Jika saja Andra meminta hal lain, tentu akan dengan senang hati Andre melakukannya. Namun. menjaga Cinta, kekasih adik kembarnya itu? Dengan senang hati juga ia menolaknya. Ia tidak pernah suka berurusan dengan makhluk yang bernama perempuan kecuali berbisnis. Mereka –para perempuan– sangat berisik, membuatnya pusing saja. "Gue nggak bisa!"
Kalimat itu tak terbantahkan, tapi Andra masih mencoba untuk kembali bernegosiasi. "Nggak lama, kok, Bang. Lagian, 'kan, lu nggak punya kerjaan, apa lu nggak bosan diam di rumah aja?" Pertanyaan yang sangat tidak penting karena ia sudah tahu jika kakak kembarnya betah berapa lama pun berada di dalam rumah sendirian. Tak akan pernah bosan karena Andre memang tidak menyukai keramaian. Dia lebih suka sepi dibandingkan berisik.
"Lu nggak tuli, 'kan, Ndra?"
Andra meneguk ludah kasar mendengar pertanyaan itu. Nasi goreng yang awalnya terasa sangat enak menjadi tawar, membuatnya tak lagi berselera. Nafsu makannya menguap mendengar pertanyaan Andre yang dingin.
"Sekali Gie bilang nggak bisa, tetap nggak bisa!"
"Tapi, Bang...."
Andre meletakkan garpu ke atas piring yang sudah kosong dengan sedikit lebih keras. Cukup untuk membungkam Andra dan membuatnya tak lagi berani membantah atau mengeluarkan kata-kata sanggahan.
"Cewek lu udah dewasa, nggak perlu baby sitter lagi buat ngasuh dia!" kata Andre tajam setelah menelan air yang memenuhi mulutnya. "Berapa usia Cinta sampe lu minta gue buat jagain dia?"
Lagi, pertanyaan Andre membuat Andra meneguk ludah, kali ini dengan susah payah karena tatapan tajam dari mata sewarna matanya. Ia tidak dapat berkata apa-apa selain menjawab pertanyaan saudara kembarnya. "Sembilan belas tahun," jawabnya mencicit.
Andre berdecak, melemparkan tisu yang baru saja digunakan membersihkan sudut bibirnya, ke tengah meja dengan kasar. "Setua itu masih dijaga?" tanyanya dengan nada suara naik beberapa oktaf.
Andra menundukkan kepala, nyalinya menciut, bahkan mengunyah nasi goreng dengan mata yang tertuju ke bawah. Pangkuannya terlihat lebih menarik daripada mata Andre yang bersinar setajam pedang. Sinar mata itu seolah siap untuk menusuknya kapan saja. Beruntung mereka hidup di dunia nyata. Coba saja seandainya mereka hidup di dunia seperti di film-film, di mana ada yang bisa mengeluarkan laser dari matanya, dan orang yang memiliki kekuatan itu adalah saudara kembarnya, ia yakin tubuhnya sudah menjadi potongan-potongan kecil. Diam-diam Andra mengembuskan napas lega tanpa sadar. Namun, hanya sesaat. Detak jantungnya kembali seperti seseorang yang baru saja berlari maraton begitu mendengar suara deheman Andre.
"Napa lu senyum-senyum nggak jelas kayak gitu?"
Sekali lagi Andra meneguk ludah dengan kasar. Kerongkongannya kembali terasa kering kerontang. Suara Andre seolah menyerap seluruh cairan di dalam mulutnya. Dengan gerakan cepat ia menggelengkan kepalanya.
Andre mendengkus kasar, memalingkan muka merasakan udara panas yang keluar dari rongga hidungnya. "Kapan lu pergi?" tanyanya, kali ini suaranya lebih lembut. Ia tahu bagaimana fisik Andra, juga keadaan psikisnya. Andra tak hanya lemah secara fisik, psikisnya juga. Bahasa kerennya, Andra lebih penakut dibandingkan dirinya, pengecut. Adik kembarnya juga tidak memiliki kepercayaan setinggi yang ia punya. Andra lebih sering berlindung di belakangnya ketimbang menghadapi segala sesuatu seorang diri. Jika ia terus menyudutkannya dan membentak, bisa-bisa Andra pingsan.
"Besok, Bang!" jawab Andra semangat. Ia memang selalu bersemangat bila berbicara tentang pekerjaan. Bukan karena ia menikmati apa yang dikerjakannya sekarang, sebaliknya ia justru membencinya. Seperti halnya Andre, ia yakin saudara kembarnya juga tidak menyukai pekerjaan yang mereka lakoni sekarang. Namun, ia tetap antusias karen sudah bisa membantu kakak kembarnya, tak lagi hanya bergantung dan meminta uang pada Andre. Usia mereka sama, dua puluh tahun, sangat memalukan baginya selalu mendapatkan jatah bulanan dari saudara kembar yang lebih tua hanya beberapa menit saja darinya. Meskipun pekerjaan mereka tidak bisa dikatakan baik, tapi tetap menghasilkan uang. Tak ada yang yang haram, yang ada adalah cara mendapatkannya yang bertentangan dengan segala norma yang berlaku. "Sore pas aku pulang dari kampus."
"Tante Desi langsung jemput lu di kampus?" tanya Andre, sebelah alisnya terangkat. Andra memang kuliah, ia yang memaksanya. Sementara dirinya lebih memilih untuk terjun seratus persen dalam pekerjaannya yang sudah dimulai sejak ia berusia lima belas tahun.
Iya. Dirinya memang sudah rusak sejak awal, dan ia tak ingin adik kembarnya juga seperti dirinya. Dibandingkan dengan Andra, entah kenapa gadis-gadis lebih sering mengerubunginya daripada Andra. Padahal ia tak pernah menanggapi mereka, selalu mengabaikan apa pun yang mereka lakukan untuk menarik perhatiannya. Andra lebih ramah. Dia dengan senang hati membalas sapaan gadis-gadis itu. Bukan berarti Andra genit, dia hanya tak ingin dicap sebagai seorang yang sombong. Sudah dikatakannya, 'kan, jika Andra penakut? Dia takut tidak mendapatkan teman lagi di sekolah.
Di kampus pun demikian. Andra selalu menjaga pertemanannya. Dia tak pernah mau jika ada klien yang menjemputnya langsung di kampus, takut menjadi bahan gosip semua mahasiswa. Namun, apakah kali ini Andra menerobos dinding yang bertuliskan takut itu, dan mengizinkan Tante Desi menjemputnya langsung, tidak berjanji untuk bertemu? Setahunya, kampus Andra sedang mengadakan studi tour atau apalah itu namanya, yang pasti setiap mahasiswa seangkatan Andra boleh ikut. boleh tidak. Andra memilih untuk tidak ikut dan menghabiskan liburannya dengan menjadi b***k nafsu Tante Desi.
Andre tidak menyarankan itu. Ia menyuruh Andra untuk mengikuti kegiatan kampusnya. Sayangnya, adik kembarnya itu sama keras kepala seperti dirinya. Mereka kembar identik, berasal dari satu indung telur yang sama, tentu juga memiliki sifat yang sama. Tidak semuanya, tetapi lebih banyak samanya.
"Nggak, Bang!" Andra menggeleng. Ia menjauhkan piring yang sudah kosong. Sarapan paginya sudah selesai. "Aku minta sama Tante Desi buat nunggu di kafe biasa, biar aku ke sana naik taksi atau ojek online."
Andre mengangguk. Dugaannya salah, Andra masih menjaga hubungan sosialnya. "Jadi, besok sore?" tanyanya lagi, masih berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Andra mengangguk.
"Ya, udah?" Andre mengusap.wakah kasar. Kali ini ia tidak bisa menahannya lagi, Andra sendiri.yang menyetujui tawaran Tante Desi. Padahal ia sudah berusaha menjauhkan Andra dari wanita hiperseks itu dengan rela menjadikan dirinya sebagai pemuas nafsunya. Tak percaya justru Andra sendiri yang menyerahkan diri. "Lu harus jaga stamina lu, Ndra. Jangan ntar pulang-pergi lu sakit lagi."
Andre memundurkan kursi, berdiri, berniat segera meninggalkan meja makan. Ia bosan dengan obrolan tak bermutu mereka. Ia ingin beristirahat setelah seminggu melayani ganasnya Tante Lusi, malah disuguhi berita ini. Namun. suara Andra menginterupsi langkahnya.
"Tunggu dulu, Bang!" pinta Andra. Ia berdiri juga dengan cepat, takut tak keburu. Saking cepatnya, pinggulnya justru terantuk sisi meja bagian bawah. Rasanya nyeri dan panas, tapi ia menahannya. "Lu jadi, 'kan, gantiin gue jagain Cinta?"
Andre membuang muka, mendengkus kasar. Tanpa menjawab. ia langsung meneruskan langkah, keluar dari dapur dan menaiki tangga dengan cepat. Tujuan utama adalah kamarnya. Ia akan tidur sepanjang hari ini untuk memulihkan tenaganya yang terkuras. Tante Lusi bukan seorang hiperseks, tapi tetap saja seorang penggila s*x dan wanita yang haus akan belaian. Hari pertama merek tiba di villa, wanita itu tidak membiarkannya beristirahat. Beruntung ia bisa mengimbanginya, dan memenangkan permainan seperti biasa. Tak ada seorang pun yang bisa menandingi keganasan Andre Faresta di atas ranjang.
***
Meskipun berkata tidak pada Andra, tapi saat ini Andre berada di depan toko bunga milik Nek Ratna. Entah apa yang dipikirkannya sehingga ia berada di sini sekarang. Yang pasti karena ia bosan mendengarkan rengekan Andra yang tak ubahnya seperti bocah berusia lima tahun. Toko bunga ini tidak buruk, tempatnya sangat cantik. Berbagai jenis bunga dipajang di etalase kaca di dalam toko. Ada juga yang berjejer di depan toko, di dalam pot-pot bunga berukuran besar yang terbuat dari berbagai jenis material.
Ini sudah sore,kemungkinan toko sebentar lagi akan tutup. Andre melangkahkan kakinya ke sana, langkahnya teratur, tidak tergesa meskipun tahu jika mereka akan menutup toko. Seorang wanita berusia kira-kira setengah abad atau mungkin lebih, tersenyum lebar ke arahnya. Andre tidak tahu harus bagaimana, membalas senyum itu atau tidak. Ia memilih opsi kedua karena tidak tahu bagaimana caranya tersenyum, dan melangkahkan kaki mendekati wanita itu yang tidak ia ketahui namanya. Ia tidak menanyakannya pada Andra, mengangguk mengiakan pun tidak, tapi sekarang ia sudah berada di dalam toko bunga, berdiri di depan wanita itu yang masih memamerkan senyumnya padanya.
"Kirain kamu nggak datang, Ndra."
Andre berdecak di dalam hati. Wanita ini pasti mengira ia adalah saudara kembarnya. Mereka memang kembar identik, tak ada yang membedakan kecuali wajah tak pernah senyum miliknya dan fisik Andra yang sedikit lebih lemah.
"Cinta udah nungguin dari tadi!" Wanita yang tak lain adalah Nek Ratna itu menunjuk ke arah kanan bagian dalam toko, di mana gadis yang dimaksudkannya berada.
Andre mengikuti arah yang ditunjuk Nek Ratna dengan gerakan kepalanya, dan ia melihatnya. Seorang gadis berambut sepunggung yang diikat ekor kuda, mengenakan gaun di bawah lutut berwarna biru muda lembut. Gadis itu tidak melihat ke arah mereka, tangannya sibuk menata bunga-bunga ke dalam lemari kaca yang berada tepat di depannya. Lemari itu lebih tinggi darinya sehingga dia harus mendongak sesekali membuat rambutnya ikut bergerak ketika dia menggerakkan kepala. Andre hanya menatapnya, tak ada keinginan untuk mendekati. Tingkahnya membuat Nenek Ratna heran sehingga wanita itu kembali bersuara untuk menegur.
"Kamu nggak ke sana?" tanya wanita berusia di akhir lima puluh itu.
Andre mengalihkan tatapan pada Nenek Ratna, kemudian tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya, ia menyeret kakinya menghampiri gadis itu. Tak juga bersuara meskipun sudah berada tepat di belakangnya. Dari sini ia tahu tinggi badan Cinta hanya sebatas bahu bagian bawahnya saja. Benar-benar gadis yang mungil, atau dirinya yang kelebihan tinggi badan. Namun, tidak mungkin. Enam kaki satu inchi adalah tinggi yang normal dan ideal bagi seorang laki-laki.
Cinta yang merasakan ada seseorang di belakangnya menoleh. Senyum manisnya mengembang melihat pemuda yang dicintainya berdiri tegap tepat di belakangnya. Jarak mereka tak sampai satu kaki. "Andra, kapan datangnya?" tanyanya manis tanpa menatap. Dia masih sibuk mengatur bunga-bunga yang belum laku, menyimpannya satu persatu ke dalam lemari kaca.
Tak ada jawaban membuat Cinta mengernyit. Gerakan tangannya terhenti, menoleh sekali lagi ke belakang sekilas sebelum meletakkan pot terakhir di dalam lemari. Cinta memutar badannya setelah menutup pintu lemari dan menguncinya. Sebab gerakannya yang sedikit lebih cepat, dan karena pemuda di depannya tak juga mengubah posisi sedikit pun membuatnya tak dapat mengendalikan keseimbangan tubuh. Tubuh mungilnya terdorong ke belakang menghindari tubrukan dengan pemuda itu. Cinta memejamkan mata, bersiap merasakan sakit di punggung dan bagian belakang kepala yang akan membentur lemari. Namun, beberapa saat dia tak juga merasakannya. Cinta membuka mata perlahan, mengerjap melihat betapa dekatnya wajah mereka.
Ini memang bukan yang pertama, tapi debaran jantungnya lebih gila dari biasanya. Dadanya bergemuruh hebat, napasnya terasa sesak. Butuh waktu beberapa saat bagi Cinta untuk mengendalikan diri, dan mengenali siapa pemuda yang kini tengah memeluknya. Punggung dan belakang kepalanya selamat dari benturan karena tangan pemuda itu yang menyangganya. Satu berada di punggung, satu lagi menahan belakang kepalanya. Cinta menahan napas setelah mengenalinya. Pemuda ini bukan Andra, tapi saudara kembarnya yang memiliki wajah sama persis dengan kekasihnya itu.
" An ... dre." Terbata Cinta menyebutkan namanya. Meskipun hanya beberapa kali bertemu, itu pun hanya sekilas melihatnya, tapi dia mengenalinya. Yang sekarang sedang memeluknya adalah Andre, bukan Andra. Tak ada sedikit pun senyum di bibir berwarna merah pucat alami itu adalah tanda yang membedakan mereka.
Andre melepaskan tangannya setelah Cinta berdiri dengan tegak. "Andra ada kegiatan kampus selama dua minggu. Dia minta gue gantiin dia buat jaga lu."
Tanpa sadar Cinta menggigil mendengar suara itu. Betapa dinginnya, begitu berbeda dengan Andra yang selalu berbicara dalam nada yang ramah dan hangat. Ini adalah pertama kali dia berhadapan langsung dengan Andre, dan dalam jarak sedekat ini. Rasanya dia ingin pingsan. Pantas saja reaksi tubuhnya berbeda karena mereka belum terbiasa berdekatan. Baru sekali, satu hari, dan dia sudah gemetar. Lalu, bagaimana dengan dua minggu?
Cinta menundukkan kepala, tak kuat melawan sinar mengintimidasi dari mata Andre. "Ke ... kenapa Andra nggak bilang sama ... aku?" tanyanya putus-putus. Percayalah, untuk bertanya seperti ini saja dia membutuhkan seluruh keberaniannya. Apalagi Andre masih belum menjauh, jarak mereka masih sedekat tadi.
"Nggak bisa!" sahut Andre dengan intonasi yang tak berubah, tetap dingin dan datar seperti biasa ia berbicara. Bagaimana bisa mengubahnya, iantidak pernah bisa. Sejak dulu ia selalu seperti ini, kehidupan yang memaksanya untuk menjadi dingin terhadap siapa pun. "Gimana mau ngasih tau lu kalo dia sibuk merengek sama gue biar gue mau gantiin dia di sini."
Cinta menelan ludah susah payah. Kenapa Andra harus meminta Andre untuk menggantikannya menjaganya? Dia tidak apa-apa tidak dijaga. Dia sudah dewasa, bukan lagi gadis kecil yang takut bila sendirian. Kepala yang tertunduk perlahan terangkat, hanya sekilas mata mereka bertemu Cinta kembali menundukkan kepalanya. Dia tak berani menatap mata yang bersifat dingin menusuk itu, tatapan Andre bisa membunuhnya. Bagaimana dia bisa bertahan selama dua minggu bersama pemuda seperti kutub selatan ini? Cinta mengembuskan napas melewati rongga hidungnya dengan pelan, dalam hati memberikan semangat untuk dirinya sendiri.
Semangat, Ci, kamu pasti bisa!