Sesuatu yang Sangat Mengejutkan

1033 Kata
Kini di meja makan sudah terlihat tiga orang manusia yang di antara mereka bertiga terpaut umur yang cukup jauh, Jean, Fika, dan juga Andi. Ketiganya kelihatan sudah siap untuk menyantap sarapan mereka. Di piring itu juga sudah tersedia makanan yang disebut nasi goreng dengan masing-masing piring mendapatkan satu telur ceplok yang terlihat tidak sempurna. Nasi goreng itu juga memiliki warna yang begitu pucat. Terlihat sekali kalau orang yang memasak makanan itu past tidak memiliki pengalaman sebelumnya. Meskipun begitu, anehnya aroma yang menyeruak dari makanan itu terasa menggoda selera mereka. Fika sudah berkali-kali mengendus baunya karena hampir tidak percayanya tadi, walaupun sebenarnya ia merasa sedikit takut untuk menyendokkan nasi goreng tersebut ke dalam mulutnya. Saat melihat Jean memiliki ancang ancang untuk memakan makanan itu, Fika segera membuatnya berhenti bergerak dengan mengatakan, "Kakak gak takut? Dari luarnya aja gak meyakinkan banget, malah telurnya bukan kayak mata sapi tapi lebih kayak sarang semut," ujar gadis itu dengan kening yang sengaja ia kernyitkan. Untung saja, orang yang memasak makanan itu tidak sedang berada di sana. Namun, hal lain langsung saja mengalihkan atensi mereka berdua secara bersamaan. Andi, anak itu dengan begitu santainya memasukkan sesendok nasi goreng itu ke dalam mulutnya. Anak itu sengaja bersikap abai dengan ekspresi yang bibinya dan ayahnya tunjukkan ketika makanan itu telah masuk ke dalam mulutnya. Ketika di kunyahaan pertamanya, mata Andi seketika melotot dengan sempurna, mulutnya juga terlihat berhenti melakukan kunyahan. Sontak Fika yang memerhatikan itu langsung memberikan ekspresi sejelek-jeleknya, seolah makanan itu juga telah masuk ke dalam mulutnya. "Gak enak ya, cepat buang. Nanti itu malah jadi racun," perintah Fika dengan segera kepada Andi. Namun, apa yang Andi lakukan malah membuat kedua orang yang berada dalam satu meja itu menjadi menatap tidak percaya. Andi, lagi dan lagi memasukan makanan itu ke dalam mulutnya. "Andi, jangan dipaksain kalau memang gak enak," ucap Jean. Andi langsung menggelengkan kepalanya. "Gak, Pa. Percaya sama Andi, nasi goreng ini memang enak," ujar Andi dengan nada yang begitu meyakinkan. "Benarkah?" tanya Jean dan menerima anggukan dari Andi. "Masa sih, kamu gak bohong 'kan? Bika kok ragu buat percaya." Di saat Fika masih meragukan hal itu, Jean sendiri juga sudah menyendokkan nasi goreng dengan toping seadanya itu ke dalam mulutnya. Sejenak, ia berhenti mengunyah untuk sekedar menetralkan rasa itu di dalam lidahnya. Tentu saja rasa nikmat langsung menyerang lidah laki-laki itu. Seperti anaknya, Jean juga sempat melebarkan pandangan matanya. "Ini enak," ujar laki-laki itu dengan anggukan kepala yang pelan, setelahnya ia kembali menyendokkan lagi nasi goreng tersebut. Fika semakin menggerenyitkan kepalanya, "Kalian gak bohong, 'kan?" tanya Fika yang masih saja kurang yakin walaupun Jean dan Andi telah mengklaim bahwa makanan itu enak, tapi tampilan dari nasi goreng yang pucat itu masih saja membuat Fika berpikiran kalau rasanya pasti sama saja dengan tampilannya, gak enak! Melihat Jean dan Andi tidak menyahuti pertanyaannya dan malah melanjutkan kegiatan makan mereka, membuat kepercayaan Fika itu menjadi goyah. Perlahan namun pasti, tangan kanannya itu turut mengapit sendok yang ada di atas piring nasi goreng miliknya sendiri. Meskipun ia masih belum yakin untuk benar-benar memasukkan sesendok nasi goreng tersebut ke dalam mulutnya, tapi Fika terus mengatakan pada dirinya sendiri untuk bisa percaya atas pilihan yang akan ia ambil itu. Plup ... Sesendok nasi goreng itu sudah terdarat sempurna di dalam mulut Fika. Sedetik, dua detik, ia belum bereaksi sebagaimana mestinya, sendok itu pun bahkan masih menggantung di dalam mulutnya. Di detik ketiga barulah Fika menunjukkan tanda-tanda kalau dirinya masih hidup. "Wow ... Wow ... Gua gak lagi mimpi, 'kan? Ini, nasi goreng ini benar-benar ... Luar biasa. Ini enak?!" Seru Fika selebay-lebaynya, bahkan ia sampai menepuk berkali-kali dataran meja. Meskipun begitu, Jean tidak memprotesnya malahan ia sedikit terkekeh geli. "Makanya, Bik. Jangan menilai sesuatu itu dari sampulnya aja," cibir Andi dengan wajah datarnya sembari kemudian melanjutkan kegiatan makannya. Fika sengaja mengabaikan ucapan keponakannya itu, seolah dirinya tuli. Fika lebih mementingkan menyantap segera nasi goreng yang tersisa di atas piringnya. Bahkan telur ceplok yang dikatainya seperti sarang semut tadi, tidak luput disantap habis oleh mulut gadis itu. 'Sumpah, gua gak nyangka ternyata Shania itu jago banget masak, Shania benar-benar udah berubah jadi Laras,' ucapnya dalam hati dengan begitu menggebu-gebu. Memang Fika tidak salah, yang memasak makanan itu memang adalah Shania, seorang gadis manja yang sebenarnya tidak pernah sekalipun menyentuh dapur. Akibat mengalami sakit semalam, Bibi Iyem dipaksa oleh semua orang agar beristirahat di kamarnya. Meskipun sebenarnya Bi Iyem menolak karena ia khawatir tanpa dirinya pasti tidak ada yang akan memasak sarapan untuk majikannya. Di rumah ini memang memiliki banyak pelayan dan pelayan di dapur juga bertaburan. Akan tetapi, hanya Bibi Iyem saja yang tahu tentang selera makanan majikannya itu. Pelayan-pelayan itu biasanya hanya memasak sesuai instruksi yang di berikan wanita tua yang menjabat sebagai kepala pelayan di bagian dapur itu. Jadi, Bibi Iyem sangat menghawatirkan tentang masalah ini. Ia tidak ingin Jean dan Andi malah jadi terpaksa memakan makanan yang tidak sesuai dengan selera lidah mereka. Namun, untuk membuat Bibi Iyem mau mendengarkan perkataan mereka, Shania langsung mengajukan dirinya untuk mengemban tugas itu. Sebisa mungkin ia membuat wanita tua itu agar mau mempercayakan tugas itu padanya. Meskipun awalnya sempat menolak, tapi pada akhirnya Bibi Iyem jadi mau menerima permintaan Shania itu. Shania cukup senang atas keputusan akhir dari Bibi Iyem--walaupun sebenarnya Shania sendiri tidak memiliki keahlian dalam dunia masak memasak, ia terpaksa menutupi fakta tersebut dari Bibi Iyem karena takut wanita yang rambutnya beruban itu akan berubah pikiran. Fika awalnya sempat memperingati Shania agar tidak memaksakan dirinya untuk melakukan itu, karena ia kenal betul bagaimana Shania. Ia mengetahui kalau Shania itu di rumah adalah gadis yang cukup manja, jadi mustahil bagi gadis itu bisa masak ataupun mengenal dapur. Walaupun Fika tahu kalau sifat manja Shania itu sudah perlahan menghilang, tapi tetap saja masih ada kekhawatiran di hatinya. Namun, setelah mencobai langsung masakan Shania yang meskipun sederhana, tapi itu sangatlah cukup untuk membuat Fika merasa semakin bangga menjadi sahabat Shania. Fika sekarang menyadari kalau ia tidak salah karena lebih memilih menunda kembali ke rumahnya hanya untuk sekedar menuntaskan rasa penasarannya terhadap makanan yang akan Shania sajikan nanti. Malah ia sekarang telah mendapatkan lebih dari apa yang ia ekspetasi kan. "Gua mau nambah?!" Seru Fika, setelah butiran-butiran nasi goreng di atas piring makannya sudah tidak tersisa lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN