Bab 1. Mau Cari Jodoh
“Neng, ingat pesan Ibu selama magang di kantor tempat ayah kerja ... jangan bikin masalah ya. Jangan bikin ayah malu di sana,” pinta Septi, ibunya Yaya, saat menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya.
“Iya, Bu, Yaya tahu. Yaya nggak bakal bikin masalah, paling cuma larak lirik cowok ganteng Bu, mencari buat masa depan Yaya,” balas Yaya cengengesan sembari menuangkan nasi goreng ke atas piringnya.
“Astagfirullah, Yaya, ya itu sama aja namanya bikin masalah. Harus fokus sama magangnya, jangan mikirin cari jodoh. Jodoh akan datang saat waktu yang tepat. Ayah kamu juga lagi berjuang cari rezeki biar nanti kamu bisa lanjut SI kalau tahun besok kamu lulus,” pungkas Septi, bikin Yaya sih pipi gembul mengatup bibirnya.
“Dengar kata ibumu, Yaya. Ayah akan cari uang biar kamu bisa kuliah SI. Jaman sekarang itu kerja di mana-mana kudu lulusan SI, kecuali kamu mau kerja seadanya aja. Ayah ingin kamu bisa lebih baik dari Ayah, dan kelak bisa bantu adik-adikmu ini,” pungkas Ayah Rafiq, ayahnya Yaya.
Yaya Elvina Azhra, baru saja naik kelas 3 SMK, yang di mana tempat ia menimba ilmu dikelola oleh yayasan di bawah naungan Grup Citra Green tempat ayahnya bekerja. Lebih tepatnya perusahaan tersebut pemiliknya masih kerabat ayah Rafiq, hanya saja nasib keluarga Rafiq tidak seberuntung kerabatnya yang begitu kaya tersebut. Namun, masih ada untungnya Rafiq dibantu memiliki pekerjaan tetap walau hanya sebagai staf marketing.
Saat ini Yaya kebagian jadwal magang selama tiga bulan dari sekolahnya dan ditempatkan di perusahaan besar tersebut. Hal ini membuat gadis imut, lincah, dan riang ini semangat untuk menjalankan magangnya. Karena apa? Karena ia bisa melirik cowok-cowok dewasa yang pastinya penampilan mengenakan setelan baju kerja. Tidak salahkan kalau selera Yaya lebih menyukai pria dewasa ketimbang teman sebayanya, apalagi gadis itu punya mimpi untuk menikah muda dengan pria yang sudah siap untuk menikah dalam segala hal, alias pria mapan.
“Ingat menikah itu bukan masalah cinta, tapi masalahnya itu uang dan harta. Emangnya makan cinta bakal kenyang. Ada uang, Neng sayang ... nggak ada uang mending Abang pergi aja,” ujar Yaya kala bicara sama Ola, sahabatnya, waktu itu.
“Nah, makanya itu Ayah, jadi nanti Yaya selama magang di kantor Ayah ... Yaya akan menyeleksi satu persatu calon suami Yaya yang nantinya bisa bantu bayar kuliah Yaya. Jadi Ayah nggak usah repot-repot cari uang di kantor, ‘kan kasihan kalau Ayah mungutin uang di kantor. Emang ada ya orang taruh uang sembarangan di kantor?” balas Yaya dengan raut wajah polosnya.
Pria paruh baya itu menepuk jidatnya sendiri, sementara Septi menjentikkan kening putrinya.
“Aauu, duh, Ibu, sakit ih jidat Yaya. Nanti makin lebar dan luas nih jidat Yaya kayak lapangan sepak bola,” keluh Yaya sembari mengusap keningnya.
“Astagfirullah, Oneng ... oh Onengnya belum juga hilang.” Septi meringis, tapi itulah yang membuat suasana rumah sederhana itu semakin meriah dengan ke-onengan Yaya yang kadang muncul, kadang gadis itu bisa mendadak cerdas.
“Udah ... udah, sekarang cepat sarapan, biar kamu nggak telat ke kantornya. Kamu jadi bawa motor sendiri? Atau mau bareng Ayah?” tanya Ayah Rafiq sembari menikmati sarapan paginya.
“Lah, kalau Yaya berangkat bareng Ayah, terus nih dua bocah mau taruh di mana, Yah? Ya, kali aja Yaya duduk di tangki motor Ayah?” tanya Yaya sembari mengerucutkan bibir ranumnya yang masih perawan.
Hampir saja ayahnya Yaya menyemburkan isi mulutnya gara-gara jawaban anaknya.
“Ya udah, kamu bawa motor sendiri, jangan lupa bawa SIM, KTP sama jangan lupa pakai helm. Takut nanti di jalan ada razia. Terus jangan ngebut kalau bawa motor,” ingat Rafiq tampak serius.
“Yah, boleh sekalian bawa kartu SIM yang lain nggak?” tanya Yaya dengan mengedipkan salah satu matanya.
“Kartu SIM yang lainnya? Emangnya ada? Kamu’kan cuma punya satu aja.” Ayah Rafiq agak bingung, alisnya saja sampai menukik.
“Iih, yaa adalah Yah, ituloh—“ Yaya berhenti mengunyah, lalu mencondongkan tubuhnya. “Surat Izin Menikah, Yah,” lanjut kata Yaya tersenyum lebar.
“Astagfirulliloh, Yaya! Ampun deh nih anak!” seru Rafiq dibuat speechless.
Yaya cekikikan pelan, sembari mengusap perutnya menahan untuk tidak tertawa terbahak-bahak.
***
“Neng Yaya, bawa motornya jangan ngebut-ngeubut, ini jalan raya!” seru Ola yang dibonceng Yaya, mulai ketar ketir. Saat ini mereka pergi magang bersama-sama ke perusahaan Grup Citra Green.
“Ola, pegangan yang kencang ya!” seru Yaya merasa tertantang kalau udah mengemudikan motor di jalan raya. Ia melupakan pesan ayahnya.
“Yaya, aku belum mau meninggoy, gue belum kawin!” teriak Ola ketakutan, sembari memeluk erat pinggang sahabatnya.
“Tenang aja nanti kita berdua cepat kawin, Ola!” balas Yaya tersenyum lebar dan pandangannya tetap fokus ke depan.
Namun, beberapa saat kemudian, ada mobil mewah tiba-tiba main nyelonong menyalip di depan motor yang dikemudikan Yaya.
“Neng ... Neng, atuh direm Neng Yaya!” teriak Ola semakin ketakutan, ingin rasanya sahabatnya Yaya menutup matanya tapi mulutnya sedang baca surah Alfatihah sekaligus istighfar. “Ya Allah, aku belum mau mati,” gumam Ola dengan tubuhnya mulai gemetaran.
Suara decitan ban motor dan aspal beradu terdengar begitu kencang, lalu suara benda berbenturan keras terdengar jelas.
“Ampun Ya Allah, kita belum kawin ... masih perawan!!” teriak Yaya dan Ola berbarengan.
Mobil mewah itu berhenti seketika, dan pria yang duduk di bagian bangku penumpang sempat tersentak ke depan, lalu menolehkan wajahnya ke belakang untuk memastikan sesuatu.
“Dewa, kayaknya ada yang nabrak mobil saya, coba kamu cek dulu!” perintah Pasha, ia menduga seperti itu.
“Kayaknya begitu Pak, saya juga mau cek terlebih dahulu,” balas Dewa, lantas bergegas keluar dari mobil.
Yaya yang sempat memejamkan mata dan sudah pasrah, perlahan-lahan membuka matanya, begitu juga dengan Ola.
“Waduh! Ola, alhamdulillah kita selamat ... nggak jadi meninggoy kok!” seru Yaya bersyukur, tapi ada tapinya.
“Alhamdulillah.” Ola mengatur napasnya dalam-dalam, dan banyak bersyukur melihat ia tidak mencium aspal panas, dan tubuhnya tidak mengalami luka hanya senam jantung yang sempat terjadi.
“Waduh yang punya mobilnya keluar, Ola!” gumam Yaya sembari menepuk paha Ola yang masih duduk di atas motor.
Dewa melihat kondisi bagian body belakang mobil udah tampak penyok, lalu body depan motor yang dikemudikan Yaya juga hancur.
Yaya pasang wajah berani saat bertemu pandang dengan asisten pribadi Pasha. Sementara Dewa memperhatikan rok seragam yang dikenakan oleh Yaya dan Ola, tampak familiar.
“Ternyata yang nabrak siswi sekolah Wijaya Kusuma,” gumam Dewa sembari melangkah mendekati kedua anak gadis itu.
“Kalian berdua tidak pa-pa? Ada yang terluka tidak?” tanya Dewa basa basi sebelum bertanya ke akar masalahnya.
Sebelum Yaya menjawab, ia terlebih dahulu melirik motornya, lalu beralih ke mobil di depannya.
“Iya, Yaya terluka nih, terluka sangat dalam. Siapa suruh tadi bawa mobilnya nyelonong begitu aja! Om harus ganti rugi, termasuk mengobati luka di tubuh Yaya,” jawab Yaya dengan alisnya naik turun. “Hampir aja Yaya sama sahabat Yaya nggak jadi kawin, Om!” lanjut kata Yaya.
“Hah!” Dewa melongo, apa hubungannya kecelakaan sama nggak jadi kawin.
Sementara itu, Pasha yang paling sebal menunggu lama, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari mobilnya untuk mengecek kondisi mobilnya.
“Dewa, ngimana ada yang terluka? Terus apa yang kena?” tanya Pasha saat menghampiri mereka semua.
Degh! Bibir Yaya langsung menganga melihat pria yang tampak begitu tampan itu, belum lagi pria itu penampilannya mengenakan setelah jas warna abu-abu monyet, semakin memesona di bola mata indah milik Yaya.
“MasyaAllah, Alhamdulillah, Pangeran berkuda putih Yaya datang menjemput. Makasih Ya Allah, Yaya rela dibawa ke KUA sekarang. Yuk kita ke KUA sekarang,” ujar Yaya spontan begitu aja.
“HAH!” Dewa dan Ola dibuat melongo.