Pengingat

1175 Kata
"Ohh ... Iya kak. Kak gak lupa tentang acara hari Sabtu ini, 'kan?" tanya Fika, mencoba membuat Jean ingat tentang agenda penting di hari yang ia sebutkan barusan. Namun, anehnya Jean malah langsung terdiam, seperti sedang berpikir. Mungkinkah ia sedang mencoba mengingatnya atau sebaliknya apakah Jean sungguhan melupakan hari yang penting itu? "Hari Sabtu?" ulang Jean, meskipun begitu wajahnya tidak menunjukkan kalau ia bingung dengan pertanyaan oleh adik sepupunya itu padanya. Hanya saja, dari nadanya bicara itu sangat membuat orang yang mendengar nya menjadi sedikit ragu. Fika mengangguk, "Iya, hari Sabtu. Kenapa, kakak lupa ya?" tanya Fika. Sebenarnya tidak apa-apa kalau Jean memang melupakan tentang agenda di hari itu, karena ia bisa mengingatkannya lagi. Namun, sebelum Jean menjawab laki-laki itu terlihat terdiam sejenak. Selang dua detik kemudian, dia menggelengkan kepala. "Gak, kakak ingat," ujarnya yang seketika membuat hati Fika pun merasa cukup lega. Hari Sabtu, itu adalah hari yang sudah tertulis di sebuah undangan yang diberikan oleh Fika satu Minggu yang lalu. Undangan pernikahan seseorang, atau lebih tepatnya adalah kerabat mereka. "Syukur deh kalau kakak masih ingat. Jadi, kakak pasti pergi 'kan?" tanya Fika lagi dan pertanyaan itu langsung menerima anggukan dari Jean. walaupun sebenarnya Fika sangat tahu arti sebuah pertemuan keluarga untuk Jean, tapi tetap saja Fika sangat ingin Jean tetap menghadirinya agar bisa menghindari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk apabila dia tidak turut serta. Kelegaan di hati Fika semakin bertambah ketika ia melihat anggukan kepala Jean yang menandakan kalau kakak sepupunya itu mengiyakan pertanyaan yang ia ajukan. Namun, tanpa di sadari oleh gadis itu, ada sedikit rasa kebimbangan yang menerpa diri Jean. ***** Shania baru saja selesai memantau Andi, sampai anak itu benar-benar telah masuk ke dalam kelasnya. Kemudian, seperti biasanya gadis itu pergi ke suatu tempat yang biasanya digunakan untuk orang tua yang menunggu anak-anak mereka di sekolah inu "Pagi, Bu," sapa Shania kepada seorang wanita yang kebetulan sudah menjalin hubungan akrab dengannya karena kebetulan ibu itu juga sering menunggu anaknya di sini, keduanya sering terjebak obrolan. Dan nampaknya, ibu dari dua anak yang mana anak bungsunya lah yang bersekolah di sini itu seperti menyukai Shania. Mungkin yang menjadi ketertarikan gadis itu adalah tutur katanya yang sopan. "Ehhh ... Laras. Pagi juga. Baru datang ya?" Ibu yang bernama Rati itu membalas sapaan Shania padanya sekalian juga bertanya. Senyum yang merekah tidak ketinggalan dalam diri wanita yang usianya sudah menginjaki kepala empat itu, Shania mengetahuinya karena ibu itu sendiri yang mengatakannya secara langsung. Sudah dibilang kan kalau mereka itu akrab, bahkan Shania sendiri juga banyak menceritakan tentang dirinya kepadanya orang tua itu- -kecuali tentang perjodohan dan kabur dari rumah. Shania sengaja melangkahi cerita itu karena tidak ingin ibu Rati jadi berpikiran yang bukan-bukan tentangn dirinya. Shania menaik turunkan kepalanya, pelan. "Iya, Bu," sahut Shania. "Sini, duduk di samping ibu," ujar wanita itu sambil menepuk-nepuk dataran kursi plastik yang ada di sebelahnya. Ibu Rati kelihatan semangat sekali, karena pikirnya akan lebih bagus Shania ada di sini dan duduk di sampingnya, dengan begitu ia jadi punya teman ngobrol di sela-sela waktu menunggu anaknya yang baru menduduki bangku kelas satu SD, berbeda dengan Andi yang unggul satu tingkat dari anak itu. Shania terlihat menganggukkan kepalanya, mengiyakan permintaan ibu itu. Namun, baru saja ia hendak menjatuhkan bokongnya, mendadak handphone yang berada di dalam tasnya bergetar. Shania jadi mengurungkan niatnya untuk duduk, karena terlebih dahulu ia merogoh tas selempang sederhananya itu. Setelah layar handphone itu terpampang ke wajah, gadis itu mendadak mengernyitkan keningnya. Cukup heran saja, tahu tahunya nama Fika lah yang tersemat di layar teratas benda pipih yang canggih itu. "Ngapain anak ini nelpon, bukannya dia lagi ada kelas ya?" Gumam Shania pelan, dan hanya dirinya saja yang bisa mendengar gumaman itu. Menyadari kalau ibu Rita masih setia memperhatikan dirinya berdiri, Shania kemudian meminta ijin kepada wanita itu untuk pergi menjauh sebentar untuk mengangkat panggilan dari Fika. Bukan tanpa alasan Shania tidak mengangkat telepon itu di hadapan ibu Rita, hanya saja ia merasa tidak enak hati nantinya kalau berbicara dengan Fika yang secara otomatis pasti jadi mengabaikan kehadiran wanita itu. Setelah dirasanya sudah menemukan tempat yang tepat, segeralah Shania mengalihkan ikon telepon ke warna hijau. Dalam hati, Shania sedikit memuji Fika karena gadis itu dengan sabar masih menunggu panggilan teleponnya sampai diangkat. "Halo, Fik—" "HALLO SHANIA SI SIPUT LELET! LO KE MANA AJA SIH DARI TADI, KENAPA BARU NGANGKET TELEPON GUA?!!" Ucap Fika di seberang sana menggunakan nada setengah teriak. Akibat dari ulah Fika itu, Shania langsung menjauhkan handphone tersebut dari telinganya. Kalau saja ia tidak refleks, mungkin saja benda pipih tersebut sudah terdarat sempurna di dataran lantai dengan layar kaca yang berhamburan. Untuk mengontrol emosinya yang tengah mengeludak akibat ulah gadis yang menjabat sebagai sahabatnya itu, Shania menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya secara perlahan. Setelah emosinya sudah ia rasa terkontrol, baru lah Shania menempeli kembali handphone itu pada telinga yang satunya lagi. Hal itu ia lakukan untuk sekedar berkata. "Bisa gak, sebelum nyerocos dan teriak kayak gitu. Ucapin salam dulu dengan sopan. Lo sengaja ya mau buat gua jadi gadis muda yang tuli, Hah?!" Ujar Shania, memarahi Fika yang tidak ia ketahui apa sudah mengetahui kesalahannya atau malah belum. Raut di wajah Shania langsung berubah jadi masam, bukan hanya telinganya saja yang hampir menjadi korban tapi jantungnya pun jadi ikut ikutan. Shania menggelengkan kepalanya, benar-benar, kenapa Fika bisa bereaksi sangat berlebihan seperti ini sih. "Hehehe ... Maaf, maafin gua ya, kuping Shania. Gua gak bermaksud mau bikin Lo gak berfungsi lagi. Abisnya, pemilik Lo itu sih leletnya minta ampun banget. Masa gua telepon, hampir satu menit baru diangkat. Gimana gak jadi nyerocos, coba," ujar Fika, sengaja melakukan itu meskipun tahu kalau Shania mendengar perkataannya itu. "Yang lagi Lo gunjingin itu gua dan gua juga ada dengar ya!" Peringat Shania, karena Fika malah menyalahkannya padahal gadis itulah yang bersalah di sini. Tapi, Shania rasanya lelah untuk meladeni perangai Fika, bisa mati muda kalau ia terus meladeni anak itu. Seperti biasa, setelah berhasil membuat Shania jadi kesal. Fika hanya cengengesan di seberang sana sambil mengucapkan kata maaf, meskipun ia tidak serius dengan ucapan maafnya itu. "Iya ... Iya, maafin ya Shania cantik. Gua gak sengaja teri—" Sebelum Fika menuntaskan kalimatnya, Shania langsung memotong karena merasa gerak gerik Fika yang mencoba untuk bermain-main lagi. "Udah, sekarang kasih tahu gua alasan Lo nelpon gua di waktu yang seharusnya Lo pake buat berada di kelas mata kuliah Lo," ucap Shania dengan nada yang memerintah, percayalah kalau Fika sekali lagi mencoba bermain-main, Shania pasti akan langsung mematikannya sambung telepon tersebut. "Gua kangen sama Lo, gua—" Shania memang tidak pernah bercanda seperti yang sering Fika lakukan padanya. Buktinya saja ia langsung mematikan sambungan telepon tersebut, sehingga kemudian ia bisa bernapas dengan lega lalu memasukkan handphone tersebut kembali ke dalam tas selempangnya. Persetan dengan apa yang hendak Fika katakan padanya, kalaupun itu memang penting, Fika pasti akan menghubunginya kembali. Jangan sebut Shania adalah orang jahat, ia melakukan itu hanya karena ia tidak ingin membuat Fika menjadi kebiasaan nantinya. Walaupun nyatanya itu memang sudah menjadi kebiasaan Fika sejak dulu, dan banyak yang bilang kalau kebanyakan kebiasaan sulit untuk dihilangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN