Bab 5

2030 Kata
Jalanan ibu kota selalu saja macet, apalagi di jam-jam krusial pada pagi, siang, dan sore hari. Kendaraan terlihat bagaikan semut yang berjalan beriringan menuju sarang, padat merayap. Puluhan pengamen yang terdiri dari anak kecil maupun orang dewasa yang berdiri di traffic light merupakan pemandangan yang sudah sangat biasa bagi warga ibu kota. Mereka akan serempak mendatangi para pengendara saat lampu merah menyala dan bernyanyi menghibur mereka. Tak peduli jika pengendara yang mereka hibur sedang tak ingin mendengarkan suara mereka yang tak ada merdu-merdunya, mereka terus saja menyanyikan lagu yang belum tentu pernah mereka lihat videonya. Seorang pengamen mendekati mobil Andre. Dia anak laki-laki berusia kira-kira tujuh tahun, membawa kecrekan yang terbuat dari tutup botol. Kulitnya hitam karena terbakar matahari, wajahnya penuh keringat Cinta berniat menurunkan kaca mobil untuk mendengarkan lagu yang dinyanyikan oleh anak itu, sebelum sebuah suara dingin menyentak telinganya. "Jangan dibuka! Gue nggak mau dengar suara cemprengnya." Tangan Cinta yang berada di tombol power window, mengejang. Dia menarik napas panjang, menjauhkan tangannya dari sana, dan menundukkan kepalanya. Andre sangat berbeda dari Andra. Jika sekarang Andra yang sedang bersamanya, pastilah pemuda itu tak segan untuk membuka kaca jendela mobilnya. Bahkan tak jarang Andra ikut bersenandung mengikuti anak-anak pengamen yang mengerubungi mobilnya. "Nih!" Cinta melirik ke sebelah kanannya, mengerutkan keningnya melihat dua lembar uang kertas berwarna biru yang disodorkan Andre padanya. "Kasih sama anak itu!" Tak ada intonasi, tetap datar tanpa nada kasihan atau apa pun dalam suara itu. Sejenak Cinta ragu, tapi kemudian segera dia mengambilnya dengan tangan gemetar karena lampu sudah berwarna hijau. Dengan cepat cinta menekan tombol power window, memberikan uang pada anak yang masih menyanyi meskipun beberapa mobil membunyikan klakson memintanya menyingkir. Senyum gembira dari wajah mungil yang dekil itu merupakan salah satu yang menjadi obat lelah bagi Cinta setelah nyaris seharian bekerja di toko bunga. Dia sangat menyukai anak kecil. Mereka mengingatkannya pada dirinya sewaktu masih seusia itu. Dia juga tidak memiliki orang tua. Hanya saja dirinya lebih beruntung dari anak-anak jalanan itu karena tinggal di panti asuhan yang dikelola oleh seorang yang bertanggung jawab. Dia dan anak-anak lainnya disekolahkan sampai lulus SMA. "Makasih banyak, Kakak Cantik!" Seruan itu terdengar samar di telinga Cinta. Andre langsung melajukan mobilnya begitu dia memberikan uang kepada bocah pengamen itu. Beruntung Andre tidak melarangnya kembali membuka kaca jendela mobil yang sudah ditutup. Cinta melongokkan kepala ke luar jendela, melambai pada bocah itu yang balas melambai padanya dengan penuh semangat. Senyum Cinta mengembang sempurna melihat kebahagiaan di wajah-wajah kecil mereka. "Alamat lu di mana?" Baru saja bahagia memenuhi d**a Cinta, bahagia yang membuatnya lupa siapa yang sedang bersamanya saat ini, dia harus kembali pada kenyataan setelah mendengar suara dingin itu. Cinta menarik napas panjang, menyebutkan alamat tempat tinggalnya dengan suara mencicit. Untung saja sepertinya Andre memiliki indra pendengaran yang tajam sehingga satu jam kemudian mereka tuba di depan rumah mungilnya. Rumah mungil milik Andra sebenarnya, tapi ditempati olehnya. Kekasihnya itu membelinya untuk mereka tinggali setelah mereka menikah nanti. Sungguh sebuah rencana yang indah. Dia sangat mematikannya. Satu jam penuh tekanan akhirnya berakhir. Cepat Cinta keluar dari mobil, tanpa menunggu Andre membukakan pintu mobil untuknya. Lagipula, ini Andre, bukan Andra. Tak mungkin pemuda dingin itu melakukannya. Bahkan sepertinya Andre terpaksa berada di sini bersamanya. Mungkin karena Andra yang memaksanya, jika tidak dia yakin pemuda itu tidak akan mau berada di rumahnya. "Kata Andra, gue harus nginap di sini. Kamar gue di mana?" Cinta merasa kesulitan menghirup udara mendengar pertanyaan itu. Seluruh udara di ruangan ini seolah disedot oleh Andre, tak menyisakan sedikitpun untuknya. Cinta mengembuskan napas perlahan melewati rongga hidung, duduk di single sofa di ruang tamunya. Sepasang kakinya tiba-tiba terasa lemas seperti jelly. Andre akan menginap di sini? Apakah selama Andra tidak ada? Astaga, apa yang akan terjadi dengannya? Bagaimana dia bisa bertahan hidup bersama laki-laki yang dinginnya melebihi kutub Utara? "Bisa lu tunjukin?" Cinta mendongak, menatap Andre yang berdiri di dekat sofa panjang di seberangnya. Namun, hanya sedetik dia kembali menundukkan kepalanya, menghindari Andre yang ternyata juga tengah menatapnya. Jujur, dia tidak berani beradu tatapan. Meskipun sama warna dan bentuknya dengan mata Andra, tapi tatapan Andre lebih tajam dan lebih menakutkan. Seolah saja pemuda itu bisa membunuh hanya dengan menatapnya. Sebab tak ingin dianggap sebagai tuan rumah yang tidak sopan, lebih tepatnya tak ingin Andre mengulangi pertanyaannya karena suaranya yang dingin tanpa sadar membuatnya menggigil, Cinta berdiri, dengan susah payah dia mencoba menarik kakinya yang terasa sangat berat, kakinya seakan terpaku di lantai. Dia menarik napas panjang, menahannya di paru-paru, lantas melangkah ke dalam untuk menunjukkan di mana kamar Andre. Di rumah ini ada tiga buah kamar tidur, satu kamar utama, dua buah kamar tamu. Satu di antara dua kamar tamu itu sering digunakan Andra jika pemuda itu menginap di sini. Letaknya di bagian kiri rumah dengan jendela kamar mengarah langsung ke halaman samping. Cinta menanam dua jenis bunga di taman itu agar tidak terlihat gersang. Selain bekerja di toko bunga, Cinta juga sangat suka berkebun. Dia sangat menyukai bunga. Cinta membawa Andre ke kamar tidur yang tidak pernah digunakan. Tidak ada yang menempati kamar itu bukan berarti kamarnya berantakan. Dia selalu membersihkannya, juga kamar Andra. Kamar tamu yang kosong itu tepat berseberangan dengan kamarnya. "Ka ... kamu bisa tidur di sini!" Cinta membuka pintu kamar yang tudak pernah terkunci. Dia tidak pernah menguncinya. Kunci setiap kamar diletakkan di belakang pintu, dimasukkan ke dalam lubang kunci agar tidak hilang. Masalahnya dia gampang lupa di mana meletakkan benda-benda yang tidak terlalu besar. Supaya tidak kelimpungan mencari, dia meletakkannya saja di tempat yang mudah terlihat. "Atau mau di kamar itu?" tanyanya menawarkan dengan jari telunjuk mengarah pada kamar yang berada di bagian kiri rumah. "Andra ... tidur di kamar itu kalo nginap." Cinta menempati kamar tidur utama, Andra yang menyuruhnya. Padahal dia tidak menginginkannya, kamar itu terlalu besar untuknya. Begitu juga dengan tempat tidurnya yang berukuran king size. Tempat tidur yang terlalu besar, muat ditiduri tiga orang, dan dia hanya tidur sendiri. Sangat mubazir. Cinta mengerjap beberapa kali melihat Andre memasuki kamar tidur yang tak pernah digunakan, tanpa suara. Pemuda itu langsung menutup pintunya, sementara dia masih berdiri di depan pintu dalam jarak kurang dari satu kaki. Astaga! Cinta mengusap dadanya, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, tapi dia mengembuskan napas lega. Senyumnya terbit tipis, dia akan membiarkan Andre beristirahat, dan memasak makan malam untuk mereka. Semoga saja dia bisa melupakan keberadaannya sejenak dan berkonsentrasi pada masakannya nanti. *** Kamar tidur ini tidak buruk. Meskipun tudak sebesar kamarnya di rumah, cukup untuknya beristirahat. Andre menjatuhkan tubuh ke atas tempat tidur berukuran sedang, melipat kedua tangan, meletakkannya di bawah kepala sebagai bantalan. Obsidiannya menatap lurus ke atas, pada langit-langit kamar yang berwarna putih tulang. Atau itu warna yang lain, ia tidak terlalu mengenal warna. Tak ada hiasan apa-apa di atas sana, entah Andra yang tidak mau, atau adik kembarnya itu hanya menuruti keinginan kekasihnya yang tampak labil. Cinta, perempuan itu sepertinya takut padanya. Sangat menggelikan, seolah ia adalah monster yang menyeramkan saja. Entah apa yang dilihat saudara kembarnya pada perempuan itu. Dia sama sekali tidak ada kelebihan. Memang cantik, tapi terlalu lembek. Yang paling penting, dia takut padanya. Andre berdecak. Ini adalah pertama kalinya ada seorang perempuan yang tidak mau bertatapan dengannya. Cinta selalu memalingkan muka, atau menundukkan kepala bila mata mereka bertemu, tanpa sengaja. Sangat merepotkan baginya yang tidak pernah berurusan dengan perempuan. Maksudnya, dalam hal lebih dekat. Selama ini, ia hanya menganggap mereka sebagai ladang uangnya saja. Wanita-wanita kata kesepian yang haus belaian itu rela mengeluarkan kocek berapa pun untuknya asal ia mau menghangatkan ranjang mereka. Meskipun hanya untuk satu malam saja. Obsidian Andre perlahan terpejam. Ia masih lelah dan mengantuk, tapi Andra memaksanya untuk menjemput kekasihnya saat itu juga. Sialan! Seolah saja Andra tidak merasa lelah setelah satu minggu bertempur dengan wanita yang menyewa keperkasaannya. Tubuhnya menang tak lagi terasa remuk redam, tapi ia tetap harus berisitirahat. Ia harus memulihkan tenaganya yang terkuras. Dua minggu sudah sangat cukup untuk mengisi tenaganya kembali, ia siap untuk bekerja lagi. Andre terlelap tanpa sadar. Bangun karena mendengar suara ketukan halus di pintu kamar. Perlahan matanya terbuka, mengerjap beberapa kali sebelum terbuka sempurna. Andre menguap, terpaksa bangun karena ketukan yang tak berhenti. Andre masih ingat di mana ia berada saat ini, tak seperti orang lain yang sering lupa di mana berada setelah bangun tidur. Dengan malas ia menyeret kakinya, membawanya ke depan pintu. "Maaf udah ganggu tidur kamu." Cinta berdiri di depan pintu, meringis karena merasa tidak enak sudah membangunkan. "Aku cuman mau bilang kalo makan malam udah siap," katanya tanpa menatap. Dia menundukkan kepala, lantai keramik yang dipijaknya terlihat jauh lebih baik daripada wajah tampan Andre yang datar. Andre tak bersuara apa-apa, terlalu malas menanggapi sesuatu yang tak penting baginya. Ia hanya menggumam, menyuarakan dua huruf konsonan favoritnya, setelah itu kembali menutup pintu, tak peduli Cinta masih berada di depan pintu kamarnya. Ia melangkah ke arah kamar mandi untuk mencuci muka. Hanya mencuci muka, ia sudah mandi sebelum menjemput Cinta tadi sore. Kamar mandi yang nyaman. Itu kesan pertama yang didapat Andre saat memasuki kamar mandi berukuran tiga meter. Tidak ada buthub, hanya ada kran shower, dan wastafel. Sebuah cermin berukuran cukup besar terpasang di atas dindingnya. Cermin itu dapat menangkap tubuh bagian atasnya dengan sempurna. Sebuah rak kecil melekat di dinding, tepat di dekat cermin. Andre meraih handuk kecil yang berada di rak, mengeringkan wajahnya yang basah dengan handuk itu. Sebelah alis Andre terangkat menemukan Cinta masih berdiri di depan pintu kamarnya kala ia membukanya lagi. Apa yang dilakukan perempuan ini? Apakah sejak tadi dia tak beranjak, tetap di sini selana ia di kamar mandi? Astaga! Andre berdecak. Entah Cinta polos atau bodoh, tapi sungguh ini sangat menyebalkan. "Lu tetap di sini aja selama gue di kamar mandi?" tanya Andre tanpa menyembunyikan rasa penasaran dalam nada suaranya. Sekali lagi ia berdecak, kali ini tanpa suara. Kesal karena perempuan di depannya ini sudah membuatnya jadi seperti bukan dirinya. Dia jadi seseorang yang banyak bicara karena tingkahnya yang tidak bisa dikatakan polos, tapi juga tidak bodoh. Cinta mengangkat kepala sedetik, cepat kembali menundukkannya setelah matanya bertemu dengan obsidian yang menatapnya tajam. Cinta mengangguk mengiakan karena dia memang di sini, menunggu Andre untuk makan malam bersama. Mereka tidak memiliki ruang makan khusus. Meja makan diletakkan di dapur untuk mempermudah meletakkan masakan yang sudah matang. Sebab itu dapur berukuran lebih besar dari ruang keluarga karena meja makan diletakkan di sana juga. "Ngapain?" Cinta mengangkat kepala mendengar pertanyaan itu Menatap Andre yang juga balas menatapnya. Entah mendapat kekuatan dari mana sehingga dua berani melakukannya. "Ngapain?" Dia mengulang pertanyaan Andre. Tak ada jawaban. Bahkan Andre tak merespons, ia hanya menatap perempuan di depannya yang terlihat kebingungan. Astaga! Andra benar-benar. Seleranya sangat payah dalam memilih kekasih. Entah kelebihan apa yang dilihatnya dari perempuan di depannya ini sehingga adik kembarnya bertekuk lutut di bawah kakinya. Tanpa menjawab pertanyaan Cinta yang tidak berguna –baginya, Andre melangkah meninggalkan kamarnya menuju dapur mendahului Cinta. Ia memang tidak mengetahui di mana letak dapurnya, ia hanya menggunakan insting saja. Cinta tergagap. Andre sudah tak lagi berada di depannya. Padahal dia hanya sebentar menundukkan kepala, tapi pemuda itu sudah pergi saja. Apakah Andre tahu di mana letak dapur? Menyadari itu, bergegas Cinta menyusulnya, setengah berlari menuju dapur. Dia mengembuskan napas lega melihat Andre duduk di meja makan, menunggunya. "Maaf!" serunya lirih saat sudah berada di depan pemuda yang menatapnya dengan tatapan itu-itu juga, datar. "Maaf karena udah ngebjarin kamu ke dapur sendirian." Andre berdecak. Astaga! Apa yang ada dipikiran perempuan ini? Apakah Cinta menganggapnya anak kecil yang ke mana-mana harus ditemani? Sangat menyebalkan. "Gue bukan bocah!" sahut Andrew dingin. "Jadi, lu nggak perlu cemasin gue sampai sejauh itu. Gue bisa pergi ke dapur sendirian." "Aku tau!" Cinta mengangguk cepat "Tapi, maksud aku nggak kayak gitu. Aku cuma ...." Jeda. Cinta tidak meneruskan perkataannya. Padahal hanya memberi tahu jika dia takut Andre tersesat, tapi kata-kata itu tidak mau keluar dari mulutnya. Dia takut Andre tersinggung, atau lebih buruk lagi dia marah. Kesan pertama haruslah meninggalkan sesuatu yang baik agar tudak ada halangan dengan hubungannya dan Andra. Andre adalah kakak kembar Andra, yang artinya juga akan menjadi kakak iparnya jika mereka menikah nanti. Dia juga harus menghormatinya. Cinta menarik napas dalam. Dia sangat merindukan Andra. Seandainya saja Andre adalah Andra, tentu akan sangat menyenangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN