19. Tentang Parallel Masa

1010 Kata
Vigo membanting tasnya kesudut kamar sambil merebahkan tubuh lelahnya dikasur, ditatapnya langit-langit kamar saat bayangan kesedihan melayang disana. Lebih dari dua belas tahun lalu, saat papanya duduk disebuah ruangan dan disaksikan banyak orang, setelah itu seorang dengan baju merah-hitam memukul palu tiga kali. Bayangan-bayangan besi penjara masih membekas jelas dibenaknya, meski saat itu dia masih berusia lima tahum. Ia mengingat betul bagaimana papanya harus mendekam disana, bahkan ia ingat bagaimana orang menatap sinis dan mengatakan ia pembunuh. Ia tak terima saat itu, dirinya memberontak pada semua orang. Tapi, semakin ia memberontak semakin mereka sering mengata-ngatainya. Mamanya harus meneruskan pekerjaan papnya, seperti seorang single parent. Bahkan adiknya yang masih kecil ikut menangung hinaan orang sekitar. Setiap pulang bermain, Chaca selalu saja menangis tersedu dan mengatakan sesuatu yang dihapalnya. “Katanya pa... papa bunuh o...orang.” dan dengan tenang mamanya menyudahi tangisan Chaca. Sejak hari itu jiwanya dan jiwa Chaca memberontak tak jelas. Papanya boleh keluar dari penjara, tapi bagaimana dengan wajahnya didepan orang banyak. Vigo menjadi anak nakal yang tak berkesudahan mencari masalah, bahkan ia lebih senang beradu pukul ketimbang berbicara. sikapnya itu mendapatkan elusan d**a dari kedua orang tuanya, mereka tak bisa melakukan apa pun untuk hanya diam. “Vigo, kamu dikamar ya?” terdengar jelas sebuah suara berseru dengan detikan pintu kamar Vigo. Luna masuk ke dalam kamar Vigo dan melihat cowok itu berbaring tak berdaya, tatapan matanya masih terbang kemanapun berada. Saat melihat itu Luna hanya bisa melihat bingung, Vigo seperti orang yang kemasukan setan. Digoyangnya tangan Vigo pelan sambil berucap, “kamu nggak apa-apa, Go?” Vigo tak menjawab, ia malah duduk seperti orang linglung. “Heh, Vigo?” lanjut Luna sambil menggoyangkan dagu Vigo. “Lun?” “Ehm...” “Kadang-kadang gue merasa gak nyaman sama semua ini, tapi gue gak bisa berbuat apa-apa.” “Maksudnya?” Luna menggaruk-garuk kepala belakangnya yang sebenarnya tidak terasa gatal, di hanya bingung dengan omongan Vigo. “Gue gak peduli mau loe amnesia apa alzaemar, tapi gue mau cerita kalau gue gak mau kayak dulu. Gue gak bisa dapat masalahlagi gara-gara orang disekitar gue.” Vigo berceirta panjang, Luna sedikit tk paham tapi dia berusaha memahami apa yang dikatan Vigo. Lama dia memikirkan dari omongan Vigo, tapi tak menemukan apa pun. Otaknya terasa buntu. “Eh Go, tadi aku ketemu orang ditempat buku-buku banyak.” Luna mengalihkan topik pembicaraan, “siapa tadi namanya ya... Ngga-Ngga, oh iya Angga.” Vigo melotot mendengar Luna menyebut nama Angga. Rasanya ubun-ubun Vigo mulai memanas dengan omongan Luna. “Siapa?” “Angga.” Luna kembali mengulang nama itu yang semakin membuat Vigo benci. “Jangan pernah sekali lagi loe deket sama cowok itu, gue gak suka.” “Tapi, kenapa Go? Dia ramah kok.” “Gue bilang gak boleh! Ya gak boleh!” suara Vigo meninggi dan dia berdiri dari duduknya. Vigo tak membiarkan Luna dekat dengan orang yang sudah membuatnya dipermalukan didepan orang banyak. “Aku kan butuh alasan, Go.” “Loe budek ya. Gue gak suka loe deket sama itu anak. Sekali lagi loe deketan sama dia, gue persilahkan loe pergi dari rumah dan hidup gue.” Dia tak mampu menjawab omongan Vigo lagi. Kemana dia akan pergi kalau nggak disitu, bahkan sampai hari itu dia belum tahu kemana perginya rombomngannya. Bisa-bisa dia ditangkap pemburu jika hal itu terjadi. “Udahlah, ganti baju sana terus ikut gue jalan-jalan.” Lanjut Vigo. Luna tersenyum dan langsung pergi dari kamar Vigo, dia takut Vigo marah lagi. %%% Alunan lagu The Beatles terdengar berteriak dari kamar Angga, menggetarkan seisi rumah besar itu hingga terasa hampir roboh. Angga, tak memperdulikannya ia senang menyetel musik begitu kencang saat berada dikamar mandi. Dikamar mandi? Sudah menjadi kebiasaanya, menyetel musik dan mandi adalah satu-kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Dengan gaya menyabuni badan atau keramas, teriakan suaranya beradu merdu dengan suara tape dikamar. Bahkan saat keluar kamar mandi pun, ia masih sempat menggetarkan suara sumbangnya. Seperti saat ini, masih dengan lilitan handuk disetengah tubuhnya, ia menyanyikan lagi White a little help frommy friend-nya The Beatles, dengan gaya sok memegang gitar. Cowok senorak itu masih memiliki fans banyak? Seandainya gayanya itu dijadikan Vlog mungkin sebagian fansnya akan mengerutkan kening. Dan kabur sambil bilang ilfeal. Tapi, semua kekonyolannya hilang seketika saat HPnya berbunyi dengan keras. ID yang tertera Rama. “Hallo, Ram?” katanya menyapa sahabatnya. “Santai banget ya loe. Katanya loe ngajak kita latihan, malah loe gak dateng-dateng.” “Latihan kan jam dua.” Diliriknya jam didinding kamarnya yang tak menggerakkan jarunya sedikitpun keangka lain, tetap dititik satu. “Astaga jam gue mati. Oke-oke gue kesana.” Dilemparkannya Hpnya itu kekasur setelah menutup pembicaraan. Dengan gerakan gabungan antara Flasht dan Superman ia mengenakan pakainnya. Sementara itu didekat taman, Rama kesal menunggu Angga yang tak kunjung datang. “Gimana, Angga jadi datang gak?” tanya salah seorang anggota tim Garuda Raya. “Dia datang kok, masih siap-siap.” Jawab Rama dengan bingung. Ia lagi yang harus menyembunyikan kebohongan Angga, selalu. Sejak ditinggal mamanya, Angga memang sedikit aneh. melakukan hal bodoh dan konyol, bersikap kocak hanya untuk menutupi kesedihannya. Rama tahu semuanya, semua hal menyangkut tentang Angga, karena ia yang menjadi sandaran Angga ketika curhat. “Angga gak pernah konsisten sama omongannya.” Kata anggota lainnya. “Maksud loe?” tanya Rama berlagak bego’. “Halah. Mentang-mentang dia captain tim dan papanya donator, dengan seenaknya dia bisa datang terlambat. Sukanya marah, katanya buat kebaikan tim. Mana buktinya?” “Bener kata loe, Angga itu sebenarnya gak jauh beda sama Vigo. Sama-sama gak bener.” Salah seorang anggota yang berdiri sejajar dengan Rama ikut nyeletuk. “Heh, jangan asal omong ya kalian. Gitu-gitu dia captain tim, dia yang udah ngesuport semuanya buat tim kita. Gak ada dia kita gak bakalan dapat fasilitas kayak gini. Seragam baru, sepatu baru, bola baru, sampai tempat latihan khusus buat kita!” suara Rama sedikit meninggi saat mengatakan hal itu, tapi teman-temannya seperti tidak peduli. Dari arah belakang, tanpa disadarinya Angga datang dengan senyuman khasnya yang manis. Tanpa mendehem atau melakukan apa pun, ia mendengarkan Rama yang terus saja membelanya. Tapi, kemudian ia berucap. “Kita bisa mulai latihannya.” Mendengar hal itu anggota tim Garuda Raya Cuma bisa tertegun bingung, mereka sebagian takut untuk berbicara lagi. Bahkan dari mereka yang angkat bicara tadi hanya bisa menatap langit. Dan... latihan itu dimulai seperti biasanya. %%% Hembusan angin sore ditaman cukup menyejukkan, menyibak daun-daun yang perlahan gugur direrumputan hijau. Vigo dan Luna baru saja datang dan duduk disalah satu bangku taman, disaksikannya guguran daun itu sambil tersenyum. “Rasanya nyaman ya lihat ginian.” Celetuk Vigo sambil mengunyah kacang kulit yang dibawanya dari rumah. “Ginian?” “Maksudnya daun-daun itu, yang kuning gugur.” Dengan seenaknya Luna mengambil bungkusan kacang yang dipegang Vigo, dan memakannya seperti yang dilakukan Vigo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN