Persekian detik adegan Yaya dan Pasha terjatuh di lobby masih berlangsung, dan sudah tentunya jadi pusat perhatian beberapa karyawan yang masih lalu lalang di lobby, untungnya tidak terlalu banyak.
Yaya yang sudah mengatur napasnya, mulai merasa aneh dengan tempat ia mendarat.
“Kok, berasa empuk ya. Perasaan Yaya jatuhnya ke lantai ya,” pikir Yaya sembari membuka matanya yang sempat terpejam. Kemudian ia mencoba menggerakkan tubuhnya perlahan-lahan, namun kaki kanannya terasa amat nyeri. Ia pun mengaduh dengan menggigit bibir bawahnya.
Sementara itu, bibir Pasha yang semula menempel di kening gadis itu mulai bergeser saat kepala Yaya bergerak, tapi ....
Degh! Respon jantung Pasha tampaknya tidak baik-baik saja, ketika wajah Yaya mendongak, dan tara ... bibir Pasha malah menempel ke ujung hidung mungil gadis itu. Sontak saja kedua mata gadis itu mendelik-delik, tak percaya apa yang ia rasakan. Sudut bibir ranum Yaya pun melengkung tipis. Semburat merah jambu pun mulai menghiasi pipi cubby gadis itu.
“Duh, Yaya mimpi apa semalam? Ayah, Ibu, tolong Yaya. Kayaknya jantungnya Yaya jedag jedug ini,” batin Yaya bersorak gembira.
Persekian detik itu pun sorot mata mereka beradu, dan terkunci, salah satu tangan pria itu pun entah refleks atau sengaja merangkul pinggang Yaya.
“Om, jangan tium-tium Yaya di sini dong. Yaya malu, ah. Halalin Yaya dulu, baru boleh tium-tium Yaya,” ujar Yaya. Dan pastinya pandangan mata Pasha yang sempat tertuju pada Yaya langsung ambyar, ia pun refleks mendorong tubuh Yaya dari atas tubuhnya dengan kasar.
“Aaaww, Om, sakit!” seru Yaya, ia pun terlentang di samping pria itu jatuh terbaring.
“Astaga, mimpi apa aku semalam! Ketemu lagi sama ini bocah!” gumam Pasha kesal.
Dewa langsung membantu Pasha untuk berdiri, sementara Yaya mengaduh kesakitan kembali dengan memegang kaki kanannya.
“Makanya kalau jalan tuh pakai mata!” celetuk Pasha sembari merapikan jasnya.
Yaya meringis dan menjawab. “Jalan itu pakai kaki, Om, bukan pakai mata! Mana ada orang jalan pakai mata! Emangnya kayak si Agus Cedih, jalannya pakai mata . Lagian tadi itu Yaya udah nyuruh Om minggir, eh malah nggak minggir!” sahut Yaya ikutan kesal. Pasha mendengus kesal juga, lalu mengangkat dagu angkuhnya.
Dewa yang masih punya hati naluri membantu Yaya untuk berdiri.
“Aww, Yaya nggak bisa berdiri Om Dewa. Kaki Yaya sakit ini,” keluh Yaya menunjuk ke kakinya.
“Udah Dewa, nggak usah diladeni. Dia pura-pura mencari perhatian aja. Ayo, sebaiknya kita ke ruangan, jam 10 saya ada meeting, kan?” pinta Pasha, tampaknya ia tidak percaya dengan keluhan gadis itu.
Yaya yang masih terduduk di atas lantai marmer, mendongakkan wajahnya, melirik pria itu dengan agak menyipitkan matanya.
“Yaya nggak pura-pura cari perhatian, kalau Om nggak percaya ya udah pergi aja. Tapi nanti Yaya akan adukan sama Opa Emir kalau Om Pasha habis tium hidung Yaya, terus Yaya nanti mau minta tanggung —“ Belum selesai Yaya berkata, Pasha sudah membungkam bibir gadis itu dengan sorot matanya yang tajam.
“Tutup mulut kamu, Yaya! Saya itu jatuh gara-gara kamu. Dan saya tidak cium kamu. Itu tidak disengaja!” ujar Pasha amat pelan, namun gerakan bibirnya tampaknya penuh penekanan.
Dewa yang kini berjongkok di sebelah Yaya, hanya bisa mengusap tengkuknya. Jelas-jelas tadi ia melihat bibir bosnya menempel di kening Yaya, dan tidak bergerak sama sekali, lalu turun ke ujung hidung gadis itu. Padahal bisa saja pria itu melengos ke kanan atau ke kiri, kalau memang tidak mau.
Sementara itu, Yaya yang tidak dapat berbicara karena dibungkam bibirnya sama tangan Pasha, lantas kedua matanya yang indah mengerjap, lalu bibirnya mengecup telapak tangan pria itu dan hal itu bisa dirasakan oleh Pasha. Dan ujung-ujungnya ....
“Aaww!” Kini giliran Pasha yang menjerit karena telapak tangannya digigit sekuat tenaga sama Yaya.
“Iish, astaga Yaya!” Pasha mengibaskan tangan, bekas gigitan Yaya tercetak dengan jelas di telapak tangannya.
Yaya cekikikan pelan saat menatap Pasha meringis kesakitan, tanpa merasa bersalah. “Makanya sama calon istri itu jangan galak-galak. Harusnya tuh disayang-sayang,” ujar Yaya dengan santainya.
Wajah Pasha memerah, dan menarik diri untuk kembali berdiri.
“Ckck, ngawur aja ... jangan sembarang berbicara di sini! Dasar bocah aneh!” sentak Pasha kesal, lalu kembali menatap telapak tangan.
Dewa menggeleng-geleng, lantas kembali menatap Yaya. “Saya ijin buka sepatu kamu ya, biar saya cek dulu.” Dengan sopannya Dewa menawarkan diri, mau bagaimana pun kejadian barusan juga tidak disengaja, bukan akal-akalan Yaya.
Yaya mengangguk setuju, dan membiarkan asisten Pasha membuka sepatu pantofel gadis itu. Pasha menghela napas panjangnya, lalu berniat untuk melanjutkan langkahnya ke pintu lift khusus. Tapi niatannya itu terhentikan, saat gadis itu menjerit kesakitan.
“Ampun Om Dewa, sakit,” pekik Yaya menahan sentuhan tangan Dewa.
“Kaki kamu terkilir, makanya terasa sakit,” jelas Dewa.
“Dewa, kalau kamu mau ngobatin bocah itu jangan di sini. Nanti disangka karyawan kamu lagi ngapa-ngapain dia,” tegur Pasha tanpa menatap Yaya, padahal ujung matanya melirik Yaya yang entah mengapa bikin tubuhnya terasa panas sejak tadi.
Dewa yang sempat menatap bosnya, kembali menatap Yaya. “Saya bantu berdiri, kita pindah ke ruangan saya. Masih bisa coba berdiri, ‘kan?” tanya Dewa dengan ramahnya.
“Bi-bisa Om, kalau dipaksakan,” jawab Yaya sembari menahan rasa sakit di kakinya ketika Dewa membantunya berdiri. Yaya terpaksa merangkul leher Dewa agar bisa berdiri dengan sempurna.
Lagi-lagi Pasha menghela napas panjang, entah mengapa ia jadi semakin kesal melihat Yaya, apalagi wajah gadis itu begitu dekat dengan wajah Dewa saat mau dibantu papah.
“Om Dewa, itu ... sorry tas Yaya sama paper bagnya ketinggalan di sana.” Hampir saja ia melupakan barang bawaannya.
Nah, di sinilah Dewa agak bingung untuk mengambilkan kedua barang tersebut yang masih tergeletak di lantai.
Pasha yang melihatnya mendengus kesal, lalu melangkah mundur. “Ambil barangnya, Dewa,” titah Pasha dengan aura dinginnya, lalu tangannya memegang lengan Yaya dengan raut wajahnya yang terpaksa.
Samar-samar Yaya tersenyum tipis melihat tangan Pasha. “Masya Allah, calon su—“
“Diam, atau saya lepas kamu, biar jatuh lagi!” ancam Pasha, tampak tidak suka diajak bercanda.
“Ya udah lepasin aja, nggak pa-pa kok kalau Yaya jatuh lagi. Paling jatuhnya ke hatinya Om Pasha, kok,” jawab Yaya pelan, sudut bibirnya mengulum senyum yang begitu cantik, bukan lagi cengengesan.
Benar saja, Pasha menarik tangannya yang sempat menahan lengan Yaya, dan otomatis tubuh Yaya yang bertopang dengan satu kakinya oleng kembali. Dewa yang melihat tubuh Yaya mau terjatuh lagi buru-buru mau meraih pinggang gadis itu, tapi ....
“Eh, aakkh!” seru Yaya terkesiap, bola matanya kembali melebar.