Bab 14. Ada Yang Aneh

1117 Kata
Keheningan tiba-tiba saja menyelimuti suasana di dalam mobil usai Pasha berkata tegas. Yaya menggigit bibir bawahnya sembari memalingkan wajahnya ke arah kaca mobil, menatap pemandangan yang ada di luar sana dengan perasaan yang agak tersentil. Bagi Yaya, ciuman pertamanya dengan Pasha tidak mungkin bisa ia lupakan. Apalagi gadis itu merasa tertarik dengan pria dewasa itu. “Anggap tidak pernah terjadi,” batin Yaya mengulang kalimat itu, sudut bibirnya pun tersenyum getir. Andaikan saja Yaya sedang tidak menahan rasa nyeri di kakinya, bisa dipastikan mulutnya kembali merepet seperti biasanya. Kini, ia terdiam. Dan, entah mengapa ujung mata Pasha melirik heran pada gadis itu, yang tidak menggubrisnya. Pasha membawa Yaya ke rumah sakit yang terdekat, hanya memakan waktu 30 menit mereka tiba di lobi rumah sakit. Begitu tiba di rumah sakit, Pasha bergegas meminta petugas membawakan kursi roda agar memudahkan Yaya bergerak, usai itu ia membantu gadis itu untuk keluar dai mobilnya. Yaya menepis tangan pria itu dengan kasarnya saat ingin memegang kedua tangannya. “Om tidak perlu bantu,” tolak Yaya agak ketus, kemudian ia melirik petugas medis yang sudah memegang kursi roda. Pasha terhenyak. “Mas, minta tolong ya,” pinta Yaya dengan mengulurkan tangannya ke arah pria berseragam putih itu. Dan, sudah tentunya petugas itu membantunya dengan sopan. Pasha hanya bisa minggir memberi ruang pada petugas medis untuk membantu Yaya, dan berusaha untuk tidak tersinggung atas penolakan Yaya. Bukankah tandanya bagus, kalau gadis itu menolak bantuannya. “Tolong langsung dibawa ke ruang IGD saja,” pinta Pasha pada petugas medis itu sebelum ia kembali masuk ke mobil dan memarkirkannya terlebih dahulu. “Baik Pak.” Kursi roda Yaya langsung meluncur ke ruang IGD. Dan selang beberapa menit kemudian, Pasha menyusul Yaya yang sudah ada di ruang IGD. Dokter memeriksa kaki Yaya dan memastikan bahwa cedera itu hanya terkilir, tidak terlalu parah. “Hanya terkilir saja ‘kan, Dok? Tidak patah kakinya?” tanya Pasha untuk memastikan tidak ada luka yang dalam, atau kaki yang patah, demi menghindari keluhan lain yang bisa saja hanya terjadi dari tipuan Yaya, untuk menarik perhatiannya. “Iya, Pak, hanya terkilir, tidak sampai mengalami patah tulang. Ini saya pakaikan perban elastis, dan diusahakan untuk tidak terlalu banyak bergerak, dan nanti saya akan meresepkan obat penghilang rasa sakitnya,” ujar pria berjas putih itu. “Terus Dok, ngimana Yaya mau jalan nih? Nggak mungkin juga Yaya pakai kursi roda, atau menyusahkan orang buat gendong Yaya setiap hari?” tanya Yaya dengan lirikan penasarannya. Dokter itu tersenyum pada gadis itu. “Jalannya bisa dibantu dengan menggunakan tongkat buat bertopang sementara waktu,” balas Dokter Aris dengan ramahnya. “Oh, jadi Yaya harus beli tongkat ya,” gumam Yaya pelan. “Saya yang akan membelikan kamu tongkat,” sahut Pasha tanpa diminta. Gadis itu mendongakkan wajahnya, tak ada senyuman atau ucapan terima kasih, lalu melengos begitu saja. “Pak, ini resep obatnya yang bisa diambil di bagian apotek. Dan untung tongkatnya bisa dibeli di sana juga,” ujar Dokter Aris sembari menyodorkan secarik kertas resep. “Terima kasih, Dok,” balas Pasha datar. Kedua kaki Yaya sudah menggantung di tepi brankar. Bersiap-siap untuk kembali duduk di kursi roda yang sudah kembali disediakan oleh perawat. Pria itu gegas ingin membantu Yaya untuk turun dari brankar dan kembali duduk di kursi roda, tapi lagi-lagi gadis itu menepis tangan Pasha, dan kembali meminta bantuan perawat. Ah, Pasha mencoba untuk tidak tersinggung. “Kamu tunggu di sini, saya mau urus biaya administrasi dan menembus obat kamu,” ujar Pasha, saat membawa gadis itu keluar dari ruang IGD lalu menempatinya di ruang tunggu yang ada di lobby. “Mmm.” Yaya hanya bergumam, tak mengeluarkan suaranya yang cerewet. “Hanya mmm saja jawabannya,” celetuk Pasha agak kesal, seolah-olah ia tidak dihargai atas apa yang ia lakukan untuk Yaya. Gadis itu hanya menatap datar, lalu membuang mukanya ke arah yang berbeda. Dari pada pusing melihat perubahan sikap Yaya yang berubah drastis, lantas ia bergegas ke bagian administrasi dan lanjut ke apotek. Untuk pertama kalinya ia mengurus sendiri, biasanya ia tinggal menyuruh Dewa untuk melakukannya sendiri. Dan, entah mengapa juga ia mau melakukannya, walau awalnya terpaksa. “Aneh!” gerutu Pasha sendiri. *** Sementara itu, di perusahaan Grup Citra Green. Rafiq yang masih berada di ruang kerja Emir masih mengutarakan permintaan maaf atas kelakuan putrinya yang tak terpuji. Dan sekaligus meminta keringanan atas tabrakan yang telah dilakukan oleh Yaya. Emir yang belum tahu kasus tersebut, lantas memanggil Dewa untuk menjelaskan duduk perkara tersebut. Dan, Dewa menceritakan tanpa mengurangi atau melebihi dari porsi kenyataannya. “Kamu sudah mendengar sendiri, kalau kejadian kecelakaan itu bukan kesalahan Yaya. Tapi kesalahan sopirnya Pasha. Dan, kamu tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar ganti rugi service mobil Pasha,” ujar Emir. Rafiq bisa bernapas lega, satu masalah telah terselesaikan. “Rafiq, jadi anak kamu magang di sini?” tanya Emir dengan sorot matanya penasaran. “Iya Om, baru kemarin dimulainya. Dan, sekali lagi atas nama Yaya ... aku minta maaf atas tindakan yang tidak senonoh barusan.” Emir tergelak tawa melihat saudaranya tampak takut padanya. “Rafiq, kita tidak tahu jalan cerita hingga terjadi kejadian barusan. Tolong, kamu jangan terlalu memarahi Yaya, ya. Apalagi sepertinya anakmu pastinya sudah kena tegur dengan putraku. Tapi—“ Emir menjeda ucapannya, lalu ia mengambil cangkir kopinya untuk ia sesap. “Yaya sekarang sudah dewasa, dan sebentar lagi akan lulus sekolah. Apakah dia tertarik untuk menikah di usia muda?” lanjut Emir dengan sebuah pertanyaan. “Aku rencananya ingin Yaya melanjutkan kuliahnya, Om. Dan berkarir, untuk masa depannya,” jawab Rafiq apa adanya. “Tidak masalah. Saat sudah menikah, tetap bisa kuliah dan berkarir, dan menikah bukanlah penghalang untuk mengejar cita-cita,” balas Emir dengan tenangnya, lalu kembali menyesap kopinya. Alis Rafiq bertautan saking bingung kemana arah pembicaraan om-nya tersebut. “Sepertinya Yaya tidak akan menikah di usia muda, Om. Yaya tidak dekat dengan laki-laki mana pun saat ini, dan aku yakin dia pun tidak punya pacar karena aku juga melarangnya, Om. Jadi, amat mustahil jika Yaya segera menikah.” Pria paruh baya itu lantas tersenyum, kemudian menaruh cangkir kopi di atas meja sofa. “Kalau begitu, sangat bagus jika Yaya tidak dekat dengan siapa pun. Om juga berharapnya seperti itu.” Lagi, Rafiq dibuat ambigu dengan arah pembicaraan saudara jauhnya itu. “Tunggu Om, aku benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan ini. Kenapa tiba-tiba jadi membicarakan masa depan Yaya?” Emir menegakkan punggungnya, lalu dengan raut wajah seriusnya ia menatap pria yang duduk berseberangan dengannya. “Sebenarnya Om ingin membicarakan ini denganmu beberapa bulan yang lalu. Tapi, terpaksa Om urungkan. Namun, melihat kejadian yang kita lihat sama-sama. Om ingin mengutarakan akan melamar Yaya untuk Pasha.” Emir berkata begitu tenang. Dan pada saat itu Rafiq membeku dalam duduknya. “M-Melamar!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN