perihal mematikan lampu

1232 Kata
Jika mengingat tentang kejadian semalam, Shania akan terus mencoba menutupi wajahnya. Ia malu! Bayangkan saja, dalam waktu yang bersamaan sudah dua kali ia menuduh Jean dengan tuduhan yang bukan-bukan dan sangat tidak masuk di akal. Pertama ia menuduh laki-laki itu sebagai pencuri makanan sampai Jean berakhir menerima pukulan darinya. Yang kedua lebih parah lagi, ia meneriaki laki-laki itu dengan sebutan hantu. Sungguh, jika saja ia punya uang banyak, Shania pasti akan segera melakukan operasi plastik pada wajahnya agar rasa malunya untuk berhadapan dengan Jean bisa hilang bersamaan dengan wajah itu. Shania yakin, laki-laki itu pasti tidak akan pernah melupakan tentang kejadian tadi malam, apalagi mengingat bagaimana dia tertawa dengan begitu renyahnya ketika mendengar penuturan jujur nan polos dari Shania tentang mengapa gadis itu mendadak lari terbirit-b***t. Ia merutuki dirinya sendiri, coba saja ia tidak keluar dari kamarnya semalam kejadian itu tidak akan mungkin terjadi. Mulai sekarang Shania berjanji pada dirinya sendiri, ia tidak akan lagi keluar dari kamarnya jika sudah lewat tengah malam. Sekalipun tenggorokannya itu terasa mengering, Shania akan mencoba untuk berusaha menahan diri. Malahan, sebelum tidur ia juga mengingatkan dirinya untuk memulai kebiasaan mengecek stok air putih di atas nakas agar semua permasalahannya itu menjadi mudah. "Bik." "Iya, Tuan?" Bibi Iyem yang semulanya sibuk menyiapkan piring sarapan untuk majikannya, seketika menghentikan aktivitas itu. Ia lalu berganti menjadi menatap Jean dan menunggu kelanjutan dari ucapannya. "Mulai sekarang, saat malam hari sebaiknya lampu dapur tidak usah dimatikan, termasuk lorong-lorong yang menghubungkan untuk ke dapur," ucap Jean bernada memerintah sembari menoleh sekilas pada Shania yang sedang fokus mengurusi Andi yang juga akan sarapan bersama dengannya. Gadis itu ternyata tidak mendengar pembicaraan laki-laki itu karena atensinya sepenuhnya dikuasai oleh Andi. Kening Bibi Iyem tampak mengerut. "Lohh kenapa, Tuan? Bukankah setiap lampu yang ada di rumah ini akan dimatikan jika tidak lagi digunakan. Dan lagi, itu bukankah pemborosan jika menghidupkan lampu terus menerus?" Bukannya Bibi Iyem itu ingin memprotes kebijakan baru dari tuannya itu, tapi ia hanya merasa aneh saja. Ia sudah bekerja di sini sejak lama jauh sebelum Jean menjadi satu-satunya tuan besar di rumah ini, aturan untuk mematikan semua lampu yang dialiri oleh listrik itu sudah diketahui oleh semua orang yang bernapas di rumah ini dan merupakan aturan yang tidak tertulis. Lalu, kenapa pula Jean mendadak memutuskan sesuatu yang berlawanan dengan yang biasanya. "Gak, Bik. Pada malam hari kadang-kadang saya pergi ke dapur untuk mengambil makanan atau sekedar mengambil air putih. Setiap saya pergi ke dapur, lampu itu selalu mati dan tombol on-nya 'kan ada di dalam ruangan. Jadi, sebelum lampu itu saya hidupkan, gak menutup kemungkinan saya merasakan ada sesuatu di dapur, semacam HANTU misalanya," ucap Jean menjelaskan, dengan menekan terang-terangan kata hantu pada Bik Iyem. Ucapan Jean itu ternyata berjasa menjadi pemantik untuk Shania menatap laki-laki itu. "Oalaaa ... Kalau memang begitu, kenapa Tuan gak minta saya saja yang menyiapkan itu semua untuk, Tuan. Mulai sekarang sebaiknya Tuan panggil saya saja jika butuh sesuatu. Saya siap dua puluh empat jam untuk melayani, Tuan," ucap Bik Iyem yang sebenarnya bukan jawaban yang diinginkan oleh Jean. Dengan gelengan, Jean menjawab. "Gak usah, Bik. Untuk sekedar melakukan itu, saya bisa sendiri. Lagian saya juga gak enak bangunin Bibi di tengah malam saat Bibi sedang nyaman nyamannya bermimpi," tolak Jean dengan halus agar tidak menyinggung perasaan Bibi Iyem. "Saya di sini dibayar untuk menjadi pembantu, Tuan. Bukan Tuan yang dibayar oleh saya untuk menjadi majikan saya. Jadi, kenapa Tuan harus merasa gak enakan?" Katanya. Dengan satu tarikan napas, bibi Iyem berlanjut berkata. "Tuan, emang bagus kalau kita memiliki sifat baik hati, tapi lebih bagus lagi kalau kebaikan hati Tuan itu digunakan di waktu dan tempat yang tepat. Dengan begitu, saya yakin tidak akan ada lagi yang memanfaatkan kebaikan Tuan itu seperti yang sudah sudah," nasihat Bibi Iyem selayaknya wanita tua yang memang suka memberi ceramah kepada anak muda. Sedikit lebih besar sebenarnya nasihat itu merujuk kepada kelakuan Bella di belakang Jean. Ya, sekarang semua orang termasuk para karyawan di rumah Jean sudah mengetahui apa yang telah wanita itu perbuatan kepada majikan mereka selama beberapa hari terakhir. Sebenarnya sudah dari dulu mereka menyadari kalau Bella bukan wanita baik-baik mengingat bagaimana perangainya ketika berkunjung di rumah, Bella sangat hobi memerintah mereka menggunakan kata-k********r selayaknya majikan yang kejam padahal nyatanya dia belum menjadi siapa-siapa. Oleh karenanya lah bukan tidak mungkin mereka semua menyumpah serapahi Bella dengan kata-kata atau doa agar wanita jahat itu segera mendapatkan karma atas perbuatan bejatnya itu. Tidak hanya itu saja, banyak juga dari mereka yang memuji aksi berani Shania dalam menyelamatkan Tuan Muda mereka yang kala itu hampir saja dilahap oleh api. Aksi penyelamatannya mempertaruhkan nyawanya sendiri, hal itu sangat tidak mudah untuk di temui di tempat-tempat lain. Jadi, bukankah itu suatu nilai plus untuk Shania. "Baiklah, Bik. Tapi, Bibi juga harus dengarkan kata saya untuk jangan mematikan lampu dapur pada malam hari ya. Lorong yang berasal dari kamar bibi juga jangan," ucapnya. Meski Bibi Iyem merasa keheranan mengapa Jean menyebut lorong kamarnya yang padahal tidak akan dilalui oleh Jean apabila majikannya itu pergi ke dapur, tapi Bibi Iyem tidak mempertanyakannya lagi. Ia cuma menyunggingkan senyum sembari berkata, "Oke, Tuan." Tidak lupa ia juga mengangkat jempol kanannya. Sedangkan, dibalik interaksi kedua orang yang terpaut usia terlalu jauh itu, ada Shania yang sedari tadi mendengar pembicaraan mereka. Gadis itu hampir tidak mempercayai apa yang ia dengar. 'Dia gak lagi nyinggung gua, 'kan? Oh apa jangan-jangan dia cuma ngejek pengen ngejek gua tapi pake cara yang gak langsung?' batin gadis itu dengan hati yang menggebu-gebu, sampai Andi yang mengatakan bahwa ia sudah selesai menyantap sarapannya tidak Shania sadari. ***** Kejadian suram yang dialami oleh Andi dan Shania sudah lewat berhari-hari yang lalu, sekarang semuanya tampak berjalan seperti sedia kala. Andi kembali masuk ke sekolah setelah jatah cuti yang diambil oleh ayahnya sudah habis. Tidak hanya itu saja, anak itu juga sudah kembali melakukan rutinitas seperti biasanya. Misalanya seperti bermain dengan Shania, belajar dan juga melukis. Sudah dibilang kan kalau Andi itu punya bakat seni dalam memainkan beragam warna di atas kanvas putih. Semuanya memang sudah kembali kepada tempatnya, ya walaupun tidak sepenuhnya. Karena tidak menutup kemungkinan bagi Andi bahwa anak itu memiliki trauma atas kejadian itu, apalagi dia masih anak kecil yang biasanya sulit untuk bisa terbebas dari bayangan bayangan buruk yang pernah menimpanya. Apalagi mengingat kalau kedua pelaku ternyata belum di temukan sampai sekarang, sehingga membuat keamanan Andi semakin diperketat oleh Jean karena ia tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Sampai sekarang polisi memang sudah bertindak banyak dalam menyelidiki kasus ini, sehingga dari hari ke hari mereka terus mendapatkan perkembangan dan itu artinya jejak-jejak persembunyian Bella bersama dengan partnernya semakin jelas. Hari ini adalah hari pertama Andi bersekolah lagi, jadinya Jean dengan senang hati mengantarkan anak itu sendiri langsung ke sekolah. Ia hanya ingin memastikan keamanan Andi benar-benar terjaga. Shania sendiri juga begitu, ia sudah berjanji kepada Jean akan menjaga Andi dengan baik. "Laras," panggil Jean yang seketika itu menghentikan Shania keluar dari mobil untuk menyusul Andi yang sudah lebih dulu mendahuluinya. "I-iya, Tuan?" sahutnya. Jean terlihat terdiam, dalam otaknya sedang merangkai kata-kata yang akan ia keluarkan kepada Shania. "Bukan apa-apa, saya pergi dulu," pamit laki-laki itu yang sebenarnya ingin mengatakan sesuatu kepada Shania tapi mendadak ia urungkan. Dengan kening yang menggerenyit, Shania cuma menganggukkan kepalanya. Ia sebenarnya menyadari gelagat aneh dari Jean, tapi ia merasa tidak berani untuk mempertanyakannya langsung. Sehingga ia pun membalas hanya bisa membalas ucapan pamit dari laki-laki itu barusan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN