01. Alison Este
Pada tahun 1994, Berlin akhirnya menjadi ibukota resmi dari sebuah negara besar di Eropa, yakni Jerman. Negara yang penuh dengan intrik politik, bekas perang besar tahun 1938. Dari mulai ibukota Prusia, sampai kekuasaan Nazi, Berlin menyimpan banyak cerita. Pernah pecah menjadi dua blok timur dan barat, yang akhirnya kembali bersatu setelah akhir tahun 1989.
Dari ujung laut timur negara Jerman, Berlin di aliri sungai Spree, yang indah, bermandikan sorot lampu malam hari dan warna terang dari bulan yang menaung di atas. Berlin juga menjadi basis tekonologi canggih dengan banyak jasa, sebagai sektor penghubung kereta api hampir di seluruh Eropa.
Lebih dari sepertiga kota Berlin adalah hutan, danau dan juga kumpulan sungai, menjadikan udara kota itu begitu sejuk dan aroma tenang tercium setiap pagi berbaur dengan embun. Sampai tahun 1995, ada lebih tiga juta penduduk yang ada di sana.
Di kota itu lah tinggal seorang perempuan yang sudah menetap hampir enam tahun, bernama Alison. Sejak pindah pertengahan tahun 1988, ia melihat Berlin yang terombang-ambing hingga akhirnya menyatu dan menjadi ibukota raksasa di timur laut Eropa.
Pagi itu, dengan badan yang tertutup mantel hangat berwarna abu-abu, Alison merapikan koper dan tasnya. Sebagai ahli biotani lulusan A.Ph.D dan bekerja di Laboraturium sains di kota Berlin, ia mendapatkan tugas untuk melakukan penelitian tumbuhan jenis baru di Brazil, sebuah negara yang di kelilingi hutan hujan sss.
Setelah merapikan kebutuhannya, Alison hendak keluar dari kamarnya, tapi telinganya terganggu dengan suara telphone yang berbunyi dengan dering nyaring. Tak mengunggu waktu lama, Alison mengangkat telephone itu.
“Este, jam berapa kamu akan bergi ke Amerika?” tanya sebuah suara dari sambungan telephone itu. Suara sedikit serak dengan di barengi batuk ringan itu agak memburu.
“Pesawatku akan terbang dua jam lagi, Bu. Dan aku tidak ke Amerika, tapi ke Brazil,” ujar Alison, sambil menaruh telephone itu di gapit antara telinga dan bahu.
“Sama saja masih bagian dari benua Amerika. Berapa hari kamu disana? Ibu harap kamu datang saat acara peringatan kematian Ayahmu.”
“Pasti Bu, aku hanya sekitar dua sampai tiga minggu disana, peringatan kematian Ayah masih awal bulan maret, itu bulan depan.”
“Ibu hanya memastikan kamu tak melupakan itu.”
Alison menarik napas sesaat, ibunya kadang menyebalkan, seakan ia dan kedua saudaranya masih anak-anak yang selalu di beritahu tentang apa yang perlu di lakukan. Tapi, dari satu sisi Alison tahu apa yang di lakukan sang ibu adalah karena ia merasa kesepian sendiri di Humberg.
Sejak kuliah pertama kali hingga bekerja ia berada di Berlin, adik dan kakaknya masing-masing sudah kuliah dan menikah di Brandenburg, yang pasti tak setiap saat pulang ke rumah sang mama. Ada jarak sekitar 110 km jika dari tempat mereka untuk menuju ke Humberg.
“Bu, Este pasti mengingat itu. Setiap tahun kita juga memperingatinya, dan khawatirkan Yahte saja, dia masih kuliah di Brandenburg, ujiannya sebentar lagi, mungkin dia tak akan pulang.”
“Ibu sudah menghubunginya kemarin lusa, dia bilang akan pulang, karena ujiannya berakhir minggu depan.”
“Sudah dulu, Bu. Asistenku sudah mengetuk pintu depan, aku tak mau ia mendobrak karena aku terlambat keluar kamar.”
Setelah setuju dengan ucapan Alison, sang ibu lebih dulu menutup sambungan itu. Alison menarik koper dan menuju pintu, ia hanya berbohong saat mengatakan ada sang asisten yang menunggu tadi, tapi nyatanya benar.
Saat membuka pintu, Lolita sang asisten hampir saja mengetuk pintu, namun tertahan saat pintu itu lebih dulu terbuka. Senyumnya tertahan, saat Alison sudah memberikan koper padanya.
“Pesawatku terbang jam sembilan, kira-kira taksi mana yang harus aku gunakan?” tanya Alison sambil berjalan keluar dari apartemennya.
“Saya sudah pesankan taksi untuk Anda, supirnya tahu rute mana yang paling cepat,” jawab Lolita sambil menarik koper ringan milik majikannya.
Keduanya sudah keluar dari apartemen, menuju luar pintu, saat seorang supir dengan taksinya sudah menunggu, sang supir menyambut koper dan tas milik Alison, lalu memasukkannya ke dalam bagasi.
Alison menuju kursi penumpang sambil menunggu sang supier selesai menata barang bawaannya.
“Jaga kamarku selama aku tak ada, Lita. Pastikan semuanya baik, kau tak perlu terus disana, chek saja sekali dalam sehari,” ujar Alison saat kepalanya keluar dari jendela untuk mengatakan hal itu pada Lolita.
Lolita mengangguk dan tersenyum ramah pada majikannya. “Saya akan lakukan tugas yang sudah Anda berikan. Saya berharap penelitian Anda menyenangkan.”
“Aku berharap begitu, aku juga sudah membawa obat anti nyamuk, karena disana pasti banyak sekali hewan serangga termasuk nyamuk."
Lolita kembali mengulas senyum saat mendengarkan ucapan Alison, kadang majikannya bertingkah seolah kulitnya akan melepuh jika terkena gigitan nyamuk. Dan tak berapa lama mobil taksi itu meninggalkan apartemen yang dibeli Alison setelah ia lulus S2 dan mendapatakan pekerjaan di Berlin.
Taksi itu membawanya menuju bandara, beberapa kru sudah menunggu disana, sementara yang lain sudah lebih dulu berada di Brazil. Bagi seorang Alison, ini pertama kalinya dalam hidupnya pergi leuar benua, jika melakukan penelitan di sekitar Eropa sudah ia lakukan sejak duduk di bangku kuliah.
Ia sedikit ragu untuk pergi, perasaan itu juga yang mungkin di rasakan sang ibu. Sejak Alison mengatakan ingin pergi ke daratan hutan sss, sang ibu hampir setiap hari menghubunginya, menanyakan pertanyaan yang sama.
***
Setelah melaju dengan kecepatan sedang, taksi yang membawa Alison sampai di bandara Teger, Berlin. Bertemu dengan para krunya yang sudah berada di ruang tunggu. Tak berapa peberbangan menuju negara Brazil tepatnya kota Manaus di mulai.
Dengan melihat beberapa dokumen yang mungkin membantu untuk penlitiannya nanti disana, Alison duduk dengan tenang di dalam pesawat yang mungkin akan membutuhkan waktu cukup lama untuk sampai di Brazil.
“Alison, ini penerbangan pertamamu menuju Brazil, kan?” tanya salah satu krunya yang tak lain juga rekan kerjanya satu Laboraturium, hanya saja ia berbeda tempat, Deren seorang dokter biohewan.
“Ini pertama kalinya buatku, dok. Aku juga penasaran bagaimana kehidupan mereka disana,” ujar Alison, ia tak bohong mengucapkan hal itu.
“Kau akan takjub dengan tatanan kota di sekitar sungai sss yang membentang, selain itu ada tiga negara yang berbatasan disana.”
“Jangan buat aku semakin penasaran, dok.”
Dokter Deren menahan tawanya saat melihat raut wajah Alison.
“Menurut ketua kru, kita akan menggunakan kapal nanti saat pulang ke Jerman. Dari pelabuhan Rio de Janeiro menuju Humberg.”
“Benarkah?” tanya Alison begitu antusias. “Kebetulan sekali, aku akan ke Humberg menemui Ibuku, kami akan memperingati hari kematian Ayah.”
Dokter Deren mengangguk.
Pembicaraan itu berakhir, saat dokter Deren menutup matanya, memposisikan senyaman mungkin untuk tidur, karena perjalan akan semakin panjang. Sementara Alison tak mungkin melewatkan suasana langit indah yang penuh dengan gumpalan awan putih bersih itu.