Tubuh Yaya yang semula hampir terjatuh, tiba-tiba saja seperti ada yang menarik, lalu membentur tubuh besar tinggi, sehingga gadis itu pun agak berteriak.
Mata Yaya melebar, jantungnya berdebar tak menentu saat tubuhnya dirangkul erat oleh pria dewasa itu. Sudut bibir ranumnya saja hampir saja melengkung, tapi kini kembali membulat saat tubuhnya merasa melayang ke udara.
“Eh, Om Pasha!” Yaya terkejut melihat Pasha membopongnya. Ah, bikin jantung Yaya jedag jedug tak menentu.
“Diam!” Seruan itu keluar begitu saja yang keluar dari mulut Pasha dengan memasang wajah datarnya. Seakan-akan tindakan yang ia lakukan saat ini hal biasa saja, bukan hal yang luar biasa.
Tapi, berbeda dengan reaksi Dewa yang baru saja ingin menolong Yaya. “Pak Pasha kesambet setan mana, kok tiba-tiba —“ batin Dewa tidak melanjutkan bertanya-tanya saat melihat langkah Pasha sudah berjalan menuju lift khusus.
Ia pun bergegas menyusulinya. Sementara, Yaya yang baru pertama kali digendong sama seorang pria. Tatapannya begitu berbinar-binar, terpesona melihat wajah tampan pria itu, ingin rasanya ia menyentuh pipi pria itu, sayangnya belum ada keberanian untuk ke sana. Hanya saja tangannya merayap menyentuh bahu pria itu agar tak jatuh.
“Gantengnya, calon suami Yaya,” puji Yaya sangat pelan.
“Ehmm.” Pria itu berdeham, seakan meminta gadis itu tidak banyak berkata saat mereka masuk ke dalam lift.
“Nggak pa-pa deh galak, asal bisa digendong tiap hari sama Om Pasha,” lanjut Yaya berkata.
Perlahan-lahan pria itu memiringkan wajahnya, menatap tajam pada gadis yang ia bopong itu. “Jangan kege-eran kamu, Yaya! Saya membantu kamu agar tidak menjadi pusat perhatian karyawan saya! Dan, saya bukan calon suami kamu!” tegas Pasha.
Yaya mengerjapkan kedua matanya yang sebenarnya sangat indah bagi siapa pun yang memperhatikannya, hanya saja mana mau Pasha mengakuinya. Mata Yaya itu seakan berbicara meski mulutnya terkatup dalam-dalam.
“Yaya nggak nge-er kok, hanya senang aja ... soalnya baru pertama kali ada cowok ganteng mau gendong Yaya. Yaya berasa kayak jadi princess di negeri dogeng. Dan Om Pasha itu, pangerannya Yaya,” ungkap Yaya tersenyum, sambil berkhayal.
Pasha mendengkus kesal, tampak tidak tertarik dengan cerita anak-anak, lantai ia kembali menatap lurus ke depan. Bersamaan itu pula pintu lift terbuka di lantai 10.
“Pak Pasha, biar saya saja yang bantu Yaya. Pak Pasha pasti kecapean,“ tawar Dewa sangat hati-hati.
Mata Pasha agak menyipit saat menatap bawaan yang ada di kedua tangan Dewa. “Kamu memangnya bisa gendong Yaya, dengan bawaan sebanyak itu?” tanya Pasha dingin, usai itu keluar dari kotak besi itu dengan langkah tegapnya.
Dewa menundukkan pandangannya, apa yang dikatakan Pasha benar adanya. Hanya saja menurut Dewa Pasha sedang aneh. Mana ada wanita yang mau ia bantu kecuali mamanya dan Mecca. Selebihnya, ya, biasa saja.
“Jangan-jangan pak Pasha tadi kepalanya kebentur lantai marmer ya, jadi agak sedikit baik hati sama perempuan lagi,” ujar Dewa menduga, lagi-lagi ia ketinggalan langkah Pasha, lantas ia bergegas ke lorong yang menuju ruang eksekutif.
Beberapa staf memandang heran saat Pasha melintasi kubikel mereka, begitu juga dengan Riri—sekretaris Pasha yang bergegas membukakan pintu untuk CEO-nya.
“Ri, tolong nanti bawakan kotak P3K-nya,” titah Pasha sebelum masuk ke dalam ruangannya.
“Baik, Pak, segera saya ambilkan,” balas Riri dengan sikap sopannya, seraya melirik gadis yang dibopong Pasha.
Yaya hanya tersenyum pada wanita itu, seakan ada rasa bangga telah dapat perlakuan khusus dari anak sang pemilik perusahaan.
“Aaww!” Yaya menjerit saat tubuhnya telah terhempaskan di atas sofa panjang yang ada di ruangan Pasha.
Sudut bibir Pasha tersenyum miring, lalu menepuk kedua lengannya seakan menyapu debu yang ada di kedua lengannya.
“Aduh, yang kaki masih nyut-nyutan, sekarang ditambah lagi b****g Yaya yang semok ini terluka. Tega kali sih, Om! Kalau mau balas dendam sama Yaya jangan begini caranya,” keluh Yaya seraya meringis, tangannya mengusap bokongnya tersebut.
“Panggil saya Pak selama di kantor, bukan Om, emangnya saya ini O—“ Pasha mendesah pelan, tidak bisa melanjutkan ujung kalimatnya, karena memang secara tidak langsung hubungan Yaya dan dirinya masih saudara, saudara jauh.
Bibir Yaya hanya mencebik, tak peduli dengan permintaan pria itu. Otaknya lagi fokus pada kaki dan bokongnya yang masih nyut-nyutan.
Dewa masuk ke dalam, lalu meletakkan tas, paper bag, dan salah satu sepatu milik Yaya ke atas meja sofa. Sementara itu Pasha yang sudah menjauh dari sofa, bergerak untuk duduk di kursi kebesarannya.
Tak lama kemudian, Riri masuk kembali dengan membawa kotak P3K.
“Ini Pak, kotak P3K-nya,” ujar Riri menunjukkan pada Pasha.
“Kasih ke Dewa saja,” sahut Pasha tanpa melihat, tapi sepertinya matanya tidak tahan untuk melihat ke arah sofa. Dengan berpura-pura melihat berkas yang sudah berada di mejanya, ujung matanya melirik ke sana.
“Ri, kamu bawa handbody atau minyak zaitun? Kalau bawa, saya minta,” tanya Dewa yang ingin memberikan pertolongan pertama pada kaki Yaya yang terkilir.
“Adanya handbody, saya ambilkan dulu, Pak Dewa,” balas Riri, gegas mengambilnya.
Dewa kembali menatap gadis itu, pandangan matanya tampak terpesona melihat wajah Yaya, lalu berjongkok di hadapannya.
“Tunggu sebentar ya, saya izin pegang kaki kamu lagi,” izin Dewa begitu lembut, berbeda dengan bosnya yang terkesan galak dan dingin.
“Ya, Om, tapi memangnya Om Dewa bisa ngobatin kaki Yaya?” tanya Yaya tampak meragu.
“InsyaAllah bisa, asal kamu pasrah aja, yakin sama saya,” pinta Dewa tersenyum.
Telinga Pasha masih mendengar ucapan Dewa, justru berdecih, rasanya pengen muntah mendengar suara asistennya yang begitu lembut dan perhatian.
Namun, decihan itu lenyap seketika, saat tangan Dewa meraih kaki Yaya yang begitu putih mulus. Ketika kaki gadis itu terangkat, maka rok hitam span gadis itu sedikit tersingkap ke atas, sehingga terlihat jelas paha mulus milik Yaya. Entah mengapa Pasha terlihat kesal, padahal setiap hari ia biasa saja kalau melihat Mecca pakai rok mini yang mengumbar-umbar paha dan kaki jenjangnya.
Lagi, Pasha mengangkat dagunya seraya agak merenggangkan celah kerah dan dasinya, lalu kembali menatap berkas yang telah ia pegang. Namun, lagi-lagi ujung matanya tidak bisa diajak kompromi, begitu Dewa menyentuh dan menaruhnya di atas paha pria itu. Sontak saja Pasha kembali berdiri dengan ekspresi wajahnya yang tidak bisa digambarkan.
“Dewa, sebaiknya kamu cek persiapan meeting kita, biar saya saja yang menangani kaki Yaya. Kakinya hanya terkilir saja, ‘kan!” perintah Pasha dengan tegasnya.
Dewa mendongakkan wajahnya dengan tatapan bingungnya.
“Ta—“
“Menyingkirlah, cepat urus berkas-berkasnya!” Pasha memerintah sekaligus mengusir asistennya secara halus.
“Ba-Baik, Pak.” Dewa harus mematuhi permintaan bosnya, ketimbang dipecat. Ia pun menurunkan kaki Yaya dengan hati-hati dari atas pahanya.
Yaya mengernyitkan keningnya saat melihat Pasha ingin mengambil alih.
“Kalau begitu Yaya tunggu Om Dewa selesai saja, ketimbang Yaya diobatin sama Om Pasha ... bisa-bisa kaki Yaya bukannya sembuh malah patah. Barusan saja b****g Yaya udah dibuat sakit,” celetuk Yaya agak cemberut dan pura-pura tidak memandang Pasha yang baru saja mau berjongkok di hadapannya, tapi tidak jadi.
Dewa yang baru saja mau membuka pintu menghentikan langkahnya, lalu kembali menatap Yaya dan Pasha secara bergantian.
“Keluar Dewa, jangan dengar omongan bocah ini!” tegas Pasha. Dewa hanya mengangguk, dan terpaksa keluar.
Begitu Dewa keluar, tinggallah mereka berdua. Entah mengapa Yaya mendadak merinding saat tak sengaja melihat sorot mata elang milik pria itu.
“Issh, seram kali matanya, udah kayak mau makan orang aja. Dahlah, mending Yaya keluar aja kalau begitu,” gumam Yaya pelan, lalu ica-icanya ia mau bangun sendiri dari duduknya. Namun, pria itu malah menekan pundak Yaya saat baru berdiri, agar kembali duduk. Tangan Yaya refleks pegang jas Pasha. Dan terjadilah ....
Bugh!
Bola mata Yaya dan Pasha membulat.