Bab 8. Perang Di Ruang CEO

1269 Kata
Ola melompat dari bangku dekat lift saat melihat Yaya kembali berjalan ke arahnya dengan wajah yang tampak penuh gejolak. “Ya Allah, Yaya! Kamu ngapain aja di dalam? Udah ketemu Om Pasha? Udah nanya soal motornya?” cecar Ola. Yaya yang masih terlihat seperti habis menelan satu botol drama, tiba-tiba menepuk jidatnya. “Aduh! Ol, Yaya malah lupa nanya soal motor! Tadi Yaya malah mergokin Om Pasha lagi mesra-mesraan sama perempuan! Kayaknya Yaya pernah lihat dia di TV, deh. Siapa ya namanya?” Kening gadis itu mengernyit, berusaha mengingat-ingat. Ola menghela napas panjang, menatap sahabatnya dengan tatapan ‘ini-anak-kenapa-sih’. “Jadi kamu ke sana bukannya nanya motor malah bikin kehebohan baru? Yaya, please! Sekarang balik aja deh, nanya baik-baik soal motormu. Jangan bikin masalah lagi. Atau besok aja deh kamu nanyanya, sekarang kita pulang, keburu malam.” “Eh, iya! Motor! Aduh, kalau Yaya pulang tanpa motor, ayah pasti ngomel-ngomel.” Yaya berbalik badan dengan semangat baru, melangkah kecil sambil bergumam, “Fokus, Yaya, fokus. Motor dulu, drama Mantili sama Kumbara nanti aja.” Ola hanya bisa menggeleng, merasa yakin bahwa kepergian Yaya ke ruang CEO untuk kedua kalinya pasti akan membawa cerita lain. *** Setibanya di ruangan CEO, tanpa mengetuk pintu lagi, Yaya menyelonong masuk ke ruangan. Kali ini, pemandangan yang ia dapati tidak kalah mengejutkan. Pasha berdiri di dekat sofa dengan tangan terulur, tampak hendak memeluk Mecca, tunangannya yang masih duduk manis di sofa. Keduanya langsung menoleh serempak ke arah pintu dengan ekspresi campuran terkejut dan kesal. BRAK! “Om Pasha!” seru Yaya lantang, melangkah masuk tanpa mengetuk. Pasha membalikkan badan dengan ekspresi kesal yang langsung terpampang jelas di wajahnya. “Yaya! Lagi-lagi kamu masuk tanpa izin. Ada apa lagi kali ini?!” Mecca menoleh, mencoba memahami situasi, sementara Yaya masuk dengan santainya. Ia melirik Mecca dari atas ke bawah dengan tatapan sinis yang tak bisa disembunyikan, sebelum langsung bicara tanpa basa-basi. Pasha yang sudah muak dengan kelakuan Yaya, langsung memijit pelipisnya. “Yaya, apa kamu nggak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk?” “Aduh, maaf, Om. Tapi ini penting banget! Yaya kelupaan gara-gara adegan ciuman Om sama itu ... tu.” Mata Yaya melirik Mecca.. “Yaya!” Pasha membentak dengan nada tajam. Langkah gadis itu semakin dekat, masih dengan gaya santai, mengabaikan tatapan menusuk dari Pasha. Ia kembali lagi melirik Mecca sekilas, kali ini dengan senyum sinis. “Om Pasha, Yaya lupa nanya soal motor Yaya, sopir Om Pasha itu yang bawa motor Yaya ke bengkel. Jadi, motor Yaya udah selesai, belum?” Pasha memejamkan mata, mencoba menahan diri untuk tidak meledak. Ia mengembuskan napas panjang sebelum menjawab dengan nada dingin. “Motormu tidak akan saya kembalikan, Yaya. Kecuali kamu bisa bayar biaya perbaikan mobilku yang tadi pagi kamu tabrak.” Yaya langsung melongo, terkejut. “Apa? Bukannya itu salahnya sopir Om Pasha yang nyalip sembarangan? Kita udah sepakat kalau Yaya nggak perlu bayar karena itu bukan salah Yaya, kan?!” Pasha menatapnya tajam. “Saya berubah pikiran. Lagi pula, kamu itu bawa motor seperti pembalap liar. Kalau saya lapor ke ayahmu, mungkin dia akan setuju dengan keputusan ini.” Yaya mendengus, wajahnya semakin memerah. “Kalau gitu, Yaya juga bakal lapor ke papa Om Pasha! Sekalian bilang kalau Om Pasha pacaran di kantor. Eh, bukan pacaran, tapi main cium-ciuman sama Mbak Mecca ini. Lihat aja nanti siapa yang lebih dimarahi!” ancam Yaya, tak mau kalah. Pasha menyipitkan mata, melangkah mendekati Yaya. “Kamu benar-benar cari masalah, ya?” “Yaya? Justru Om yang cari masalah duluan!” balas Yaya dengan nada menantang. Wajahnya mendongak biar biasa melihat jelas wajah Pasha yang sudah berdiri di hadapannya. Mecca yang sejak tadi mencoba menahan diri akhirnya ikut bersuara. “Eh, tunggu sebentar. Yaya, ya? Ini urusan antara kamu dan Pasha soal motor. Kenapa harus membawa-bawa aku?” Yaya menatap Mecca dengan mata menyipit. “Mbak, ini bukan cuma soal motor. Ini soal kelakuan Om Pasha yang nggak profesional! Mbak tahu nggak kalau Om itu di kantor harusnya kerja, bukan pacaran?” Sotoy sekali Yaya, udah tahu itu perusahaan yang diwariskan ke Pasha, jadi pria itu bebas berbuat apa pun, selama tidak merugikan orang lain. “Yaya!” bentak Pasha, suaranya semakin rendah dan berbahaya. “Jangan bawa-bawa urusan pribadi saya ke sini! Kamu itu cuma bocah ingusan!” “Yaya cuma jujur, Om!” Yaya berteriak balik, kini berdiri sangat dekat dengan Pasha. “Om itu bener-bener seperti kulkas empat pintu, dingin dan keras kepala! Atau mungkin lebih cocok dibilang kain kanebo kering! Kalau sama Yaya dari pagi bawaannya marah-marah melulu.” Pasha tertegun sejenak. “Kulkas empat pintu? Kanebo? Kamu benar-benar kurang ajar, Yaya!” Kesabarannya mulai menipis. Pria itu mencoba menarik Yaya keluar dari ruangan, tapi gadis itu menghindar dan malah menggigit lengannya. “Aduh! Yaya!” teriak Pasha, memegangi lengannya yang kini merah. “Yaya nggak takut sama Om! Pokoknya balikin motor Yaya, dan Yaya nggak bakal bayar ganti rugi!” teriak Yaya, langsung meloncat ke sofa, menghindari cengkeraman Pasha. Pasha mengejarnya. Mereka akhirnya bergulat di atas sofa—Yaya menarik dasi Pasha, sementara Pasha berusaha mengendalikan tangan liar Yaya. Suara keributan itu memenuhi ruangan, membuat Mecca semakin bingung sekaligus kesal. Ia berdiri dengan elegan, mencoba tetap menjaga citra di depan kekasihnya. “Cukup! Kak Pasha, berhenti main-main sama anak ini!” seru Mecca dengan nada tegas, hatinya agak cemburu melihat adegan yang ada di depan matanya. Tapi Yaya malah memanfaatkan momen itu. “Mbak Mecca, lihat’kan? Om Pasha lebih perhatian sama Yaya. Buktinya, dia mau gulat sama Yaya, tapi sama Mbak cuma peluk-peluk sama tium-tium doang!” Mecca hampir kehilangan kendali. Dengan gigi terkatup rapat, ia akhirnya memutuskan untuk keluar ruangan. “Aku akan panggil Dewa untuk mengatasi ini.” *** Beberapa menit kemudian, Dewa muncul di pintu dengan wajah datar. Tapi begitu ia melihat situasi di dalam ruangan, mulutnya sedikit terbuka. Ia menatap bosnya—CEO yang biasanya penuh wibawa—sedang bertarung di sofa dengan seorang gadis remaja. Dasi Pasha sudah terlepas, rambut Yaya berantakan, tapi keduanya sama-sama tampak tidak mau menyerah. “Pak Pasha … Yaya .…” Dewa mencoba memanggil mereka, tapi tidak digubris. Akhirnya, ia berdeham keras. “Maaf, Pak. Apa saya perlu panggil pak Rafiq, ayah Yaya, untuk menyelesaikan ini?” Kedua orang itu berhenti bergerak, saling menatap dengan napas tersengal. Mendengar nama ayah Yaya, Pasha berdiri dengan cepat, membereskan jasnya. “Tidak perlu, Dewa. Saya bisa mengurus ini.” Yaya yang masih duduk di sofa, menatap Pasha dengan tatapan penuh kemenangan. “Lihat’kan, Om? Kalau mau berantem lagi, Yaya nggak takut kok.” Pasha memijat pelipisnya. “Keluar dari ruangan ini, sekarang juga!” Yaya berdiri, memasang pose seolah ia pemenang dalam sebuah pertandingan. “Baik, Om Pasha. Tapi Yaya tetap akan minta motorku dikembalikan!” Dengan anggun (menurutnya), Yaya melenggang keluar ruangan, meninggalkan Pasha yang tampak ingin menenggelamkan dirinya ke laut. Dewa menatap bosnya dengan ekspresi bingung. “Pak, ini masih jam kerja, ‘kan? Eh ... udah jam pulang ya.” Pasha menatap asistennya tajam. “Dewa, tutup mulut.” Dewa hanya bisa mengangguk sambil menahan tawa. Di luar ruangan, Yaya kembali ke arah lift dengan Ola yang sudah menunggunya. “Gimana? Motormu gimana?” tanya Ola, penasaran. Yaya mengangkat bahu dengan santai. “Belum dikasih tahu. Tapi Yaya udah bikin Om Pasha nyerah. Next time, pasti Yaya ... menang lagi.” Ola hanya bisa menghela napas panjang. “Yaya, kamu itu benar-benar sumber masalah.” “Masalah? Yaya ini pahlawan!” ujar Yaya sambil terkekeh, lalu memencet tombol lift. Di belakang mereka, suara Pasha yang menggerutu pelan masih terdengar dari balik pintu. “Sialan, tuh bocah!” gumam Pasha kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN