ceritakan yang kemarin

1625 Kata
Di detik di mana dirinya sudah bisa diijinkan untuk pulang, Shania baru bisa menarik napas dengan lega. Jujur saja, dirinya merasa teramat jenuh selama ia sendirian berada di dalam kamar pesakitamya tadi. Setelah Andi, Fika dan juga Jean telah keluar dari kamarnya untuk menuruti perkataan dokter yang merawatnya tadi, Shania jadi merasa kesepian karena sendirian di dalam ruangan itu. Jangankan untuk beristirahat, memejamkan matanya barang satu menit saja gadis itu tidak bisa karena memang dirinya sudah tidak memiliki mood lagi untuk tidur setelah apa yang ia alami. Mimpinya dan juga ingatannya tentang perlakuan ayah serta kakaknya kemarin, semuanya seperti kaset rusak yang terus berputar dengan sendirinya tanpa bisa ia hentikan, walaupun sudah mengeluarkan banyak usaha. Ngomong-ngomong, Shania tadi juga sempat memikirkan tentang Bella dan pacar gelap wanita itu. Ia ingin tahu ke mana kedua orang jahat itu kabur setelah mencoba untuk membunuh Andi dengan cara yang teramat k**i. Mendengar dari perkataan Fika, Shania jadi tahu kalau kedua orang itu sekarang tengah jadi buronan polisi. Sampai sekarang Shania tidak habis pikir atas perbuatan mereka berdua, terlebih lagi Bella. Padahal jika dilihat, wanita itu sangat beruntung sekali memiliki laki-laki yang baik hati seperti Jean sebagai pasangannya dan Jean juga selalu memperlakukan wanita itu layaknya ratu. Namun, kenapa wanita itu tetap melakukan penghianatan kepada laki-laki yang tulus mencintainya. Apakah sebuah benda yang disebut uang memang memiliki kekuatan sebesar itu sampai bisa membuat semua orang menjadi buta terhadap sesuatu yang padahal lebih berharga dari uang itu sendiri. Namun, Shania sekarang hanya bisa berharap, semoga saja kedua pelaku tersebut segera di temukan agar dapat diberi hukuman yang setimpal dengan apa yang telah mereka perbuat. Meskipun tubuhnya masih sedikit merasa lemah, tapi Shania masih bisa membawa tubuhnya untuk berjalan sendiri menuju mobil hitam yang akan membawanya kembali ke rumah Jean. Dia akan kembali dengan diantar oleh Fika, sahabatnya. Sedari tadi gadis itu terus bersikukuh kepada Jean dan juga Andi agar Shania yang mereka sebut sebagai Laras bisa pulang dengannya. Awalnya Andi tidak menyetujui karena ia juga ingin terus-terusan bersama dengan Shania, tapi apa boleh buat jika Shania sendiri sudah memilih Fika. Beruntung sekali karena Andi tidak marah dengan keputusan Shania yang lebih memilih Fika dibanding dirinya. Andi merasa dirinya akan sangat kekanak-kanakan kalau sampai merajuk hanya karena itu. Walaupun mereka tidak satu mobil, tetapi mereka masih bisa pulang serentak dengan mobil Jean yang memimpin di depan dan Fika mengikuti. Sepanjang perjalanan, tidak ada perbincangan yang menemani mereka, hanya ada suara musik yang mengalun lembut yang sengaja dinyalakan oleh Fika agar bisa memecahkan suasana tenang yang tidak disukainya. Namun, tetap saja Fika merasa belum puas dengan semua itu. Ia butuh Shania yang bisa ia ajak bicara. Kemudian ia pun menoleh kepada Shania yang duduk tenang di sampingnya, ia pikir gadis itu tertidur makanya tidak bersuara tapi nyatanya tidak. "Shan, Lo kenapa? Kok adem aja dari tadi?" tanya gadis itu sembari menoleh sekilas kepada sahabatnya itu untuk memfokuskan kembali kemudi mobil yang tengah ia pegang. Fika tidak mendengar adanya respons dari gadis itu, yang ada hanyalah suara helaan napas saja yang sontak membuat Fika mengerutkan keningnya. "Lo masih sakit ya, Shan. Mau gua anterin balik ke rumah sakit lagi?" tawar Fika dengan raut di wajah yang sangat khawatir. Tapi, ternyata Shania menggelengkan kepalanya untuk menjawab tawaran yang Fika ajukan padanya. Fika diam sejenak untuk berpikir, meskipun otaknya itu sedikit agak lamban tapi gadis itu selalu berakhir dengan mendapatkan jawaban, tidak penting lamanya waktu yang ia butuhkan. Seperti saat inilah contohnya. "Oya, Lo belum cerita sama gua gimana hasil pertemuan Lo kemarin dengan keluarga Lo? Mereka pasti senang karena akhirnya Lo kembali, bukan begitu?" tebak Fika. Lagi-lagi cuma helaan napas yang Shania keluarkan sebagai bentuk respons. Seketika, Fika pun mengerti pasti kemarin Shania mengalami kejadian yang tidak mengenakkan saat bertamu dengan keluarganya. "Shania. Kalau Lo memang lagi ada masalah, sebaiknya Lo cerita sama gua. Gak baik mendam masalah sendirian. Udah gitu gua jadi ngerasa gak guna jadi sahabat Lo karena gak bisa ngerasain apa yang Lo rasain," ucap Fika berharap kali ini bukan helaan napas yang jadi jawabnya. Shania diam sejenak, tampak berpikir setelah mendengar perkataan Fika barusan. Dengan tarikan napas dalam, ia pun lanjut berkata. "Papa sama Kakak gua sekarang benar-benar gak nganggep gua lagi, mereka udah sangat kecewa dan gak mengharapkan kehadiran gua lagi. Gua udah di usir dari rumah gua sendiri," ucap Shania yang seketika menumpahkan semua yang ia tampung dalam hatinya. Seketika penuturan Shania itu menyebabkan Fika mengerem mendadak mobilnya, membuat Shania sendiri terkejut. Untung saja mobil itu tidak melaju dengan kecepatan tinggi, sehingga keduanya jadi tidak terlalu tersentak ke depan yang pastinya tidak mengenakkan kalau sampai itu terjadi. "SERIOUSLY?!" Fika berekspresi keheranan dan seperti tidak percaya dengan jawaban dari sahabatnya itu. "Lo gak lagi becandain gua, 'kan?" Seketika itu Shania langsung menyentil dahi Fika yang menyosor ke arahnya. "Lo kira kalau gua becandain hal kayak gini bakalan lucu gitu?" ucap Shania sedikit sarkas. Sambil mengelus keningnya yang menerima sentilan dari Shania barusan, dengan ekspresi bersalah Fika berkata,"Ya maaf ... Setahu gua 'kan keluarga Lo itu sayang banget sama Lo. Jadi, hampir gak mungkin gua rasa kalau mereka sampe segitunya sama Lo," ujar Fika, mengutarakan isi otaknya. Tidak salah jika Fika berpikir begitu karena ia sendiri sudah mengenal keluarga Shania sejak ia masih kecil. Ia tahu bagaimana setiap anggota keluarga dalam memperlakukan Shania, mereka mencurahkan kasih sayang yang tiada tara untuk sahabatnya itu. Apalagi ayahnya Shania yang memiliki sifat over protektif. "Itu dulu, sekarang udah gak," pertegas Shania yang napasnya sudah kembang kempis. Ia bukan sedang kesal pada Fika melainkan kepada kenyataan kalau dirinya sudah tidak dianggap lagi oleh kedua orang yang ia sayangi. Jujur saja, Shania lebih rela jika memang harus menerima perjodohan itu, ketimbang harus menerima namanya dicoret dari KK keluarganya. Fika yang melihat kekesalan Shania itu semakin merasa bersalah. Dia menatap wajah Shania dengan mulut yang mengatup, seakan sedang berusaha menahan sesuatu. Semakin ia melihat lamat wajah sahabatnya itu, semakin hatinya bergejolak. Sedang Shania sendiri tidak membalas tatapan dari Fika, melainkan ia cuma menatap kosong ke arah depan di mana banyak sekali kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. "Huwaaaahhh ...." Seketika suara tangis itu pecah di antara dua gadis yang sedang bersitegang. Bukan. Itu bukan suara tangis milik shania, melainkan dari gadis yang sekarang sudah memeluk tubuh Shania dengan sangat erat seolah dunia akan hilang apabila ia melepaskan pelukan itu. "Shania. Gua gak tahu gimana rasanya jadi Lo, tapi gua tahu kalau sekarang Lo pasti sangat sedih. Tapi, sekarang gua minta Lo jangan pernah ngerasa sedih lagi atau pun berpikir kalau Lo sendiri, karena gua gak akan pernah ninggalin Lo. Gua akan selalu bersama Lo hingga akhir hayat gua," ucap Fika yang mendramatiskan suasana, tangisannya pun masih memekakkan telinga Shania. Sedangkan Shania yang sedari tadi menahan diri untuk tidak menangis, berakhir menangis juga karena Fika yang mengundangnya untuk itu. Padahal gadis itu sudah menguatkan dirinya agar tidak terlihat lemah, tapi semua itu akan nihil ia lakukan jika bersama Fika. Bisa dikatakan Fika itu adalah satu-satunya tempat curahan hati Shania ketika gadis itu ingin menunjukkan wajah aslinya. Selang beberapa menit kemudian, Shania merasakan kalau baju bagian depan yang dipeluk oleh Fika terasa basah. "Fik. Ingus Lo?!" Pekik Shania yang menjadi ending dari cerita menangis mereka. Setelah cairan yang berasal dari hidung Fika itu sudah gadis itu bersihkan dengan benar dan permintaan maaf darinya juga sudah Shania terima, kemudian suasana di dalam mobil itu kembali menjadi normal. Akibat dari suasana yang tenang itu membuat otak Shania melakukan flashback secara spontan tanpa disadari, dan pada saat itu Shania mendadak teringat akan kejadian beberapa jam yang lalu, suatu kejadian yang membuatnya merasa heran sekaligus penasaran. "Fik, selain Lo, Tuan Jean sama Tuan Muda Andi, apa ada orang lain lagi yang jenguk gua waktu gua belum siuman?" tanyanya sembari menoleh pada Fika yang kini sudah menyetir kembali mobilnya. "Orang lain? Ada dan banyak," kata Fika. "Siapa aja?" tanya Shania lagi dengan alis terangkat satu. "Mereka para suster, dokter, perawat sama polisi yang nganterin Lo ke rumah sakit. Ohh ... Iya satu lagi, petugas kebersihan juga sempat mampir sebentar ke kamar bangsal Lo buat bersih-bersih di sana," jawabnya dengan begitu waras. Dapat dipastikan jawaban dari gadis di sampingnya itu membuat darah Shania terasa mendidih seketika. Ia kemudian memberi tatapan horor pada Fika. "Kenapa? Gua salah ya?" tanyanya seperti tidak pernah merasa melakukan kesalahan sedikitpun. Menarik napasnya dalam, kemudian Shania berlanjut berkata setelah hatinya merasa tenang. "Maksud gua bukan orang semacam mereka, Fika. Kalau mereka itu bukan termasuk penjenguk lagi namanya. Yang gua maksud itu adalah apa ada orang yang datang ke bangsal gua sebagai tamu?" tanya Shania setelah menjelaskan apa yang kiranya belum dimengerti oleh Fika. "Emang ciri-ciri penjenguk itu seperti apa sih?" tanya Fika. "Udah, intinya apa ada orang lain yang masuk ke kamar gua yang ingin ngeliat gimana keadaan gua?" tanyanya dengan tidak sabaran. Seketika itu Fika terlihat mengedikkan bahunya. "Entahlah, dibandingkan terus jagain Lo di depan pintu kamar Lo, gua kebanyakan lebih sering bolak balik ke toilet karena sakit perut akibat efek samping dari rasa nervous dan takut Lo kenapa-napa. Jadi, artinya gua juga gak tahu jawaban yang benar untuk pertanyaan Lo itu kayak apa," ujar Fika sejujurnya. "Ohhh ...." Shania kini terlihat menghembuskan napas lantaran merasa gusar. Mungkin tadi itu cuma perasaannya saja, karena sebenarnya mungkin tidak ada orang lain lagi yang menjenguknya selain ketiga orang terdekatnya sekarang ini. "Kenapa Lo mendadak nanya gitu?" tanya Fika yang merasa keheranan, tampak dari keningnya yang mengerut. "Gak ada alasan khusus kok, cuma lagi pengen nyari topik pembicaraan sana Lo aja," jawab Shania sembari mengedikkan bahunya. Mulut Fika kini terlihat membentuk huruf O. Setengah percaya dan setengah lagi tidak karena baginya Shania itu tidak pernah mengatakan hal omong kosong seperti yang sering kali ia lakukan. Fika yakin pasti sesuatu telah terjadi kepada sahabatnya itu. Namun, sayangnya Fika tidak bisa memaksa Shania untuk mengatakan kejujuran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN