Keesokan hari, usai menunaikan shalat subuh, Yaya menyelinap ke luar rumah demi bergegas ke warung nasi uduk mpok Sumi yang sudah diserbu pelanggannya di depan gang rumahnya. Setiba di sana gadis cantik itu tersenyum, karena masih kebagian nasi uduk yang menurutnya dan semua pelanggannya sangat enak, bikin nagih.
“Mpok Sumi, Yaya minta dua bungkus ya. Tolong dibungkus rapi ya, soalnya buat calon suami Yaya,” pinta Yaya sembari senyum-senyum sendiri.
Mpok Sumi yang baru saja mau menyiapkannya dibuat melongo. “Wih, si Neng Yaya udah punya calon suami aja nih. Siap-siap Mpok kondangan nih,” sahut Mpok Sumi ngeladenin si Yaya yang menurutnya lagi ngelantur. Ngimana nggak dianggap lagi ngelantur, tuh bocah aja pakai sendal jepit aja ... yang sebelah kanan warna biru, yang sebelah kiri warna merah. Mpok Sumi ngekel sendiri lihatnya.
“Tenang Mpok, kondangannya nunggu Yaya lulus sekolah, pamali kata orang tua mah kalau nikah masih sekolah, kecuali kalau kawin mah boleh aja,” balas Yaya sembari mengunyah pisang goreng yang baru aja ditaruh sama anaknya mpok Sumi.
“Dikira kucing kali ya, kawinnya saban waktu. Dasar si Oneng ... Oneng. Ini nasi uduk buat calon suaminya mau pakai semur jengkol nggak? Biar makin kecantol sama Neng Yaya. Kali aja nanti makin cinta ama calon bininya, habis makan semur jengkol buatan Mpok Sumi?” tanya Mpok Sumi saat mau nyentong semur jengkolnya.
Mulut Yaya berhenti mengunyah, kepalanya agak menunduk menatap panci semur, alisnya terangkat sebelah seraya mengingat wajah Pasha. “Kira-kira om Pasha suka nggak ya makan semur jengkol?” gumamnya bertanya sendiri.
“Kasih nggak, Neng?” Mpok Sumi kembali bertanya.
“Boleh deh Mpok, jangan lupa semur telornya jangan ketinggalan,” balas Yaya, dah, nggak mau pikir panjang kembali.
Usai membeli nasi uduk, ia kembali ke rumah dengan langkahnya yang riang, lalu buru ke kamar untuk bersiap-siap berangkat magang. Dan, seperti biasa saat berkumpul untuk sarapan di meja makan. Rafiq dan Septi mulai kultum di pagi hari khusus untuk putri sulungnya. Sementara adiknya Yaya, si kembar Alpa dan Alpi asik menyantap nasi gorengnya.
“Sekali lagi Ayah ingatkan, jangan bikin ulah lagi. Ayah mohon jangan ketemu sama Pasha! Urusan motor kamu biar Ayah yang ngurus,” ujar Rafiq serius.
“Asiap, Pak Bos! Yaya akan selalu mengingat pesan Ayah, kecuali tiba-tiba Yaya amnesia,” balas Yaya agak terkekeh pelan.
Rafiq menarik napasnya dalam-dalam, percuma rasanya kasih kultum sampai mulutnya capek, kalau ujung-ujungnya si Yaya malah nyengir kayak kuda kalau tertawa.
“Yah, nanti kalau Ayah mau ketemu sama Om Pasha. Yaya nitip sesuatu ya,” ujar Yaya sembari mengisi mulutnya kembali.
“Nitip apa?” tanya Rafiq agak ketus.
“Titip hati Yaya buat Om Pasha, Yah. Yaya rela kalau dijodohkan sama Om Pasha,” jawab Yaya dengan mulut penuhnya, salah satu matanya pun mengedip genit.
“Astagfirullah, Yaya!” seru Septi, dengan gemasnya ia mencubit lengan putri sulungnya. “Kamu tuh jangan ngadi-ngadi. Pasha itu udah punya tunangan, calon istri,” lanjut kata Septi.
Gadis itu langsung menoleh, “Baru juga calon istri, Bu, yang calon camat aja masih bisa ditikung kok,” jawab Yaya dengan raut polosnya. Semakin gemasnya Septi, dicubit kembali lengan putrinya. “Aaww ... aaww, sakit Bu, nanti kulit putih Yaya memar-memar nih,” keluh Yaya seraya meringis.
“Lama-lama, Ibu bawa kamu juga ke rumah pak Ustadz biar diruqyah,” ujar Septi saking keselnya.
“Sekalian nikahi Yaya sama om Pasha, ya Bu,” canda Yaya.
Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan-lahan dari mulut, jangan dari bawah bisa mengakibatkan polusi udara, saat Rafiq dan Septi menghadapi putrinya.
***
Yaya tidak bisa berangkat bareng sama Ola, kebetulan sahabatnya diantar sama bapaknya, sementara Yaya terpaksa berangkat sendiri mengenakan busway. Ia tidak bisa bareng sama ayahnya karena adik kembarnya harus diantar ke sekolah terlebih dahulu. Tapi tak mengapa, Yaya tampak semangat. Namun, semangat yang sempat melingkupi dirinya, gadis itu tiba-tiba mendesah kecewa saat melihat lalu lintas jalan raya begitu padat merayap. Sedangkan perjalanan menuju perusahaan tempat dia magang belum ada setengah perjalanan.
Ia melirik jam tangannya, ia pun meringis. “Duh, udah jam delapan. Alamat terlambat. Bakal nyampai jam berapa ke kantor?” gumamnya pelan, lalu kembali melihat ke arah luar lewat jendela busway.
“Huft, terima nasib kalau begini,” gumamnya sembari memeluk paper bag yang berisikan wadah nasi uduk untuk Pasha. Ceritanya mau jadi anak magang yang rajin, hari kedua malah ia terlambat lagi.
Tepat jam sembilan pagi, Yaya akhirnya sudah sampai di halte busway dekat kantornya Pasha. Dengan langkahnya yang sedikit berlarian Yaya bergegas menuju ke kantor, tak peduli ia hampir menabrak beberapa orang yang ada di depannya. Pokoknya ia harus cepat sampai, apalagi ia udah dapat kabar dari Ola jika sudah ditanyakan oleh Fanny.
Dengan napasnya yang ngos-ngosan Yaya menghentikan langkahnya saat sudah tiba di depan gedung pencakar langit yang di tujunya. Kemudian, ia menarik napasnya dalam-dalam, menyibakkan rambut panjangnya ke belakang, lalu kembali berlarian masuk ke lobby perusahaan menuju pintu access karyawan.
“Awas, air panas mau lewat nih!!” seru Yaya memperingati saat masih berlarian, demi mengejar keterlambatannya.
Beberapa karyawan yang mendengar teriakan Yaya sempat minggir, memberi jalan untuk Yaya. Tapi, ada salah satu cleaning service yang tidak bisa minggir karena sedang membersihkan tumpahan kopi dari salah satu karyawan. Dan, sudah tentunya Yaya tidak bisa mengerem larinya secara mendadak.
“Awas, air panas mau lewat!” Yaya kembali berteriak.
Dewa yang berada di sana menolehkan wajahnya setelah mendapat interupsi dari Pasha yang juga berada di sana.
“Eh ... eh ... kok!” Kedua tangan Yaya melayang ke udara, tubuhnya mendadak kehilangan keseimbangan, matanya yang indah membulat. Ia bisa merasakan jika kakinya terpeleset.
Dewa refleks menangkap paper bag yang terlepas dari tangan Yaya. Sementara itu, Pasha yang baru saja menolehkan wajahnya ke belakang bahunya, agak menarik tubuhnya ke belakang saat melihat tubuh Yaya agak mencondongkan ke hadapannya.
“Om, awas ... minggir!!”
Bugh! Percuma juga diminta minggir. Pasha sudah terlanjur ikutan jatuh saat ia tidak bisa menghalau tubuh gadis itu.
“Duh! Jatuh juga deh,” gumam Yaya pelan sembari bernapas lega. Ia tidak menyadari jika tubuhnya jatuh di atas tubuh Pasha.
Pasha yang sempat terkejut, tampak membeku, apalagi bibirnya menempel sempurna di kening gadis itu.
“Oh, My God!” seru Dewa.