Chaca menjatuhkan tubuhnya disofa ruang tamu dengan wajah bersungut kesal, karena kaki kirinya terkilir setelah bermain Voli. Sialnya lagi, ia baru saja melakukan smash pertama, tapi setelah lompatan ia terjatuh dilapangan semen. Bukan kakinya yang terkilir saja yang sakit, tapi dengkulnya juga ikut terluka.
“Sial banget gue hari ini, udah kalah voli sama timnya Rena malah kaki gue terkilir lagi.” Katanya mendengus sambil mengurut pelan kakinya, meski pun tak ada perubahan apa pun.
Sampai saat ia terus saja melakukan hal itu, sang mama datang dengan senyuman dan tawa renyah.
“Kamu kenapa, Cha?”
“Ini ma, kaki Chaca terkilir sekaligus nabrak semen pas main voli tadi.” Ujar Chaca merajuk manja, sambil memperlihatkan kakinya pada sang mama.
“Itu sih nggak papa, kan Cuma berdarah sedikit. Tapi, kamu menang nggak?” tanya sang mama, sambil berjalan menuju lemari, dibongkarnya kotak P3K untuk mengambil obat merah dan kapas.
“Boro-boro menang, aku aja langsung istirahat di kelas. Aw... sakit ma.” Chaca mengaduh pelan saat kulitnya yang luka bertemu dengan obat merah. Meskipun tidak sesakit itu.
“Itu masalahnya ma. Semua kelompok ngandelin aku, pas aku kayak gini ya jadinya mereka kalah. Dan mama tahu nggak siapa musuh Chaca? Itu cewek alay yang sering banget saingan sama aku.”
“Siapa? Rena?”
“Iya. Ma. Si Rena itu senang banget bisa ngalahin aku. Sebel jadinya.”
“Yaudah sabar aja. Ngomong-ngomong gimana kelakuan Luna pas disekolah?” pertanyaan sang mama membuat Chaca memajukan bibirnya, ia ogah jika harus membahas semua hal yang berhubungan dengan Luna.
“Ngapain sih mama tanya cewek aneh itu,”
“Kan dia juga anak mama, Cha.”
“Anak mama? Ma, dia Cuma anak pungut yang gak tahu asal-usulnya. Dia itu... ah sudahlah.” Chaca merajuk lagu, kali ini tidak manja. Ia benar-benar membenci anak itu.
“Dia kan baik, Cha. Dan mama yakin dia bis amengubah sifat Igo.”
“Merubah?” Chaca mengambil tasnya dan berjalan sedikit menjauhi sang mama, dianak tangga pertama ia berucap, “nggak ada yang perlu dirubah. Sikap kak Igo atau Chaca seperti ini semua karena keegoisan dan sok jiwa kesolidaritasan papa sama mama. Luna atau siapa pun gak bisa berbuat apa-apa.”
Chaca benar-benar berlalu dari ruangan itu, meninggalkan sang mama sendirian. Jiwa yang sejak dulu memberontak tetap dengan pendiriannya. Sang mama hanya bisa mengelus dadanya, nggak ada gunanya untuk mencegah kelakuan mereka. Vigo yangs ering bertengkar akan melakukan hal yang sama terus menerus sampai kapanpun.
Chaca membanting pintu kamarnya, sambil melemparkan tas pundaknya dengan kencang keatas, yang membuat benda didalamnya berhamburan keluar, termasuk Ha-Pe yang ikut terjatuh. Dibuangnyay kini pandangannya menyentuh peradaban diluar kamar dari jendela yang menganga lebar, ia sampai nggak habis pikir dengan semua ini. Apa sebenarnya yang direncanakan orang tuanya, dulu mereka mengatakan hal bohong untuk mengiyakan tuduhan terhadap mereka, kini mereka malah mengadopsi anak lagi yang sampai sekarang nggak tahu asal usulnya dari mana, siapa orang tuanya, dan dimana rumahnya.
Diluar jendela kamar itu, ada pemandangan sebagian ibukota yang terlihat riuh dan berantakan, dideretan bangunan itu ada stau gedung yang menyimpan banyak hal untuknya. Sekolah. Sudah lebih dari setahun disana, ada rahasia yang maish dipendamnya. Perasaan cinta yang datang tiba-tiba untuk seseorang bernama Angga.
Sejak pertama kali melihat Angga, hatinya sudah berdebar kencang. Sesuatu yang jarang ia rasakan pada seorang cowok, bahkan mantan-mantan pacarnya. Angga yang rapi, lucu, dan care denagn setiap orang, membuatnya mengagumi dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Tapi, seperti mimpi buruk, ia nggak mungkin lebih dekta dengan Angga. Angga masih membenci ia dan keluarganya, mungkin jika ia mengutakan perasaanya Angga hanya akan menyumpahinya sebagai gadis bodoh yang mengharapkan cinta.
Lagi-lagi semua memang kesalahan orang tuanya, bahkan sampai masalah hati nggak bisa dengan mudah ia dapatkan. Karena cinta, ia harus dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Haruskan ia utarakan perasaan itu? Atau disimpannya sampai Angga tahu sendiri?
%%%
“Kalau gue boleh ngaku, skill yang dipunya Angga jauh dibawah Vigo. Vigo tu udah kayak Captai Tsubasah menurut gue.”
“Halah Angga itu Cuma menang duit doang, apalagi pintar cari muka sama coac.”
Itu hanya beberapa kalimat obrolan yang diingatnya saat anggota timnya beristirahat didekat loker. Sering sekali Angga mendengar omongan itu, selalu. Mereka selalu saja membandingkan skillnya dengan Vigo, mengatakan bahwa ia Cuma penjilat, selalu mengandalkan uang dan lainnya. Memang dalam urusan cewek dan uang lebih unggul, tapi dimata para cowok ia bukan apa-apa.
Sejak dulu sudah disadarinya, tapi ia bersikap biasa. Sikap biasanya itu malah menimbulkan dampak buruk bagi dirinya sendiri. Bahkan tim yang dipimpinnya hanya menang beberapa kali selama diketuainya, sedangkan saat Vigo menjadi captain hampir semua pertandingan pasti selalu menang. Tapi, satu kesalahan Vigo yang didalanginya membuat gelar captein hilang dengan seketika, hal itu membuat Vigo dikenal ketua Garuda Raya paling buruk.
Saat lamunanya terus mengudara, gedoran jendela membuatnya terbangun. Angin kencang menghempaskan jendelanya dan menerbangkan tirai didekatnya. Hujn akan terlihat nggak bersahabat malam ini. Lekas ditutupnya jendela kamar itu, tapi lagi-lagi ada yang mengusik pikirannya.
Dua belas tahun lalu, saat hujan rintik dibarengi angin kencang, ia melihat mamanya terbaring nggak berdaya ditangan laki-laki yang sampai sekarang membencinya. Tubuh mamanya bersimbah darah sedangkan laki-laki itu berwajah pucat ketakutan. Saat itu nggak tahu melakukan apa, selain hanya menangis dan meratapi mama tercintanya.
Mungkin dendamnya akan sama seperti yang dirasakn papanya, dan semua nggak akan mudah hilang meskipun si pembunuh sudah dipenjara. Dendam itu membuatnya benci pada anggota keluarga si pembunuh, yakni anak-anaknya. Maka dar itu Angga sangat membenci Vigo, meski bagaimana pun keadannya.
%%%
Pagi mulai nampak menyapa. Arsiran awan dilangit pagi itu membenarkan betapa cerah cahaya matahari. Sesekali burung masih bernyanyi menyambung nada dari kokokan ayam jantan. Luna menarik tirai jendela kamarnya, yang langsung menghadap cahaya matahari. Hari kesekian kalinya dia harus bangung pagi untuk pergi kesekolah bersama kedua anak manusia.
Dibenarkannya kancing baju atasnya yang belum tertutup, sambil sesekali menyapukan wajahnya didepan cermin. Dia nggak mau tampil apa adanya, meski dia siluman tapi dia diajakrkan sedikit adab manusia oleh ibunya.
Biasanya jika pagi begini ketika bersama rombongan siluman dia harus bersiap pergi untuk mencari makan dan bertahan dari serangan. Ada sebagian siluman jahat yang mengintai para siluman putih diluar sana, tapi semenjak penyergapan pemburu pada sabit kuning, siluman hitam itu bergabung ikut migrasi.
Luna nggak melupakan semuanya, tapi ada yang lebih membutuhkannya saat ini. Dua hari lalu, mama Vigo mengajaknya berbicara berdua dan rahasia. Mama Vigo memintanya untuk menjaga dan mengawasi Vigo, karena ia tahu Vigo bukan anak kecil lagi yang mudah diatur. Saat itu Luna berkata iya dan berjanji, nggak mungkin dia mengingkarinya. Selain itu dia juga harus tahu masalah apa yang terjadi antara Vigo dan Angga, sampai-sampai kedunya nggak akur.