Bab 6

2024 Kata
Sinar matahari pagi yang jatuh tepat di wajahnya, membangunkan tidur lelap Andre. Tangannya refleks terangkat menutupi bagian wajahnya yang tertimpa sinar matahari, berusaha berlindung dari silau. Mata yang masih terpejam bergerak-gerak beberapa.saat sebelum terbuka perlahan, tapi segera terpejam kembali karena belum terbiasa dengan bias sinar yang masuk ke dalam mata. Beberapa detik, obsidian itu kembali terbuka, kali ini dengan sempurna. Andre mengerjapkan mata beberapa kali untuk mengusir kantuk yang masih menggelayut. Pelipisnya juga sedikit berdenyut. Ia memencet pangkal hidungnya, mengurasi denyutan yang masih dalam skala normal. Tadi malam ia kurang tidur, menjelang pagi ia baru dapat memejamkan mata. Bukan karena tidak terbiasa dengan kondisi kamar yang baru pertama ditempatinya, melainkan karena ia terlaku mengkhawatirkan adik kembarnya. Berbagai macam prasangka berkeliaran di otaknya. Fisik Andra jauh lebih lemah darinya, tapi saudara kembarnya nekat menerima tawaran dari Tante Desi yang terkenal haus akan belaian. Tante Desi seorang wanita pengidap hiperseks, tentu tidak akan bisa beristirahat terlalu lama bila menjadi pemuas nafsunya. Ia sangat khawatir pada Andra, takut terjadi sesuatu pada kembarannya itu. Omong-omong soal takut dan khawatir, kenapa gorden jendelanya terbuka? Pantas saja ia sangat silau, matahari langsung mengenai wajahnya tanpa ada benda yang menghalangi. Padahal seingatnya, ia sudah menutupnya tadi malam sebelum tidur. Lalu, siapa yang membukanya? Tidak mungkin Cinta, 'kan, karena ia sudah mengunci pintu kamar dari dalam, mustahil perempuan itu bisa masuk. Apakah di kamar ini ada penunggunya? Astaga, semoga saja tidak ada mahkluk seperti itu karena dia paling takut terhadap sesuatu yang berbau mistis. Ia memang penakut, dan ia mengakuinya. Ia tidak pernah suka pada hal-hal menyeramkan seperti itu. Lebih baik membuka baju para wanita yang membayarnya, itu jauh lebih mudah dan lebih menyenangkan. Andre mengerang, bangun perlahan dan duduk dengan tatapan terpaku pada jendela kamarnya. Embusan lembut angin mengibarkan gorden, ujungnya bergerak-gerak pelan. Andre menutup mulutnya yang menguap, ingin kembali berbaring untuk melanjutkan tidur, tapi pekikan tertahan dari arah pintu mengurungkan niatnya. Ia mengalihkan pandangan, menaikkan sebelah alisnya kala obsidiannya menangkap sesosok tubuh mungil yang berdiri tepat di depan pintu kamarnya yang terbuka. Bola mata obsidiannya memutar jengah. Sosok itu, Cinta, menatapnya horor seolah saja ia adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Mata membelalak, mulut terbuka yang ditutup kedua tangan, sapu plastik tergeletak di dekat kakinya. Sapu itu tadi jatuh, suara jatuhnya bercampur dengan pekikan tertahan Cinta yang membuatnya menoleh tadi. "Kenapa lu?" tanya Andre datar. Ia sedikit kesal dengan reaksi Cinta yang melihatnya seperti melihat hantu. "Kayak nggak pernah liat orang bangun tidur aja." Andre membuang napas melalui mulutnya dengan sedikit keras. Kehadiran Cinta membuat kantuknya lenyap seketika, padahal ia masih ingin bermalas-malasan pagi ini. Mumpung ia off, waktu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembalikan stamina yang terkuras selama seminggu bekerja nyaris non-stop. Satu lagi yang membuatnya semakin kesal, perempuan yang masih berdiri di depan pintu kamar tidurnya itu sudah menjadikannya seperti orang lain dengan banyak berbicara. Ia seolah tidak mengenal dirinya. Andre bangkit dengan malas, menyeret kakinya menuju kamar mandi. Namun, sebelum benar-benar masuk ke dalam dan menutup pintu kamar mandi, ia berhenti, menoleh ke belakang dan bertanya pada Cinta. Ia curiga perempuan itu yang memasuki kamarnya, kemudian membuka gorden dan kaca jendela. "Lu yang buka gorden sama kaca jendela kamar gue?" Cinta gelagapan. Tatapannya liar ke setiap sudut kamar mandi. Dia menggigit bibir,.lantas mengangguk dengan kikuk, dan berjongkok untuk mengambil sapu. Andre tak merespons lagi. Sudah ia duga, tak ada makhluk halus di zaman sekarang ini, Cinta yang melakukannya. Ia curiga setelah melihatnya berdiri di depan pintu kamarnya. Cinta membukanya, kemungkinan besar menggunakan kunci cadangan. Andre menggeleng pelan, melepaskan celana piyama yang membungkus tubuh bagian bawahnya, kemudian berdiri di bawah keran shower. *** Beberapa detik setelah Andre memasuki kamar mandi, Cinta masih mematung di tempatnya berdiri. Dia masih menggigit bibir, masih memegang ujung sapu erat-erat dengan kedua tangan. Pipinya terasa memanas sampai ke telinga, tak hanya pipinya saja napasnya juga ikut terasa panas menerpa kulit di tas bibir ketika dia mengeluarkannya melewati rongga hidung. Kejadian barusan adalah yang paling memalukan seumur hidupnya. Rasanya lebih malu saat dia mendapati Andra tengah mengenakan pakaian dalamnya. Well, itu hanya perumpamaan, dia tak pernah melihat Andra tanpa pakaian. Pemuda itu sangat sopan, sangat berbeda dengan saudara kembarnya yang bertelanjang d**a. Pipinya terasa semakin panas. Cinta menepuk-nepuknya beberapa kali, mencoba mengusir rasa panas yang semakin menjadi. Melihat seorang laki-laki tak mengenakan pakaian memang bukan yang pertama untuknya, di pantai sangat banyak berkeliaran, baik yang lokal maupun dari mancanegara. Namun, itu semua tidak berarti apa-apa baginya. Maksudnya, dia tak merasakan malu seperti sekarang. Dia juga pernah masuk ke kamar Andra saat pemuda itu belum mengenakan baju, dia juga biasa-biasa saja. Lalu, kenapa saat melihat Andre, pipinya memanas? Punggung Andre lebar, terdapat tato sepasang sayap di punggung bagian kanan, berbeda dari punggung Andra yang mulus dan terlihat lebih kecil. Padahal kedua pemuda itu kembar, postur tubuh mereka sama, seperti wajah mereka yang tak ada beda. Hanya saja, Andra lebih ramah. Pemuda yang sudah menjalin hubungan asmara dengannya selama lebih dari satu tahun yang lalu itu selalu tersenyum kepada orang yang menyapanya. Tiba-tiba saja dia merindukan Andra, seiring bayangannya yang terus berkelebat di kepalanya. Andra yang tidak memberi kabar padanya tentang kegiatan kampusnya membuatnya sedikit kesal. Biasanya Andra selaku memberi kabar jika akan pergi ke mana pun. Cinta menarik napas, mengembuskannya dengan sedikit kuat melakui mulut. Kepalanya menggeleng beberapa kali, menyesali apa yang dipikirkannya barusan. Tidak sepantasnya dia merasa kesal dengan Andra, mereka hanya sepasang kekasih, belum menjadi suami istri. Dia masih belum memiliki hak untuk melarang Andra ke mana pun ia ingin pergi. Satu lagi, tak pantas membandingkan Andra dengan Andre. Meskipun saudara kembar, mereka berdua pasti memiliki perbedaan. Yang sama hanya wujud luarnya saja, sedangkan dalamnya pasti berbeda. Cinta menundukkan kepala, menggigit bibirnya. Pandangannya tertuju pada sapu plastik di tandan kanannya, membuatnya kembali ingat apa tujuannya datang ke kamar ini. Seperti kebiasaannya setiap pagi di hari Sabtu, dia ingin membersihkan kamar ini, pasti sudah banyak debunya yang menempel. Terakhir dia membersihkannya minggu lalu. Lupa bahwa ada yang menempati kamar ini, tadi pagi-pagi sekali dia justru sudah membuka gorden dan jendelanya sekalian untuk sirkulasi udara. Sekarang rencananya dua akan membersihkannya —menyapu dan mengepel lantainya. Namun, sepertinya dia harus menundanya dulu, setidaknya sampai Andre tidak berasa di dalam kamar. Sekarang dia harus merapikan tempat tidur yang berantakan dulu. *** Di akhir pekan, toko bunga buka lebih siang sedikit dari hari-hari kerja sehingga Cinta bisa lebih santai sedikit, dan datang tidak sepagi biasanya. Setelah merapikan tempat tidur Andre, dan sarapan dalam keadaan seratus persen canggung, Cinta langsung bersiap pergi ke toko bunga. Kali ini dia tidak menggunakan sepedanya karena Andre yang akan mengantar. Tak ada suara sepanjang perjalanan mereka. Andre mengendarai mobilnya dalam diam, tanpa berbicara apa pun selain suara berisik mesin mobil. Sebenarnya Cinta sudah menolaknya dengan halus, tapi Andre memaksa mengantarkan, dan dia takut untuk menolak lagi. Tatapan Andre tak terbantahkan. Seperti biasa, Cinta yang membuka toko karena tiba lebih dahulu dari Nenek Ratna. Andre hanya mengawasinya, bersandar di.badan mobil dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Tidak ikut membantu seperti yang selalu dilakukan Andra. Cinta menggeleng pelan, lagi-lagi dia membandingkan kedua saudara kembar itu. Seharusnya dia sudah tahu, tak mungkin Andre mau melakukannya, mereka tak memiliki hubungan apa-apa. Sudah untung pemuda itu mau menjaganya seperti permintaan Andra. Eh, untung? Astaga, bagaimana mungkin dia bisa berpikiran seperti itu? Apanya yang untung? Tidak ada untungnya sama sekali. Bukannya untung, malah sebaliknya. Dia merasa sedikit tersiksa dengan kehadiran Andre di rumahnya. Bukan. Bukan rumahnya, tetapi rumah milik Andra yang dia tinggali. Jadi, dia tidak memiliki hak untuk mengusir Andre karena secara tidak langsung rumah itu juga berarti miliknya, justru Andre yang dapat mengusirnya. Cinta menarik napas dalam. Sekali lagi dia menggelengkan kepala, mengusir semua pikiran konyol yang memenuhi kepalanya. Dia mengembuskan napas pelan melalui mulut sebelum memindah wadah-wadah berisi bunga segar, meletakkannya ke depan toko. Bunga-bunga itu hanya sebagai contoh, jadi tidak akan apa-apa seandainya layu karena terkena panas ataupun udara terbuka. Ada lima wadah besar yang harus dipindahkannya, di samping wadah-wadah yang lebih kecil. Tidak terlalu berat, tapi tetap membutuhkan tenaga. Apalagi cuaca kota Jakarta sudah menyengat saja, padahal masih bisa disebut pagi. Baru memindahkan dua wadah besar saja, Cinta sudah dibanjiri keringat. Napasnya juga mulai tersengal, rasanya sedikit berat. Seharusnya dia datang lebih pagi seperti biasa saja agar tidak kelelahan seperti ini Cinta sedikit membungkuk, dia kembali mengambil sebuah wadah besar kemudian meluruskan punggung. Memutar tubuhnya, Cinta terkejut karena Andre sudah berada tepat di depannya, tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Hampir saja wadah besar berisi bunga-bunga Krisan berwarna merah muda, jatuh. Seandainya Andre tidak segera menangkap wadah itu kemungkinan besar kakinya akan tertimpa. Memang tidak terlalu berat, tetapi tetap saja pasti akan sakit. "An ... dre?" Sebenarnya Cinta ingin mengucapkan terima kasih dan bertanya apa yang dilakukan Andre di sini, tetapi lidahnya terasa kelu sampai-sampai menyebut nama pemuda itu saja dia terbata. Jika saja itu tadi adalah Andra, sudah pasti akan dihujaninya dengan pukulan-pukulan kecil di bahu dan dadanya. Kesal bercampur dengan terkejut membuat pipinya terasa memanas. Beruntung Andre segera berlalu dengan membawa wadah berisi hunga tulip aneka warna sehingga dia tidak bertambah malu. Malu? Tentu saja. Selama menjalin asmara dengan Andra, dia tidak pernah berada sedekat tadi dengan saudara kembar kekasihnya itu. Andra pernah membawanya ke rumahnya beberapa kali saat ada Andre di sana, tetapi mereka tidak saling bicara. Andre tidak menyapa, juga tidak menatapnya. Pemuda itu tidak bergabung bersama mereka berapa lama pun dia berada di rumah minimalis berlantai dua itu. Andre meletakkan wadah besar bunga tulip di sebelah wadah berisi bunga aster. Ia kembali ke dalam, mengambil dua wadah tersisa, memeluknya dengan masing-masing tangannya. Tanpa berbicara ke luar lagi, menyusun dua wadah besar di samping wadah yang tadi. Cinta memperhatikannya sambil menahan napas. Ia melakukannya tanpa sadar. Dadanya berdebar, apa yang dilakukan Andre membuatnya terkesima. Dia berpikir Andre akan tetap diam dan tidak mau menolongnya. "Kalo lu terus bengong, kerjaan lu nggak bakalan selesai!" Mata bulat Cinta mengerjap beberapa kali. Dia baru menyadari jika posisinya tidak berubah sama sekali, masih di tempat yang sama selama beberapa menit dengan tidak bergerak sedikitpun. Tergagap Cinta berpindah tempat, dia melangkah tergesa ke depan lemari kaca berukuran besar. Pot-pot bunga kecil disimpan di dalam lemari itu. Tangan Cinta gemetar mengambil kunci dari laci yang terletak di bagian bawah lemari. Beberapa kali dia salah memasukkan anak kunci yang hanya berjumlah tiga buah. Ketika pintu kaca itu terbuka, Cinta mengembuskan napas lega. Segera dia memindahkan pot-pot bunga itu ke etalase yang berada tepat di depan jendela toko yang sudah dibukanya lebar-lebar. Sebuah jendela besar yang daunnya terbuat dari kaca. Jika ingin membukanya tinggal digeser saja. Cinta menyusun pot-pot kecil di etalase bertingkat setinggi dadanya. Ada lebih dari sepuluh pot bunga, dia harus meletakkan semuanya di sana, menyusunnya seperti biasa yang memerlukan waktu lebih dari setengah jam Namun, sekali lagi Cinta garis menahan napas. Andre meletakkan dua buah pot kecil berisi kaktus yang sedang berbunga. Bunga-bunga kecil berwarna kuning membuat puncak kaktus tertutup, membuatnya terlihat seperti seseorang berambut pirang. Bukan seseorang, tapi sebuah makhluk hijau berambut pirang. Tanpa berkata apa-apa Andre kembali ke depan lemari kaca, mengambil dua buah pot kecil, meletakkannya di atas etalase di depan Cinta. "Ma ... makasih." Andre memutar bola mata mendengarnya. Suara itu sangat kecil, seperti seseorang yang berbisik saja. Untungnya ia memiliki indra pendengaran yang tajam sehingga gendang telinganya masih dapat menangkap kata yang diucapkan Cinta dengan terbata. "Ini yang terakhir. Masih ada yang perlu gue bantu lagi?" Cinta menoleh ke samping kanannya. Tubuhnya membeku seketika. Andre sangat dekat dengannya, wangi khas pria menusuk indra penciumannya. Dengan sekuat tenaga Cinta mencoba mengatur napas dan mengeluarkan suaranya. Sayangnya, tubuhnya tak bisa diajak kompromi. Dia hanya bisa menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri bergantian, itu pun dengan susah payah. Setelah Andre menjauh, barulah Cinta dapat bernapas dengan lega. Tubuhnya juga sudah bisa digerakkan seperti semula, meskipun agak sedikit canggung setidaknya dia masih bisa mengatur pot-pot kecil dengan rapi di dalam etalase. Cinta menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan melalui rongga hidung. Lega bercampur heran menggelayuti pikirannya. Heran dengan reaksi tubuhnya bila berada di dekat Andre. Dia tahu, semuanya karena dia masih belum terbiasa. Namun, jika tetap seperti ini dia tidak akan pernah terbiasa. Jujur saja, sekarang dia sangat merindukan Andra yang sampai saat ini belum memberi kabar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN