Tok ... Tok ... Tok ...
Sebelum dirinya benar-benar memasuki sebuah ruangan yang pintunya sebenarnya tidak dikunci itu, terlebih dahulu Shania memberikan beberapa ketukan pelan pada dataran pintu kamar itu. Bukan tanpa sebab Shania melakukan hal itu lantaran ia tidak ingin membuat orang yang berada di dalam ruangan tersebut merasa terkejut karena kehadiran yang tanpa memberikan tanda dan lagi, mengetuk pintu diiringi dengan ucapan salam itu merupakan suatu kewajiban yang merupakan sebuah bentuk kesopanan. Jadi, tidak ada alasan khusus untuk tidak melakukan hal sesederhana itu.
Ketika dirinya sudah mendapatkan respons dari orang yang berada di dalam, barulah gadis berdaster pink yang merupakan seragam kerjanya memasuki ruangan tersebut. Ia berjalan dengan hati-hati karena di tangannya ini tengah menanggung beban yang sebenarnya tidak berat melainkan hanya panas saja, beban tersebut yaitu berupa semangkuk bubur panas serta segelas air putih, tidak lupa ada juga dua jenis obat yang sama dengan yang ia gunakan semalam, turut serta berada dalam satu nampan.
"Bibi," sapa gadis itu kepada orang tua yang terlihat memberikan senyuman juga padanya. Mendapati kehadiran Shania, wanita tua itu segera berusaha untuk membuat dirinya yang semulanya terbaring itu menjadi duduk dengan bersandar di bagaian kepala ranjang.
Melihat aksi yang tengah dilakukan oleh Bibi Iyem, Shania dengan cepat menghampirinya dan mencoba memberi bantuan setelah barang yang dibawahnya tadi sudah ia taruh di atas nakas, tepatnya di samping ranjang Bibi Iyem.
"Bibi, biar Laras aja," ujar gadis itu dengan tangan yang cekatan memperbaiki posisi bantal wanita itu supaya menjadi berdiri agar bisa digunakan Bibi Iyem sebagai sandaran yang nyaman.
"Terima kasih," ujar Bibi Iyem dengan senyum yang merekah di bibirnya yang tidak lagi cerah.
"Bukan apa-apa, Bik," balas Shania sambil memberikan sebuah kedipan mata pada bibi Iyem. Wanita tua itu hanya terkekeh saja, dari waktu ke waktu ia merasa semakin dekat dengan gadis muda di hadapannya ini. Bagaimana cara Shania merawatnya, membawanya berbicara, dan mengajaknya bercanda semakin membuat Bibi Iyem menjadi tersentuh.
Ia sangat bersyukur karena di usianya yang tidak lagi muda ini, banyak orang-orang berhati baik yang mengelilinginya. Bahkan anak-anaknya sendiri yang memiliki hubungan darah dan ikatan batin dengan dirinya tidak bisa sedikitpun menjadi seperti orang-orang muda ini.
Jika bisa, Bibi Iyem lebih memilih untuk tidak ingat lagi bahwa ia pernah memiliki anak, karena dengan hanya memikirkannya saja sudah membuat Bibi Iyem mengingat kembali tentang kenangan yang membuatnya hati dan pikirannya menjadi terluka. Memang benar adanya, luka fisik itu lebih cepat disembuhkan dari pada luka batin. Bahkan luka batin tersebut akan menjadi permanen dalam ingatan sepanjang akhir hayatnya nanti.
Tangan Shania kemudian terulur meraih bubur yang dibawanya tadi, untuk ia aduk secara merata agar bisa segera di santap oleh Bibi Iyem. "Bibik makan dulu ya, biar Laras suapin," ucap Shania dengan lemah lembut. Ia lalu meniup sesendok bubur yang sudah mulai terasa hangat itu agar bisa segera ia suapkan pada Bibi Iyem.
"Tunggu dulu, apa kamu sudah selesai memasak makanan yang tadi?" tanya wanita itu dengan raut yang sangat ingin tahu, ucapannya itu langsung menghentikan Shania yang baru saja hendak memberikan suapan pertama.
Sejenak, Shania terdiam. Memikirkan nasi goreng yang ia hidangkan untuk majikannya. Jika saja bisa diungkapkan dengan kata kata, Shania lebih ingin mengatakan bahwa ia sudah kehilangan akal karena telah berani memberikan makanan itu kepada Jean dan juga yang lainnya. Sungguh, Shania merasa sangat tidak enak hati dan tahu pasti makanannya itu tidak akan diterima dengan senang hati oleh mereka. Seumur hidup, ini adalah pertama kalinya bagi Shania memasak, ia tahu pasti semua permulaan tidak pernah memberikan hasil yang baik. Kalaupun ada, itu pasti hanya kebetulan saja dan kecil kemungkinannya kebetulan itu akan terjadi padanya.
"Laras," panggil Bibi Iyem karena Shania belum menjawab pertanyaan itu.
Seketika, suara dari Bibi Iyem itu berhasil menarik kembali Shania dari lamunannya. Ia segera menatap Bibi Iyem, lalu ia tersadar dengan apa yang ia lakukan di detik-detik itu.
"Ahh ... Iya Bi? Masalah itu ya? Bibi tenang aja, semuanya sudah Laras urus dan sesuai dengan permintaan Bibi. Ini aja mereka juga lagi makan di meja makan," ujar Shania, walaupun sebenarnya ia tidak yakin di meja makan utama apakah majikannya sedang memakan makanan yang ia buat atau malah mengabaikannya. Sumpah, Shania benar-benar merasa bersalah akan hal ini. Jika saja waktu bisa terulang kembali, Shania pasti tidak bakalan lagi mengajukan dirinya untuk melakukan sesuatu hal yang sebenarnya tidak dalam ranahnya.
"Ohhh ... Kalau begitu, Bibi jadi lega dengernya. Maafin Bibi ya, karena jadi ngerepotin kamu. Bibi janji setelah ini Bibi pasti bakalan sembuh, dan nanti Bibi pasti gak akan ganggu waktu kamu lagi," ujar wanita itu, dengan rasa kelegaan dan tidak enak hati yang bercampur menjadi satu.
Sebenarnya Shania tadi sempat meminta catatan kepada Bibi Iyem mengenai resep masakan yang harus ia buat hari ini. Dan, Bibi Iyem tentu saja memberikannya dengan senang hati tanpa sedikitpun merasa permintaan Shania itu adalah sebuah beban untuknya. Shania sengaja meminta resep nasi goreng saja karena berpikir hanya itu adalah makanan yang mudah untuk dibuat.
Namun, nyatanya setelah ia turun langsung ke lapangan atau sebut saja dapur, Shania jadi menyadari kalau semua hal yang ada di dunia ini tidak pernah diciptakan dengan hanya memiliki kemudahan saja, setiap hal pasti memiliki plus minusnya. Seperti yang dilakukan oleh Shania di dapur tadi, dia hampir saja tidak bisa membedakan antara yang mana garam dan yang mana gula. Kendala itu juga terjadi pada saat ia membuat telur ceplok, karena takut minyak goreng yang panas itu akan mengenai dirinya, ia pun berusaha berdiri sejauh mungkin dari kompor. Alhasil, apa yang dilakukannya itu mengakibatkan terciptanya telur ceplok yang memiliki nama lain, yaitu sarang semut-- menurut Fika sih. Tapi kalau menurut Shania sendiri itu lebih mirip dengan sarang burung karena tampilan yang sangat tidak merata.
"Ahhh ... Iya, Bi. Laras pikir Bibi gak harusnya ngomong gitu, karena yang aku lakuin sama bibi sekarang ini murni karena kemauan aku sendiri. Bibi hanya perlu beristirahat sampai Bibi benar-benar ngerasa sembuh total. Dan, selama Bibi istirahat, aku bakalan gantiin Bibi buat lakuin semua tugas dan perkejaan Bibi," ucap Shania yang begitu pengertian. Biar bagaimanapun, alasan apapun, atau kesalahan apapun yang telah ia perbuat, Shania merasa yang paling penting di sini adalah kesehatan dari orang tua itu. Shania tidak banyak menuntut hal lain, hanya kesembuhan Bibi Iyem saja.
Mendengar penuturan Shania, Bibi Iyem lagi lagi merasa sangat tersentuh. "Nak, gak ada apapun yang bisa bibi lakukan ataupun berikan untuk membalas kebaikan kamu ini, Bibi hanya bisa mengulangi kata terima kasih saja. Terima kasih banyak," ucapnya dengan haru.
Tanpa Bibi Iyem sadari, Shania mendadak saja menetaskan air mata. Oleh karenanya lah, gadis itu langsung memalingkan wajahnya ke arah lain kemudian dilapnya, ia tidak mau bibi Iyem menyadari apa yang terjadi padanya.
"Bi ..," panggil Shania, sedikit lirih.
"Iya...?"
"Apa aku bisa manggil bibi dengan panggilan nenek? Aku benar-benar menganggap bibi sebagai keluarga aku, dan aku juga ingin bibi menganggap aku begitu ...."