Bab 9. Yaya Pulang Dengan Cerita Baru

1177 Kata
Selepas ribut-ribut dengan Pasha di kantor, Yaya pulang ke rumah dengan Ola naik busway. Dengan wajah puas, meskipun misinya mendapatkan motor kembali belum berhasil, ia tetap merasa menang telah membuat Pasha kerepotan. “Ya ampun, Ya, kamu itu keterlaluan,” gerutu Ola sambil duduk di sebelah Yaya. “Om Pasha pasti nyesel ngasih kamu kesempatan magang.” “Biarin aja. Om Pasha ‘kan udah bosan dengan hidup terlalu serius, suntuk sama kerjaannya. Jadi hitung-hitung Yaya kasih hiburan dikit,” balas Yaya sambil terkekeh. “Lagi pula, ini baru pemanasan.” Ola hanya bisa menggeleng tak percaya. “Kalau pulang tanpa motor, ayahmu pasti ngomel-ngomel, tahu nggak?” “Ah, biasa aja kali. Paling marah lima menit ... terus lupa,” ujar Yaya santai, meski hatinya agak was-was juga sih. Perjalanan mereka memakan waktu cukup lama. Maklum, Jakarta di jam pulang kerja ibarat lautan kendaraan yang enggan bergerak. Sekitar pukul 7 malam, Yaya dan Ola akhirnya tiba di rumah Yaya, sebuah rumah sederhana di perkampungan kota Jakarta yang ramai, namun penuh kehangatan. Dari kejauhan, Yaya bisa melihat sosok Rafiq, ayahnya, yang sudah duduk di teras sambil menyeruput kopi hitam favoritnya. “Assalamu’alaikum!” seru Yaya ceria, seolah hari ini tidak ada kejadian apa pun. Rafiq menurunkan cangkir kopinya perlahan. “Wa’alaikumussalam. Mampir ke mana aja kamu, Ya? Kenapa baru nyampe rumah, terus motor kamu mana?” tanya Rafiq dengan tatapan penuh selidik. Yaya buru-buru mencium tangan ayahnya. “Eh, bentar, Yah. Yaya haus banget. Minum dulu ya, abis macet di jalan ... kepala jadi mumet.” Tanpa menunggu jawaban, ia langsung melesat masuk ke dalam rumah. Rafiq hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala. “Anak satu ini memang bikin jantung sering deg-degan. Udah di kantor bikin masalah sama Pasha.” Beberapa menit kemudian, Yaya kembali ke ruang tamu dengan segelas air dingin yang sudah tandas diminum. Di ruang tamu itu, Septi pun sudah menunggu dengan wajah penuh tanda tanya. Yaya duduk di antara mereka dengan sikap santai seperti habis liburan. “Nah, sekarang jelasin. Motor kamu di mana? Jangan bikin Ayah tambah pusing,” ujar Rafiq dengan suara tegas. Yaya merapikan rambutnya yang berantakan dan mulai berbicara. “Gini lho, Yah. Motor Yaya itu aman, cuma ada sedikit masalah teknis aja.” “Masalah teknis?!” potong Septi, ibunya, sambil memelototi putrinya. “Apa maksudnya? Motor itu 'kan baru aja diservis bulan lalu.” Yaya menggaruk kepalanya, senyum cengengesan. “Yaya nggak sengaja, eh bukan sengaja sih Bu ... hanya tabrakan kecil gitu sama mobil. Tapi bukan salah Yaya, kok.” Rafiq langsung membelalakkan mata. “Apa?! Kamu nabrak mobil siapa?” Yaya berdeham, suara lebih lirih. “Anu itu Yah ... Mobilnya om Pasha, Yah ... yang di kantor. Makanya tadi pagi Yaya bisa sama Om Pasha.” Gadis itu tersenyum lebar. Rafiq langsung berdiri dari kursinya. “Kamu bilang apa? Mobil Pasha? Ya Allah, Yaya! Kamu itu bawa motor apa balapan sama Valentino Rossi? Itu mobilnya mahal, tahu nggak?!” “Tenang, Yah. Tenang. Nggak usah lebay gitu,” ujar Yaya santai sambil melambaikan tangan. “Ini bukan sepenuhnya salah Yaya. Sopirnya Om Pasha, si pak Ali oncom plus combro, tuh yang nyalip sembarangan. Jadi tabrakan deh.” Septi ikut panik, memegang lengan Yaya dan mencubitnya. “Kamu ini bikin masalah aja! Mobilnya Pasha itu harganya bisa beli rumah! Gimana kalau dia minta ganti rugi? Kita ini mau bayar pakai apa? Tabungan ayah sama ibu aja pas-pasan!” Yaya meringis sambil mengusap lengannya yang dicubit. “Aduh, Bu, santai dong! Tenang aja, Yaya udah bilang ke om Pasha kalau Yaya nggak mau bayar.” Rafiq melotot lebih tajam. “Nggak mau bayar? Kamu pikir ini main-main? Kalau dia minta ganti rugi, kamu mau bayar pakai apa? Jual motor itu pun nggak bakal cukup!” “Yah, dengerin dulu, dong. Om Pasha itu aja nggak mau mengakui kalau sopirnya salah. Masa Yaya disalahin terus? Lagi pula, Yaya yakin ini cuma gara-gara dia lagi bete aja sama urusan pribadinya. Makanya dia nyari gara-gara sama Yaya.” Ada-ada aja alasan yang terlontar dari bibir Yaya. Rafiq menghela napas panjang, mencoba menahan amarahnya. “Kamu ini ya ... sudah dikasih kesempatan magang di sana, malah bikin masalah sama bos sendiri. Nggak ada sopan santun!” “Iya, Yah. Yaya minta maaf deh, tapi om Pasha itu juga kelewatan. Masa motornya Yaya malah ditahan?” Bibir Yaya mengerucut, sebal. Septi kembali menepuk lengan Yaya dengan gemas. “Itu karena kamu bikin masalah! Duh, Yaya! Bisa nggak kamu itu jaga sikap selama magang? Pasha itu bos besar, lho, anak saudara ayahmu. Kamu harusnya sungkem sama dia, bukan malah bikin onar!” Yaya pura-pura merenung sejenak, lalu menatap ayahnya dengan senyum manis. “Yah, tenang aja. Besok Yaya bakal balik ke kantor dan ngomong baik-baik sama om Pasha. Yaya janji.” Rafiq mendengus kesal. “Nggak bisa gitu aja. Besok ayah akan ikut ke sana dan bicara langsung sama Pasha. Ayah harus tahu duduk perkaranya. Jangan-jangan kamu memang bawa motor kayak setan.” “Ayah ini kok nggak percaya sama Yaya, sih?” protes Yaya, memasang wajah pura-pura kecewa. “Bukan masalah percaya atau nggak! Kamu itu suka bikin ulah!” sahut Rafiq tajam. Melihat situasi yang semakin panas, Septi mencoba meredakan ketegangan. “Sudah, sudah. Jangan berdebat terus. Yaya, dengar kata ayahmu. Besok ayah akan temui Pasha, titik. Dan kamu harus janji, jangan bikin masalah lagi di sana.” Yaya akhirnya mengangguk. “Iya, Bu. Yaya janji deh. Besok Yaya bakal jadi anak magang paling teladan dan paling baik sedunia dan akherat.” Septi memutar bola matanya. “Teladan apanya? Yang ada besok kamu bikin ribut lagi.” “Bu, kok doanya jelek sih?” Yaya cemberut sambil mengambil bantal sofa dan memeluknya. Rafiq menatap putrinya dengan serius. “Yaya, Ayah serius. Kamu harus belajar jaga sikap. Ini bukan rumah, ini kantor orang. Pasha itu bukan teman mainmu, dia bos di sana.” “Iya, Yah. Siap laksanakan!” ujar Yaya dengan pose hormat ala militer. “Jangan main-main, Yaya!” bentak Rafiq lagi. Yaya langsung diam, lalu memeluk ayahnya dengan manja. “Maafin Yaya, Yah. Yaya janji besok bakal bener. Percaya deh, semuanya bakal selesai tanpa masalah.” Rafiq mendesah pasrah. “Dasar anak ini. Udah kayak ibunya waktu muda, bikin jantung sering berhenti.” Septi tersipu mendengar celaan bercanda itu, sementara Yaya malah tertawa lebar. “Itu artinya Yaya mewarisi kehebatan Ibu. Nggak semua orang bisa sehebat ini, lho.” “Hebat bikin masalah!” sahut Septi sambil mencubit pipi Yaya. Malam itu berakhir dengan sedikit ketegangan yang reda. Rafiq masih terlihat cemas memikirkan besok harus bertemu Pasha, sementara Yaya sudah tampak santai sambil menonton TV sambil makan. Dalam hatinya, Yaya sudah menyusun rencana untuk menghadapi om Pasha. “Tenang aja, Om Pasha. Yaya nggak akan kalah,” gumamnya pelan, penuh semangat. Sementara itu, Rafiq kembali ke teras, menatap langit malam dengan napas panjang. “Ya Allah, kuatkan hati ini menghadapi anak satu ini.” Dan Septi hanya bisa tersenyum kecil sambil memandang kedua orang itu, sadar bahwa rumah mereka memang tidak akan pernah sepi dari ulah Yaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN