Bab 1
Matahari baru saja menampakkan diri saat gadis itu mulai mengayuh sepedanya menuju sebuah toko bunga di pusat kota Jakarta. Ia memang bukan pemilik toko itu, ia hanya pekerja. Namun, sejak semua kunci toko diserahkan padanya, ia selalu datang lebih awal. Membersihkan dan merapikan toko sebelum membukanya sudah menjadi kebiasaan gadis itu.
Cinta. Hanya itu namanya. Tidak ada tambahan nama lagi di belakang namanya itu. Nama yang sederhana tetapi mempunyai seribu makna, terutama bagi pemiliknya yang besar di salah satu panti asuhan di ibu kota. Cinta sengaja pergi ke toko pagi-pagi, alasannya adalah agar ia tidak terjebak macet yang semakin hari semakin merajalela. Empat puluh lima menit adalah waktu yang dibutuhkan Cinta untuk sampai di toko. Segera ia memarkirkan sepeda di samping toko.
Aroma semerbak wangi bunga menyerbu indra penciuman Cinta begitu ia membuka pintu toko. Senyum merekah di bibir gadis itu. Sejak kecil ia memang sangat menyukai bunga. Berbagai macam jenis bunga di tanamnya bersama Ibu Kepala Panti dulu. Bekerja di toko bunga adalah impiannya yang sudah terkabul sejak hampir dua tahun yang lalu. Cinta segera mengerjakan pekerjaan rutinnya. Merapikan dan menyusun bunga-bunga di etalase juga di depan toko. Cinta selalu menyelesaikan rutinitas paginya itu sebelum Nenek Ratna, si pemilik toko, tiba.
Hari ini juga seperti itu. Nenek Ratna tiba setelah semua pekerjaan di tokonya beres dikerjakan Cinta. Bunga-bunga cantik beraneka warna sudah berbaris rapi di etalase. Di depan toko juga begitu. Nenek Ratna sangat senang Cinta bekerja padanya, gadis itu sangat membantu.
"Selamat pagi, Sayang," sapa Nenek Ratna begitu memasuki toko.
Cinta yang sedang menata meja kasir segera berbalik. Gadis itu menghampiri Nenek Ratna, mengambil tangannya dan menciumnya. Mencium punggung tangan Nenek Ratna juga sudah menjadi kebiasaan Cinta sejak ia bekerja di sini. Setiap Nenek Ratna tiba atau pulang, Cinta akan mencium tangannya.
"Selamat pagi juga, Nenek," jawab Cinta tersenyum. "Gimana kabar Nenek hari ini, baik kan?" tanyanya.
Nenek Ratna menghela napas. Cinta selalu menanyakan pertanyaan itu setiap mereka bertemu. Membuat Nenek Ratna yang tinggal seorang diri merasa sangat diperhatikan.
"Nenek baik-baik aja," sahut Nenek Ratna. Tangannya terangkat mengusap rambut Cinta. "Kamu sendiri gimana, baik-baik aja?"
Cinta mengangguk. "Iya, Nek."
Cinta sudah menganggap Nenek Ratna seperti neneknya sendiri. Ia yang tidak pernah merasakan bagaimana indahnya sebuah keluarga utuh tentu merasa sangat bahagia. Apalagi Nenek Ratna sangat perhatian padanya, sehingga Cinta seolah mendapatkan keluarga yang selama ini dirindukannya. Cinta bukannya tidak bersyukur, ia juga sudah menganggap seluruh penghuni panti sebagai keluarganya. Hanya saja, ia selalu merasa ada yang kurang. Kehadiran Nenek Ratna menutupi kekurangan itu. Selain Andra Faresta tentu saja.
Cinta membantu Nenek Ratna duduk di belakang meja kasir. Setelahnya gadis itu minta izin pamit ke belakang. Tak lama ia sudah kembali dengan dua gelas teh hangat dan sepiring kue yang kemarin dibawakan Andra. Memang bukan makanan berat, tetapi lumayan sebagai pengganjal perut mereka.
"Kamu udah sarapan, Sayang?" tanya Nenek Ratna.
Cinta meringis. Ia memang mempunyai kebiasaan buruk, yaitu melupakan makan. Baik itu sarapan maupun makan siang. Maksudnya dengan makanan berat. Secangkir teh hangat dan sepotong kue biasanya cukup untuk mengganjal perutnya sampai siang. Kalau tidak diingatkan lagi untuk makan siang Cinta tidak akan makan. Sudah seringkali Andra dan Nenek Ratna menegurnya, tetapi Cinta tetap saja lupa. Apalagi kalau ia sudah asyik dengan pekerjaannya, Cinta akan melupakan segalanya.
Seperti siang ini, toko bunga tempatnya bekerja lumayan ramai. Karena hanya ada Cinta seorang karyawan, jadinya ia melayani semua pelanggan itu seorang diri. Dan lagi-lagi Cinta melupakan makan siangnya. Begitu pun dengan telepon dan pesan dari Andra. Gadis itu baru sadar kalau ia belum memakan nasi sejak tadi pagi ketika merasakan kedua lututnya gemetaran. Cepat Cinta duduk di kursi terdekat. Kepalanya juga terasa pusing, pandangannya bahkan sudah berkunang-kunang. Beruntung sudah tidak ada lagi pembeli di toko, kalau tidak ia pasti belum bisa beristirahat sekarang karena terus melayani mereka.
Nenek Ratna yang melihat Cinta memejamkan mata segera menghampiri gadis itu dengan membawa minyak kayu putih di tangannya. Nenek Ratna sadar keadaan Cinta, ia belum melihat gadis itu makan sejak pagi.
"Kan, sakit maag kamu kambuh lagi kan." Nenek Ratna menarik sebuah kursi ke dekat Cinta untuk didudukinya. "Kan tadi Nenek udah minta kamu buat makan dulu, kamunya ngeyel aja." Nenek Ratna terus mengomeli Cinta sambil tangan tuanya memijit pelipis gadis itu setelah mengolesinya dengan minyak kayu putih.
"Cinta nggak apa-apa, Nek," ucap Cinta lemah. Gadis itu berusaha tersenyum meskipun nyaris gagal. Ia tidak ingin membuat Nenek Ratna khawatir padanya.
"Nenek telepon Andra ya?" tawar Nenek Ratna.
Cinta langsung menggeleng. Ia juga tidak mau Andra khawatir. "Jangan, Nek," pinta Cinta dengan mata berkaca-kaca. Lambungnya terasa sangat perih sekarang. "Cinta nggak mau Andra khawatir sama Cinta."
Namun terlambat, Andra sudah berada di depan pintu masuk toko. Pemuda itu datang tanpa Nenek Ratna meneleponnya.
Andra Faresta adalah pemuda yang saat ini dekat dengan Cinta. Hubungan mereka yang sudah lebih dari dua tahun membuat Andra mengetahui semua kebiasaan Cinta, baik itu yang baik maupun yang buruk. Dan hari ini, seolah Andra mempunyai indra keenam, pemuda itu datang tanpa memberitahu lebih dulu. Atau sudah memberitahu, hanya saja Cinta tidak mengangkat telepon maupun membaca pesan darinya. Perasaan Andra rasanya tidak enak. Oleh karena itu ia mendatangi Cinta ke toko bunga sebelum tiba waktu gadis itu pulang. Firasat Andra ternyata benar, di depan pintu toko ia melihatnya, Cinta sedang memejamkan mata dengan tangan menekan lambung. Sementara Nenek Ratna berada di samping gadis itu, membantu memijat pelipis Cinta.
Andra segera memasuki toko yang tampak sepi. Langkahnya tergesa menghampiri gadisnya yang tampak kesakitan. Dahi Cinta mengerut.
"Cinta pasti lupa makan lagi kan, Nek?"
Pertanyaan itu membuat mata bulat Cinta yang terpejam langsung terbuka. Gadis itu terkejut melihat Andra yang sudah berada di sampingnya. Berjongkok.
"Andra?"
Pemuda itu mengangguk. "Kamu kenapa sih suka banget bikin orang khawatir hm?" tanya Andra dengan mimik wajah yang menampakkan kekhawatiran yang sangat.
Ini yang tidak Cinta sukai. Andra terlalu mengkhawatirkannya. Pemuda itu juga sering memperlakukannya selayaknya anak kecil dan akan mengaturnya kalau ia ketahuan melakukan salah satu kebiasaan buruknya.
"Telepon aku nggak diangkat, pesan aku juga nggak kamu balas. Kamu pasti kelewat sibuk kan tadi?"
Cinta menggeleng pelan, tak ingin pusing di kepalanya semakin menjadi.
"Kelewat sibuk sampe kamu lupa makan," sambung Andra. Pemuda itu mengusap wajah pucat gadisnya.
"Tadi pagi udah..."
"Tadi pagi Cinta cuma sarapan kue yang kamu bawa kemaren sama secangkir teh, Ndra," lapor Nenek Ratna. "Disuruh Nenek buat sarapan nggak mau."
Cinta menghela napas panjang. Susah kalau Nenek Ratna sudah mengadu. Apa pun perkataannya tidak akan didengarkan Andra. Pemuda itu akan lebih mempercayai apa yang dikatakan Nenek Ratna.
"Tadi masih belum paper, Ndra." Cinta membela diri dari tatapan menuntut Andra. Bibir gadis itu mengerucut.
"Udah salah masih aja ngeyel," cibir Andra. "Sekarang kamu makan terus istirahat. Kerjaan kamu biar aku yang gantikan."
"Tapi..."
"Aku nggak suka dibantah lho, Sayang," potong Andra dengan tatapan yang membuat Cinta harus berpikir dua kali untuk menentangnya lagi.
Cinta menggembungkan pipinya. Ia kesal bukan main, Andra selalu bersikap seperti ini kalau ia sakit. Cinta membuang muka, membiarkan andra pergi ke belakang dan kembali dengan dua buah sendok di tangannya.
"Ini makan siang buat Nek Ratna." Andra memberikan sekotak makan siang ke pangkuan Nenek Ratna. "Nenek makan yang banyak biar sehat. Jangan telat makan kayak Cinta," sambung Andra sambil melirik gadisnya yang bibirnya semakin meruncing.
"Ngomongnya nggak elit banget sih!" gerutu Cinta kesal. "Nggak usah pake nyindir-nyindir segala deh. Kan aku tadi cuma lupa!"
"Lupa yang bikin sakit maag kamu kambuh!" sahut Andra penuh penekanan.
"Andra benar, Ci. Kamu mending makan dulu terus istirahat ya, Nenek nggak mau kamu sakit." Nenek Ratna mengusap pucuk kepala Cinta. Perempuan tua itu belum membuka kotak makan siangnya. Ia tidak akan makan sebelum Cinta mau makan. "Kita makan bareng ya. Nenek nggak mau makan kalo kamu nggak makan."
Cinta menggigit bibir. Nenek Ratna selalu bisa mengatakan sesuatu yang membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Akhirnya dengan sangat terpaksa Cinta mengangguk. Ia membiarkan Andra menyuapinya. Sungguh rasanya ia tidak ingin makan, melihat hidangan itu saja perutnya semakin mual, tetapi ia tetap memaksakan. Selain agar Nenek Ratna mau makan, juga perutnya memang perlu dan harus diisi agar ia kembali bertenaga.
"Habis ini kamu minum obat ya, terus istirahat." Andra mengingatkan.
Cinta hanya mengangguk. Ia tidak berminat untuk berbicara dengan Andra sekarang. Ia masih kesal pada pemuda itu yang memaksanya untuk beristirahat setelah ini. Ia masih ingin bekerja. Kasiham Nenek Ratna kalau harus bekerja sendirian. Walaupun Andra membantu, tetapi pemuda itu kurang paham mengenai bunga.
"Mukanya jangan ditekuk terus dong, Sayang. Ntar makin cantik lho, kan aku yang repot."
Cinta memutar bola mata. Gombalan Andra sudah basi menurutnya. Pemuda itu sudah terlalu sering mengucapkannya, sampai-sampai ia hafal kelanjutan kata-kata itu.
"Nanti aku makin punya banyak saingan lho."
Benarkan apa katanya tadi? Ia sudah hafal di luar kepala dengan dialog Andra itu. Ia juga sudah bosan mendengarnya.
"Sayang, kamu nggak punya gombalan lain lagi ya?" tanya Cinta tersenyum mengejek. "Perasaan dari dulu kamu kalo ngegombal pasti pake kata-kata itu. Aku bosen tau dengernya."
Tawa Andra pecah mendengar apa yang dikatakan Cinta. Ia memang sengaja mengatakan itu. Ia hanya ingin membuat gadisnya mau berbicara padanya.
"Aku nggak punya, Sayang," jawab Andra setelah tawanya reda. Pemuda itu menggeleng. "Emangnya kamu mau aku gombalin?" tanyanya.
Cinta memggeleng cepat. Gadis itu menggeliat jijik. "Ogah," jawabnya. "Gombalan nggak bikin kenyang!"
Andra kembali tertawa. Tangannya terangkat mengusap pucuk kepala gadisnya. Itulah mengapa Andra sangat menyayangi Cinta. Gadis ini berbeda dengan gadis lainnya. Kalau gadis-gadis lain sangat menyukai pemuda dengan rayuan maut, terapi cinta justru anti dengan pemuda semacam itu. Karenanya Andra tidak khawatir kalau Cinta akan berpaling darinya. Selain itu, Cinta juga seorang pekerja keras. Sudah berulangkali Andra memintanya untuk berhenti bekerja, tetapi Cinta menolaknya dengan tegas. Gadis itu memberikan berbagai macam alasan agar tetap bisa bekerja. Juga protes. Mulai dari menolak uang pemberiannya sampai mogok makan. Cinta juga mengancam akan pindah dari rumah yang ditempatinya karena rumah itu pemberian Andra. Kalau sudah seperti itu, Andra akan mengalah. Ia akan membiarkan cinta kembali bekerja seperti kemauan gadis itu. Ia tidak ingin kehilangan Cinta. Ia tidak bisa hidup tanpa gadisnya.
"Sekarang kamu istirahat ya," pinta Andra setelah Cinta menghabiskan makan siangnya. Gadis itu juga sudah meminum obatnya tadi. "Toko biar aku yang jaga."
Cinta mengangguk dengan sangat terpaksa. Gadis itu memasuki satu-satunya kamar yang ada di toko itu untuk beristirahat seperti permintaan Andra. Sungguh ia merasa tidak enak pada Nenek Ratna, tapi mau bagaimana lagi. Ia harus melakukannya atau Andra tidak akan memperbolehkannya bekerja. Itu sudah kesepakatan mereka. Ia boleh bekerja asal selalu menjaga kesehatannya. Ia juga tidak boleh melupakan makan seperti yang dilakukannya hari ini. Cinta menghela napas, perlahan merebahkan tubuhnya di tempat tidur yang tersedia di kamar.
Tempat tidur di kamar ini bukan seperti tempat tidur kebanyakan. Tempat tidur di sini hanya sebuah ranjang kecil atau dipan. Cinta tidak benar-benar berbaring, ia hanya setengah berbaring, bersandar pada beberapa bantal yang ditumpuk menjadi satu. Cinta membuka ponsel dan mendesah. Begitu banyak pesan dan panggilan tidak terjawab yang masuk ke ponselnya. Semua itu dari Andra. Pantas saja pemuda itu khawatir. Ia bukan hanya melupakan makan, tetapi juga lupa untuk memberi kabar kepada kekasihnya.
Cinta mengembuskan napas. Jari-jari rampingnya dengan cekatan menari di atas layar ponsel. Ia mengetikkan pesan balasan untuk Andra. Iya, Andra saat ini memang berada di satu tempat yang sama dengannya. Ia hanya iseng ingin membalas pesan pemuda itu.
***
Maaf udah bikin kamu khawatir. Aku sayang kamu.
Andra tersenyum membaca pesan itu. Cinta memang ada-ada saja. Membalas pesannya saat ia sudah berada di tempat yang sama dengan gadis itu. Pemuda itu menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri perlahan. Tadi ia sedikit terkejut saat mendengar ponselnya berbunyi, menandakan ada satu pesan yang masuk. Ia segera mengambil ponsel dari saku celananya, mbuka pesan dan tersenyum.
Andra buru-buru membalas pesan dari Cinta ketika ada satu pembeli memasuki toko. Segera pemuda itu mengembalikan ponsel ke tempatnya semula sebelum menghampiri pembeli itu. Ia tidak perlu khawatir salah dalam menjelaskan nama-nama bunga yang dipajang di toko ini, ia sudah hafal, Cinta yang mengajarinya. Lagipula ini bukan pertama kali ia membantu di sini. Setiap kali Cinta sakit, ia pasti akan menggantikan gadisnya menjaga toko. Walaupun Cinta tidak sakit juga ia akan tetap membantu gadisnya. Andra tidak akan membiarkan gadisnya kelelahan karena seharian bekerja. Karena itu ia selalu membantunya.
Sementara di dalam kamar, Cinta tersenyum membaca balasan pesan dari Andra. Pipinya terasa memanas. Dadanya juga berdetak kencang. Padahal Andra tidak menuliskan kata-kata spesial, hanya empat kata tetapi bagi Cinta artinya sangat besar. Sekali lagi Cinta membuka tulisan itu dan membacanya.
Aku juga sayang kamu