Di tengah malam, Shania kedapatan mimpi yang berkesan lagi. Jika hari-hari sebelumnya ia memimpikan ibunya yang Shania anggap sebagai mimpi terindah sepanjang sejarah bunga tidurnya, kali ini gadis itu memimpikan hal yang ia anggap sebagai mimpi terburuk. Di dalam alam bawah sadarnya, gadis itu merasakan deja vu dengan kejadian di mana ia bertemu lagi dengan anggota keluarganya. Di mimpi itu lebih parah lagi dari apa yang ia alami dalam dunia nyata. Sehingga ia jadinya mau tidak mau jadi terbangun dari tidurnya di tengah malam yang sangat larut.
Gadis itu tampak terengah-engah, mengatur napas yang terputus-putus. Keringat dingin mengalir deras mulai dari pelipis matanya. Beberapa hari terakhir ini Shania memang selalu memimpikan hal yang buruk, mungkin itu karena efek samping karena tanpa henti ia terus kepikiran tentang keluarganya dan intrik yang ada di dalam keluarga tersebut.
Tahu kalau setelah ini ia akan sulit untuk kembali dalam dunia tidurnya, gadis itu kemudian memilih keluar dari selimut biru polos itu. Ia menuju meja kecil yang berada di sudut ruangan. Saat teko air yang ia angkat lebih tinggi kemudian di miringkan dari gelas di sampingnya, gadis itu tersadar kalau tidak setetes pun air yang turun dari sana. Gadis itu menghela napas, nampaknya ia harus keluar dari sini menuju dapur.
Ahh ... Andaikan saja kalau tenggorokannya ini tidak benar-benar terasa kering, mungkin saja ia bisa mengskip untuk tidak ke dapur karena jujur saja ia terlalu malas untuk menggintari rumah Jean yang panjang dan luas ini. Tapi ... ya sudahlah, Ia tidak punya pilihan lain lagi selain membuka dan keluar dari kamarnya itu.
Lampu lorong kamar yang dikhususkan untuk para pembantu terlihat temaram. Gadis itu kemudian menelan ludahnya, membuat tulang yang menonjol di leher bagian depannya itu ikutan bergerak.
Dengan tangan yang memegang teko kecil, Shania memberanikan diri untuk melangkah melalui lorong itu. Entah kenapa, gadis itu merasa sangat takut dengan hal-hal begini. Padahal jika dihadapkan dengan orang-orang yang berbentuk nyata yang bisa saja membunuhnya, nyali gadis itu tidak langsung menciut seperti sekarang ini. Membayangkan ada bayangan yang yang melayang-layang di hadapannya saja gadis itu bisa-bisa menangis di tempat.
Bukannya kenapa, Shania pernah trauma dengan hal-hal seperti itu. Dulu, kakaknya Shekan sering sengaja menakut-nakutinya dengan cerita yang aneh-aneh sehingga membuat gadis itu menjadi takut untuk sekedar ke kamar mandi sendiri. Sehingga untuk menuntaskan rasa takutnya gadis itu terus-terusn merengek untuk tidur dengan Bibi sampai pada akhirnya ia lupa dengan cerita abangnya itu barulah Shania mau tidur sendiri. Namun, semenjak ia memikirkan tentang anggota keluarganya, sekarang gadis itu menjadi ingat tentang segalanya yang coba ia lupakan.
Kemudian, kaki panjang gadis itu membawanya berlari dengan begitu gesit meninggalkan kamarnya yang kosong sementara ia mengambil air minum untuk menyegarkan tenggorokannya sendiri.
Saat kaki itu sudah sampai di dapur, gadis itu berhenti. Di dapur ternyata lebih gelap lagi dari yang ia duga, seketika itu tangan Shania meraba-raba dinding untuk mencari tombol listrik yang menjadi penghubung lampu dapur. Baru saja ia hendak menekan tombol yang sudah ia temukan, telinga gadis itu terangkat karena mendengar sesuatu yang berasal dari dapur itu sendiri. Itu adalah suara grasak-grusuk yang tidak ia ketahui apa penyebabnya.
Karena ketakutan mengira itu adalah suatu hal yang aneh seperti makhluk ghost misalnya, ia ingin kembali ke kamarnya sendiri. Tapi, belum juga ia benar-benar beranjak dari sana, mata Shania tanpa sengaja melihat siluet orang yang berada di depan yang menyimpan banyak makanan segar.
"Itu bukan hantu, tapi itu adalah pencuri," gumam Shania yang seketika mendekatkan diri untuk bisa lebih leluasa mengintip aktivitas yang sekarang sudah ia yakini kalau itu adalah seorang manusia, bukan hantu.
Shania tidak habis pikir bagaimana pencuri itu bisa masuk ke sini, sedangkan ia tahu kalau keamanan di rumah mewah milik Jean ini sangatlah ketat dan hampir mustahil bisa ditembus oleh orang-orang seperti pencuri ini.
Shania pernah mendengar cerita tentang seseorang yang tinggal di atas plafon rumah tanpa sepengetahuan pemilik rumah tersebut. Setiap tengah malam orang yang tinggal di atas plafon tersebut turun dari atas hanya untuk mengambil makanan, dan itu juga tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Shania rasa bisa saja cerita itu juga terjadi di rumah Jean. Gadis itu tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
Tangan gadis itu kemudian terulur untuk mengambil ganggang sapu. Dengan membawa benda itu Shania perlahan mendekati pencuri tersebut. Sudah dibilang kan kalau Shania itu tidak takut berhadapan langsung dengan orang-orang yang seperti itu lagi dibandingkan dengan sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata kosong seperti hantu.
Saat dirinya sudah dekat dan berdiri di belakang pencuri yang masih grasak-grusuk dengan makanan di kulkas, ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, mengambil ancang-ancang untuk memukul.
"KYAKK?!" Berhasil. Pukulan terbaik itu mendarat dengan sempurna pada punggung lebar milik laki-laki yang memakai hoodie hitam itu.
"Awww ..." Alhasil orang itu memekik dengan keras sesaat setelah mendapatkan pukulan tersebut dari seorang gadis kecil seperti Shania. Namun, ketika laki-laki itu berdiri dan bertatapan langsung dengan Shania malah membuat gadis itu menjadi mati kutu dengan mulut yang mengatup lebar.
"T-tuan J-jean," katanya terbata-bata dengan mata yang melotot lebar.
"Laras, kenapa kamu memukul saya?" tanya laki-laki itu dengan raut yang masih menunjukkan kesakitan.
Ditanyai seperti itu, Shania langsung saja membuang asal ganggang sapu yang masih ia pegang.
"T-tuan, maafkan saya. Saya gak sengaja ngelakuin itu, saya kira tadi Tuan adalah pencuri makanan." Tidak ada hal lain yang bisa Shania katakan selain kata maaf. Gadis itu sampai mengatupkan kedua tangannya dan berkali-kali menundukkan kepalanya.
"T-tuan saya mohon, maafkan saya," ucapnya berkali-kali. Sumpah demi Upin Ipin yang sampai detik ini masih TK dari jaman baheula, Shania tidak pernah menyangka kalau orang yang ia pukuli dan ia sebut sebagai pencuri adalah pemilik rumah ini sendiri yang memberikannya pekerjaan.
"Kamu ...." Ucapan nada tinggi laki-laki itu terjeda, Shania yang mendengarnya sampai menunduk dan memejamkan mata berharap ia tidak sampai dipecat karena masalah ini.
"Hahahah ...." Gelak tawa milik Jean seketika pecah di sana, membuat Shania sendiri dengan berani mengangkat kepalanya untuk menatap laki-laki itu.
Gadis itu memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, matanya membelalak melihat Jean yang tertawa begitu renyah dengan wajah yang disinari oleh cahaya minim yang hanya berasal dari lampu lemari es yang belum ditutup oleh laki-laki itu. Oleh karena itulah gadis itu dengan cepat melarikan diri dari sana sebelum berteriak ketakutan.
"Hantu?!!" Shania benar-benar berlari dari sana meninggalkan Jean yang seketika menghentikan aksi tertawanya setelah mendengar teriakan itu.
Saat itu Shania kembali menuju kamarnya sendiri. Lupakanlah tentang tenggorokan yang belum terhidrasi, karena ketakutan sudah lebih dulu menguasai diri Shania.
Belum sempat ia menutup pintu kamarnya, pintu tersebut mendadak ditahan oleh seseorang yang ia panggil hantu tadi. Ternyata aksi pelarian dirinya diikuti.
"Pergi?! Pergi?!" Gadis itu mengerahkan seluruh tenaga yang ia punya agar pintu itu berhasil ia tutup, tapi tetap saja hasilnya satu sama karena yang berada di seberang pintu juga mengusahakan agar pintu itu tetap terbuka.
"Laras. Buka pintunya. Ini saya, Jean. Saya bukan hantu," katanya.
"Gak percaya. Pergi sana, hantu?!" Gadis berpiyama pink itu terlihat sangat ketakutan. Tidak ada yang lebih ditakuti oleh Shania dibandingkan harus berhadapan langsung dengan sosok gaib misalnya seperti hantu.
"Kalau kamu gak percaya. Coba kamu lihat di bawah, kaki saya masih menapaki lantai," ujar laki-laki itu.
Mendengarnya, Shania perlahan mengendorkan tangannya dari pintu yang coba ia tutup tadi. Ia pun menuruti apa kata orang yang sekarang berhadapan langsung dengannya saat pintu itu sudah terbuka sempurna.
"Tuan Jean," kata gadis itu sembari cengengesan menatap Jean yang menjulang tinggi diatas kepalanya. "Hehe ...."