekuk wajah hampir mirip dengan Jean, tapi shania yakin itu bukan Jean karena pria yang di foto itu terlihat lebih tua dibandingkan Jean yang ia kenal.
"Permisi Pak, kalau boleh tahu. Perempuan yang gendong Andi itu ibunya Andi, 'kan? Tapi, laki-laki yang bersama mereka itu siapa? Oh iya, ibunya Andi kemana ya, kok dari tadi saya gak liat?" Tanya Shania karena tidak bisa menampung rasa penasarannya.
Pak Orman yang berada di depan menghentikan langkahnya, ia berbalik menghadap Shania. "Sepertinya kamu belum mengerti tentang tata krama. Seorang pembantu itu memiliki banyak batasan, termasuk tentang kehidupan majikannya. Kalau kamu ingin berkerja lebih lama di sini, saya harap mulai sekarang kamu harus belajar mengenali batasan-batasan itu. Paham?!" tegas pak Orman, kentara sekali kalau ia tidak menyukai pertanyaan yang Shania ajaukan barusan.
"Maaf," kata Shania sambil berkali-kali menundukkan kepalanya.
"Saya ingin ingatkan kamu satu hal lagi. Tuan Jean itu memang memiliki hati yang jernih dan penuh kebaikan. Dia tidak pernah memandang siapa orang yang akan ia beri uluran tangan. Jadi jangan pernah kamu khianati kebaikan yang sudah diberikan beliau. Sebaliknya, kamu harus tahu diri." Setelah mengatakan itu, pak Orman langsung berpaling dari Shania dan mulai berjalan lagi.
"Baik," cicit Shania, hampir mustahil untuk didengar oleh orang tua yang berjalan lurus di hadapannya. Shania memang merasa bersalah karena terlalu lancang, tapi seharusnya pak Orman tidak perlu menceramahinya se-kasar itu.