Jam tanda masuk belum saja berbunyi, tapi anak-anak sudah berlarian dengan bergegas menuju kelas masing-masing. Disaat bersamaan Angga masih sibuk dengan temannya, entah apa yang mereka lakukan pagi-pagi begini, tapi Angga terlihat begitu resah dengan mulut yang tak henti berbicara.
“Pokoknya gue gak mau tahu. Loe kan manager tim, jadi loe usahain gimana caranya dapat biaya buat kostim baru Garuda Raya.”
“Tapi, uang tim bulan ini belum dikeluarkan sekolah. Bulan depan baru ada kata mereka.”
“Nggak bisa Der. Nunggu bulan depan kelamaan, tiga minggu lagi tim kita udah tanding sama Elang Putra, gak mungkin kan kita gunain baju yang udah kayak kain pel.”
Dera si manager hanya bisa diam mendengar omongan Angga. Sejak Angga menjadi ketua tim sepak bola Garuda Raya milik sekolah, ia jadi banyak ngatur. Semuanya harus seperti keinginannya, jika tidak Angga bakal marah-marah. Dera tentu tak mau itu terjadi, karena sedikit masalah kecil Papa Angga bisa turun tangan.
Tapi, sebenarnya Angga bukan anak yang tempramental atau egois, ia hanya ingin membuat tim sepak bola itu berkembang pesat dan hal itu sudah terlihat. Berbagai kejuaran sepak bola antar sekolah sudah diikuti Garuda Raya dan hasilnya lumayan memuaskan.
Dera harus memaklumi itu, biarpun ia bingung-bingung mencari biaya untum tim, akhirnya nanti Angga juga yang akan memberikannya. Hal itu berbeda sekali saat Vigo menjadi ketua, semuanya berantakan dan tak terurus, meskipun dari sekian pertadingan tim Garuda selalu menang.
“Pokoknya loe urus ya, berapa biaya yang diperlukan untuk kaos tim baru dan sepatu. Loe cacat terus kasih gue sebelum pulang sekolah.”
Benar apa yang dipikirkan Dera. Angga pasti akan memberikan uang untuk kelancaran timnya. Untuk urusan uang, uang, dan uang, Angga begitu loyal. Apalagi sekarang ia juga menjadi BaCaKaOs (Bakal Calon Ketua Osis) yang dicanangkan beberapa teman-temanya, membayangkan donasi uang yang bakalan keluar banyak mereka tak segan-segan mendukungnya.
Dari arah berlawanan Rena datang dengan senyum yang mengambang tipis dibibir. Seperti rindu dengan wajah manis angga. “Kak Angga,”
Angga membalas senyuman itu, “apa, Ren?”
“Kakak lagi sibuk ya?”
“Nggak juga, kenapa?”
Rena kembali tersenyum sambil berlalu pergi.
Itu salah satu dari fansnya disekolah, satu dari beberapa cewek aneh yang setiap hari datang dihidupnya. Ia sudah seperti artis, apa pun yang dilakukannya selalu menjadi bahan komenan bagi para cewek.
Kadang Angga sendiri bingung, apa yang membuatnya disukai banyak orang? Padahal ia terkesan konyol dan humoris, susah serius ataupun diam seperti patung. Itu bukan tipenya.
Ia itu gambaran cowok cool yang beda dari yang lain, nyeleneh tapi nggak buat ilfeal. Itu idelanya. Dan mungkin karena itu juga, ia banyak memiliki teman, pokoknya cowok kaya yang asyik. Benarkah?
Angga terus saja berjalan dan berpisah dengan Dera, sata cewek itu masuk kelasnya, ia berjalan sendirian menuju ruang olahraga karena pelajaran jam itu kosong. Ia hanya ingin mengecek beberapa perlengkapan untuk nanti sore.
Saat berada dilorong dekat ruangan, seseorang tanpa lihat jalan menabraknya dengan kencang. Ia hampir saja terpental yang hanya menjatuhkan ponselnya saja. Sedangkan sipenabrak tak apa-apa, padahal kalau dilihat sekilas dia cewek.
“Maaf aku nggak sengaja.” Kata dia pelan.
“Nggak papa kok, gue yang salah.” Angga belum sempat melihat wajah sipenabrak karena ia masih sibuk mecari ponselnya.
Saat ia menemukan apa yang dicarinya. Sipenabrak cewek itu sudah tidak ada.
%%%
Bu Lusi si guru Bahasa Indonesia masuk kekelas dengan senyum seperti biasanya, tapi ia tak masuk sendirian. Digandengnya seorang siswi baru dengan gaya khasnya dan rambut bergelombangnya. Luna ikut tersenyum melihat kawan-kawan barunya yang semuanya menggunakan bajua seperti yang dia pakai.
Dia sedikit canggung melihat manusia yang bergerombol begitu banyak, padahal sedikitpun ia tak pernah membayangkan akan sekolah dengan manusia ataupun bergaul dengan mereka. Semua memang terlalu jauh dari ekspektasinya. Bukan cuma dia saja yang canggung, tapi anak-anak lain melihat kagum dengan penampilannya yang wah. Kulit eksotisnya dipadu dengan mata amber dan bulu lentik. Seperti seorang model yang dirias tukang make-up profesional. Bahkan belum sempat memperkenalkan diri, beberapa anak cowok sudah melambaikan tangannya, melihat hal itu Chaca yang satu kelas dengannya hanya bisa berwajah masam.
“Selamat pagi anak-anak. Pagi ini ibu tidak akan mengajar kalian, tapi kalian kedatangan murid baru. Ayo kenalkan namamu.”
Ibu Lusi mempersilahkan Luna memperkenalkan diri.
Lagi-lagi Luna tersenyum gerogi sambil melambaikan tangannya. “Hallo semua. A...aku Luna.”
“Hai Luna!” teriak para murid cowok yang berada dikelas.
“Aku baru pindah dari... dari London. Aku adiknya Chaca. Aku akse...selerasi makanya satu kelas dengan kakakku.”
Mendengar kata Chaca, satu kelas melongo tak percaya. Bagaimana mungkin Luna saudara kandung drai Chaca, yang bahkan bayangannya saja tak mirip. Wajah mereka seperti pinang dibelah gergaji, Chaca yang terkesan egois memiliki saudara yang begitu cantik dan kalem. Astaga.
“Beneran saudaraan?!” tanya seorang siswi yang duduk dibagian paling depan.
Luna mengangguk.
“Astaga. Gue gak percaya kalau Chaca punya adik secantik ini, padahalkan Chacanya biasa aja.”
Sindir seorang siswi lainnya yang dibangku nomer tiga dari depan.
Cetak!
Chaca melemparkan sebuah pulpen yang tepat mengenai kepala siswi itu. lalu berucap, “jangan banyak omong deh loe.”
“Emang bener kenyataanya kan? Loe sama Luna itu ibarat langit sama kerak bumi. Ya beda jauh keles.”
“Wah nyolot nih anak.” Chaca sudah benar-benar geram dengan omongan temannya yang membandingkannya dengan Luna.
“Sudah-sudah, cukup kalian bertengkarnya.” Bu Lusi melerai keduanya, lalu kembali berucap, “Ayo Luna duduk.”
Luna berjalan perlahan kearah bangku kosong yang berada dipojok sebelah kiri, didekat jendela yang menghadap langsung keluar.
Sementar Luna duduk, ternyata Vigo melihat semuanya dari kaca luar. Ia takut jika Luna membuat malu dengan mengatakan yang tidak-tidak pada semua anak. Bisa kecoreng mukanya kalau sampai Luna melakukan semua itu.
Semalam sebelum berangkat sekolah, Vigo mengajarkan cara berbicara didepan orang banyak. Mengatur sedikit bumbu kebohongan yang mengatakan bahwa dia adalah adik Chaca dan Vigo dari London.
“Go, ngapain loe?” salah seorang temannya menepuk pelan pundak kiri Vigo, Vigo kaget dan refleks menoleh.
“Kaget gue, gila. Kenapa?” kata Vigo mengelus dadanya saat yang mengejutkannya ternyata Rama temannya satu kelas.
“Loe ngapain disini? Pak Kasbih udah mau masuk tuh.”
Vigo tak menceritakan apa yang ia lihat, selain hanya merangkul pundak Rama sambil mengajak berjalan menuju kelas.
“Katanya kemarin loe kecelakaan ya?”
“Kata siapa loe?”
“Chaca yang bilang,”
“Biasalah, jalan kurang mulus jadi ya kayak gitu.”
Rama Cuma mengangguk-angguk mendengar omongan Vigo. Teman cerobohnya itu berulah lagi, itu bukan pertama kalinya ia kecelakaan, beberapa waktu lalu ia menabrak trotoar, tapi seperti keajaiban Vigo sembuh dengan cepat.
“Eh loe masih minat sepak bola gak?”
“Ya masih minat lah. Emang kenapa?”
“Loe mau gabung lagi sama tim Garuda Raya, soalnya kami kekurangan orang.”
“Apa? Gak waras loe, Ram.” Vigo sedikit kesal mendengar omongan Rama.
Nggak mungkin ia kembali lagi ketim yang udah ngebuang dia tanpa hormat, bahkan Coac Arman pun udah nggak mau lihat muka Vigo. Semua karena kesalahanya yang udah ngebuat nama Garuda Raya jelek dan diremehkan tim dari sekolah lain.
“Gue gak mau gabung lagi sama tim yang udah ngebuang gue. Loe lihat kan bagaimana Coac Arman ngeluarin gue dulu. Apalagi Angga masih jadi Captain, gue udah gak sudi. Sumpah.”
“Tapi, Cuma loe yang punya skill bagus buat kita ngelawan Elang Putra.”
“Ogah. Mendingan loe suruh Dera, Angga atau Coac yang nyari orang lain, yang penting bukan gue orangnya.”
Vigo berjalan sedikit cepat meninggaljan Rama dengan kaki yang sedikit dipaksakan, tapi langkahnya terhenti saat seseorang berucap padanya. “Ngapain loe paksa dia ikut Garuda Raya lagi, bencong kayak dia Cuma bisa maluin tim.”
Mendengar omongan itu Vigo membalikkan badannya dan mendapati Angga dengan kedua temannya. Tatapan mata meremehkannya bertermud dengan mata yang penuh kejengkelan.
“Loe ngomong apa?!” suara Vigo sedikit meninggi melihat Angga yang selama ini dibencinya berani mengatakan ia bencong.
“Loe emang bencong. Gara-gara loe kan Garuda Raya jadi jelek. Sebagus apa pun skill loe tim ini gak bakala ngambil loe lagi.” Tatapan sinis kini terlihat dimata Angga. Perasaan bencinya semakin memuncak setiap melihat wajah itu.
“Cih. Loe kira gue bakalan nerima tawaran buat masuk tim sepak bola ini, itu gak akan pernah terjadi selama gue hidup, setim sama loe...” Vigo menunjukkan jarinya dengan tak melanjutkan omongannya.
“Apa? Tingkah loe sama aja kayak bokap loe. Pembunuh.”
“Ngomong apa loe?!” Vigo kembali berteriak dan menerjang tubuh Angga, hingga membuat mereka terjatuh dengan tubuh Vigo diatas.
Wajah kesal Vigo semakin memuncak dan tak tertahan lagi, tangannya sudah mulai menggenggam. Sedangkan ketiga temannya hanya bisa diam melihat hal itu. Tak ada yang berani menyentuh Vigo jika sedang marah. Ban hitam karate sudah dikantonginya, sekali tonjok itu akan bisa mematahkan tulang hidung Angga. Tapi, Vigo tak sempat melakukan satu tonjokan pun, ia melepaskan genggamannya.
Dengan pelan Vigo berucap, “bokap gue bukan pembunuh dan loe harus tahu itu. Dia masuk penjara Cuma gara-gara rasa solidaritasnya keorang tua loe.”
Vigo lalu berdiri dan sedikit merapikan bajunya, ditinggalkannya Angga yang masih dilantai sambil dibantu kedua temannya.
Sudah lama Vigo memendam perasaan itu. Ia tak terima jika papanya dituduh macam-macam, papanya adalah orang paling baik yang ia kenal. Tak mungkin melakukan hal sebodoh itu.
%%%
Luna garuk-garuk kepala sendiri, sejak keluar kelas dia bingung mau kemana untuk mencari Vigo. Tak mungkin di acuma bisa nyelonong sendiri kalau nggak tahu tujuannya. Saat itu kelas mulai sepi, anak-anak sebagian berada dikantin, mungkin ada beberapa anak yang terlihat mondar-mandir dikoridor dan berkumpul dengan yang lainnya didekat tangga.
Saat Luna melihat seorang siswi yang masuk kesebuah ruangan dia mengikutinya. Diruangan yang tak lain perpustakaan itu dia semakin bingung, karena hanya ada kesunyian dipadu dengan rak-rak tinggi dan puluhan buku dari berbagai genre yang disusun rapi, tapi tak sampai lama Luna langsung berlari pelan menghampii buku-buku itu. lagi-lagi seperti sebuah mimpi, Luna akhirnya melihat lagi sebuahh benda yang pernah ditunjukkan ibunya, tapi dia tidak bisa mengingat buku apa itu, yang dia tahu sampulnya berwarna hitam gelap.