Bab 13. Situasi Rumit

1579 Kata
Yaya merasakan tubuhnya seakan dipenuhi gelombang perasaan yang sulit ia ungkapkan. Tubuhnya yang semula kaku kini terasa lemas, tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi yang begitu tiba-tiba dan membingungkan. Pasha, yang pada awalnya terlihat canggung, kini semakin tenang. Namun, Yaya tidak bisa menenangkan dirinya sendiri. Terlalu banyak perasaan yang bercampur aduk dalam dirinya, dari rasa terkejut, malu, hingga bingung. Matanya yang sempat terbelalak, perlahan-lahan mengerjap, seraya tenggelam dalam sentuhan yang belum pernah ia rasakan. Sangat lembut baginya, dan semakin lama terasa basah di bibirnya. Sepertinya hati Pasha dan bibirnya tidak bisa diajak kerja sama. Semula ia pun terkejut karena turut terjatuh, dan kini tubuhnya menindih tubuh Yaya yang terjatuh di atas sofa panjang. Namun, bukan hanya tubuh besarnya yang menindih, tapi entah bagaimana bibirnya jatuh pas sekali di bibir ranum milik Yaya. Dan, bukannya ia segera menarik diri dari atas Yaya, justru sentuhan yang tidak diduga itu tak ingin diajak menjauh, malah semakin perdalam sentuhannya, seakan mencuri kesempatan dalam kesempitan. Namun, sesapan manis yang Pasha lakukan pada bibir Yaya tidak berlangsung lama. Suara derit pintu ruang kerjanya terdengar, tanda ada yang membuka pintu. “Pasha, apa yang kamu lakukan?” Suara bariton yang sangat familiar di telinga Pasha terdengar jelas. Lantas buru-buru pria itu menarik diri dari atas tubuh Yaya. “Oh My God!” seru Dewa terbelalak melihat siaran live yang begitu intim. “Yaya!” Nama gadis itu pun ada yang memanggil dengan rasa geramnya. “Papa!” “Ayah!” Pasha dan Yaya sama-sama terkesiap melihat ketika pria yang saat ini sudah berdiri di hadapan mereka. Wajah Yaya memucat saat melihat riak wajah Rafiq terlihat garang. Sedangkan Emir—papanya Pasha, menghela napas panjang. “Waduh, mati deh Yaya, ada ayah dan opa,” batin Yaya mulai cemas tak menentu. Ingin rasanya ia berlari dan mengumpat ke mana aja, saking malunya, tapi apa daya, bagaimana ia mau berlari kalau kakinya terasa sakit. Pasha yang sempat kikuk, sesegera mungkin terlihat tenang. “Papa, Om Rafiq, mohon jangan salah paham. Yang barusan terjadi karena kecelakaan saja, aku tidak ada maksud apa pun dengan Yaya. Sungguh,” ujar Pasha sangat meyakinkan. Yaya yang masih terkesiap dengan ciuman pertamanya bersama seorang pria, kini dibuat bengong dengan ucapan Pasha yang begitu tenang, seakan terlihat biasa saja. Ya, biasa saja karena pria itu sering berciuman dengan tunangannya. Dan, mungkin saja ciuman dengan Yaya pun rasanya juga biasa saja. Tapi, berbeda dengan Yaya yang menyikapinya dengan perasaan yang begitu mendalam. “I-itu ciuman pertama Yaya, d-dan dia bilang karena kecelakaan,” batin Yaya agak kesal sendiri. Emir menatap saudaranya. “Rafiq, ini anakmu yang pertama itu, ‘kan?” tanya Emir tampak biasa saja. Rafiq menoleh. “Iya, Om Emir. A-Aku benar-benar minta maaf dengan tingkah anakku seperti ini. Sangat memalukan dan tidak sopan. Biar aku yang menegur anakku,” balas Rafiq tampak kecewa. Ia pun mendekati putrinya dan menarik lengan Yaya agar bangkit dari duduknya. Dengan raut wajah dinginnya Pasha melirik Yaya yang sepertinya akan kena omel ayahnya kembali. “Aaw, Ayah, kaki Yaya ini lagi sakit,” ujar Yaya meringis kesakitan. Rafiq menurunkan pandangannya menatap kaki Yaya tanpa mengenakan sepatu. “Maaf Pak Rafiq, Yaya dibawa ke sini karena tadi di lobby kepleset sama Pak Pasha. Tadinya saya yang mau mengobatinya, tapi sama Pak Pasha—“ Dewa yang mau menjelaskan terpaksa tidak melanjutkan perkataannya karena mata Pasha semakin menajam padanya. “Mau mengobati, tapi malah ciuman ya,” sindir Emir saat menatap putranya. “Padahal sudah punya calon istri, tapi mau mencoba bibir anak gadis orang,” lanjut kata Emir dengan santainya, kakinya pun melangkah mendekati Yaya yang masih terduduk. “O-Opa,” sapa Yaya tampak malu serta canggung, lalu meraih tangan pria paruh baya itu untuk mengecup punggung tangannya dengan sikap takzimnya. Sebenarnya Rafiq tidak sengaja berjumpa dengan Emir di lobby saat mengambil surat masuk untuk divisi marketing. Sehubungan itu, Rafiq menyapanya lalu mengobrol singkat mengenai kecelakaan yang terjadi antara Yaya dan Pasha. Lantas Emir mengajak Rafiq untuk diobrolkan dengan anaknya di ruang Pasha. Namun, begitu masuk mereka melihat apa yang tidak pernah mereka duga. Emir mengenal anak-anak Rafiq, karena setiap ada acara kumpul keluarga besar pasti Rafiq membawa ketiga anaknya, hanya saja memang keberadaan Pasha jarang mengikuti acara keluarga, dan sebelumnya pria itu tinggal di Singapura karena dulu sekolah, kuliah, dan sempat kerja di sana sebelum kembali ke Indonesia. “Bukan begitu, Pah. Memang tidak disengaja. Mana mungkin pula aku mau—“ Pasha mencoba membela diri, hanya saja Yaya langsung menyelanya. “Opa, Yaya mau kok kalau jadi istrinya Om Pasha, apalagi barusan Yaya'kan dicium sama Om Pasha.” Melototlah mata Rafiq dan Pasha, sementara Emir hanya menggeleng-geleng, dan terkekeh pelan, lalu melirik putranya. Sudah jelas Pasha itu tidak suka dengan Yaya, dan ia selalu kesal jika Yaya menyebut calon istri atau calon suami. Jelas-jelas Pasha sudah bertunangan dengan Mecca. “Pasha, sebaiknya kamu bawa Yaya ke rumah sakit terdekat sekarang juga. Jangan dibiarkan kakinya berlama-lama sakit seperti ini,” pinta Emir dengan sikap tegasnya. Kening Pasha mengerut mendengar perintah papanya, merasa tidak percaya. “Tapi, Pah, kita sebentar lagi mau rapat. Sebaiknya Om Rafiq saja yang mengantarkan Yaya, nanti biar sopir aku yang mengantarkannya.” Pasha menolak secara halus. Emir mengangkat alis, menatap Pasha dengan pandangan tajam yang tidak biasa. “Pasha, kamu dengar perintah Papa, kan? Ini bukan soal rapat. Sekarang bawa Yaya ke rumah sakit. Kalau ada yang perlu dibahas di rapat, Papa bisa tangani dulu.” Pasha menghela napas panjang. Ia tahu, saat ayahnya sudah bersikap seperti ini, tidak ada gunanya berdebat. “Baik, Pah,” jawabnya singkat. Yaya menatap Pasha dengan ragu. Ia sebenarnya merasa tidak nyaman dengan keadaan ini, apalagi harus bersama Pasha yang jelas-jelas tidak senang mengurusnya. “Om Emir, Ayah, aku nggak apa-apa kok. Mungkin nanti Yaya bisa minta tolong Ayah saja yang antar ke dokter. Om Pasha pasti sibuk,” ujar Yaya mencoba mencari jalan lain. Namun, Emir menggeleng tegas. “Tidak, Yaya. Kalau kamu sudah terluka karena Pasha, dia yang bertanggung jawab. Jangan khawatir, biar dia yang urus ini.” Rafiq mengangguk, meskipun masih tampak kesal. “Yaya, dengarkan Opa. Biarkan Pasha antar ke rumah sakit, ya. Setelah itu, kita bicara di rumah.” Yaya hanya bisa mengangguk kecil, meski perasaan canggungnya semakin bertambah. Pasha mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri. Tatapan matanya melirik ke arah Yaya yang tampak mengalihkan pandangan, seolah tak ingin terlibat dalam konflik ini. “Baik, kalau itu keputusan Papa,” ujar Pasha akhirnya dengan nada datar. “Ayo, Yaya. Kita pergi sekarang.” Yaya hanya tercenung, merasa tidak yakin pria itu mau mengantarkannya. Dewa yang sejak tadi memerhatikan, maju selangkah. “Pak Pasha, kalau butuh bantuan, saya bisa membawa Yaya ke mobil.” “Tidak perlu,” potong Pasha cepat, suaranya terdengar tegas. “Saya yang akan membantunya.” Dewa mengangguk sopan, namun tetap merasa heran dengan perubahan sikap bosnya itu. Pasha berlutut di depan Yaya tanpa berkata apa-apa. “Pegang bahuku. Saya akan membopongmu ke mobil,” pintanya. Yaya menatap Pasha dengan ragu. “Ya-Yaya nggak apa-apa jalan sendiri, Om. Jangan repot-repot,” ujar Yaya dengan suara lirih, padahal ia tidak bisa jalan. “Saya tidak sedang meminta persetujuanmu, Yaya,” balas Pasha singkat, nadanya dingin. “Cepat, sebelum Papa atau Om Rafiq memarahi kita lagi.” Melihat ketegasan itu, Yaya tidak punya pilihan lain selain menurut. Ia meraih bahu Pasha dengan canggung, sementara pria itu mengangkat tubuhnya dengan mudah. Meski bibirnya tak mengucapkan apa-apa, sorot mata Pasha menunjukkan keengganannya. “Om Pasha kuat juga, ya,” gumam Yaya sambil menatap wajah Pasha dari jarak yang sangat dekat. “Diam,” balas Pasha dengan cepat, namun pipinya memerah samar-samar. Emir dan Rafiq hanya menggeleng pelan sambil menahan senyum saat melihat pemandangan itu. “Sudah, jangan lama-lama. Segera pergi dan pastikan anak itu dirawat dengan baik,” pinta Emir. “Baik, Pah,” jawab Pasha tanpa menoleh. Hatinya pun sudah ngedumel, kesal. Dewa yang ingin menyusuli langkah bosnya ditahan oleh Emir. “Kamu tidak perlu menemaninya. Biar Pasha yang mengurusnya,” ujar Emir. “Baik Pak Emir.” *** Setelah memastikan Yaya duduk dengan nyaman di kursi penumpang, Pasha mengemudikan mobilnya keluar dari gedung kantor. Kali ini, pria itu tidak menggunakan sopir, ia mengemudikan sendiri. Sepanjang perjalanan, suasana terasa hening. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sementara Yaya mencuri-curi pandang ke arah Pasha. “Om,” panggil Yaya pelan. “Apa?” sahut Pasha ketus, tanpa menoleh. “Om Pasha, nggak marah’kan sama Yaya?” tanya Yaya dengan hati-hati. Pasha mendesah, masih fokus pada jalan di depannya. “Ckckck ... marah nggak marah, sama saja, Yaya. Saya tidak suka terjebak dalam situasi seperti tadi.” Yaya mengangguk pelan. “Tapi, Yaya nggak bermaksud bikin masalah. Semua ini memang kecelakaan, walau—“ “Saya tahu,” sela Pasha singkat. “Tapi kecelakaan atau tidak, kamu tetap harus berhati-hati. Kalau orang lain yang melihat, mereka bisa salah paham.” Yaya terdiam, merasa bersalah. “Maaf ya, Om. Yaya sejujurnya nggak mau buat Om tambah repot.” Pasha melirik sekilas, lalu mendesah panjang. “Yaya, saya tidak marah sama kamu, tapi kesal. Dan, jangan terlalu sering bercanda soal saya ini jadi calon suamimu atau kamu mau jadi istri saya. Apalagi kalau di depan papa saya dan ayah kamu. Itu bisa jadi masalah besar. Saya ini sudah punya tunangan, calon istri!” Wajah Yaya memerah. Ia tahu Pasha benar, tapi entah kenapa hatinya terasa sakit mendengar penolakan itu. “Dan, lupakan masalah ciuman yang tidak disengaja itu! Anggap saja tidak pernah terjadi,” tegas Pasha.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN