Bab 6. Pembagian Divisi

1125 Kata
Suasana di ruang HRD lantai dua terasa kaku namun penuh kesibukan. Beberapa staf sibuk mengetik di komputer mereka, sementara Yaya dan Ola duduk di salah satu kursi panjang, menunggu pengarahan dari Retno, guru pembimbing mereka. Staf HRD yang bernama Widi tengah mempersiapkan dokumen untuk dibagikan, sesekali melirik ke arah mereka, dari kejauhan Ola menatap Yaya yang tampak tidak terganggu sedikit pun meski baru saja "dimarahi" oleh ayahnya. "Yaya, aku masih nggak percaya. Jadi, Om Pasha itu beneran CEO di sini? Dan dia saudara ayahmu juga?" bisik Ola, biar tidak terdengar jelas. Yaya mengangguk dengan senyum lebar. "Iya, Ola. Lucu, kan? Yaya aja baru tahu barusan, ternyata om Pasha itu anaknya opa Emil. Ayahku dan papanya Om Pasha itu kalau nggak salah masih sepupu jauh, tapi bukan saudara kandung ... bukan kakak beradik ya. Jadi, ya, masih saudara, sih, walaupun agak jauh," ujarnya ringan. Ola mendengus pelan, merasa aneh dengan sikap santai sahabatnya itu. "Aku sih masih nggak ngerti kenapa kamu bisa seenaknya kayak tadi. Dia CEO, Yaya. Bos besar! Dan kamu malah ngelawak di depan dia." "Justru itu, La. Ini kesempatan bagus buat bikin dia terkesan sama Yaya. Lagi pula, dia tampan banget, ‘kan? Cocok jadi ... siapa tahu jodoh Yaya." Yaya terkekeh, namun dengan cepat terdiam saat melihat ekspresi tegas dari staf HRD yang berada di ruangan tempat mereka menunggu. “Tapi tetap aja dia CEO perusahaan ini. Kamu harusnya lebih hati-hati. Jangan banyak tingkah,” ujar Ola khawatir. “Aduh, santai aja. Dia hanya saudara jauh aja. Nggak ada yang perlu ditakutkan,” balas Yaya agak berbisik, sembari tersenyum lebar, mencoba menenangkan sahabatnya. “Yaya! Ola!” Retno, guru pembimbing dari SMK Wijaya Kesuma, langsung menghampiri mereka dengan ekspresi tegas. Retno masuk ke ruangan dengan langkah tegas. Wanita berkacamata itu langsung menatap tajam ke arah Yaya dan Ola. “Kalian ini ya, magang hari pertama kok malah terlambat? Apa kalian nggak menghargai waktu?” tegur Retno dengan nada penuh wibawa. Yaya langsung berdiri, tangannya saling meremas dengan gugup. “Maaf, Bu Retno. Tadi di jalan ada sedikit ... insiden,” ujar Yaya pelan, mencoba memberikan alasan. Retno mengerutkan dahi. “Insiden apa? Jangan-jangan kalian main-main dulu sebelum ke sini?” “Enggak kok, Bu. Sumpah. Kami benar-benar ada kendala di jalan,” tambah Ola, mencoba membantu Yaya. Mau cerita, tapi lihat wajah Retno sudah tidak enak dipandang. Retno menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi ingat, ini perusahaan besar. Tidak ada tempat untuk sikap tidak profesional. Kalau sampai terulang lagi, Ibu tidak segan-segan melaporkan kalian ke pihak sekolah.” “Iya, Bu. Kami janji nggak akan terlambat lagi,” ujar Yaya cepat, berusaha menenangkan Retno. Setelah Retno selesai memberi teguran, Widi memulai briefing dengan membagikan dokumen aturan magang dan memperkenalkan divisi tempat para siswa akan ditempatkan. “Selama tiga bulan ke depan, kalian akan ditempatkan di dua divisi berbeda. Yaya dan Ola di divisi keuangan, sedangkan Ita dan Eka di divisi penjualan,” jelas Widi dengan nada formal. “Dan tolong perhatikan baik-baik aturan yang sudah kami tetapkan. Tidak boleh ada pelanggaran, apalagi sampai merusak nama baik sekolah kalian,” tambah Widi dengan raut tegas. Yaya mengangguk-angguk dengan penuh perhatian, meskipun di dalam hati ia masih memikirkan insiden pagi tadi—terutama reaksi ayahnya jika tahu ia telah menabrak mobil Pasha. “Yaya, kok senyum-senyum sendiri?” bisik Ola pelan, menyenggol lengan sahabatnya. “Enggak, Ol. Yaya cuma ingat sesuatu aja,” jawab Yaya sambil terkekeh kecil. *** Setelah briefing selesai, Widi mengantar Yaya dan Ola ke lantai 10, tempat divisi keuangan berada. Begitu pintu lift terbuka, Yaya langsung terkesan dengan suasana profesional di lantai tersebut. Semua karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing, beberapa di antaranya terlihat serius berdiskusi di dekat meja mereka. “Wah, keren banget ya di sini,” bisik Yaya sambil memperhatikan ruangan berdesain modern dengan dinding kaca yang memancarkan suasana elegan. Ola hanya mengangguk kecil, merasa sedikit gugup berada di lingkungan baru. Mereka kemudian diarahkan ke ruang divisi keuangan, di mana seorang wanita muda bernama Fanny telah menunggu mereka. Fanny, dengan penampilan rapi dan ramah, langsung menyambut mereka. “Selamat datang di divisi keuangan. Saya Fanny, supervisor kalian selama magang di sini,” ujar Fanny sambil tersenyum. “Sebelum mulai, saya akan jelaskan beberapa tata tertib yang harus kalian patuhi selama di sini.” Yaya dan Ola mengangguk patuh, berusaha menyimak dengan serius. Namun, saat Fanny mulai menjelaskan beberapa aturan, Yaya mendapati dirinya tertegun. Salah satu aturan tersebut membuatnya sedikit bingung. “Jadi, kalian tidak diperbolehkan keluar dari area ini selama jam kerja, kecuali ada keperluan mendesak. Dan satu hal lagi, jangan pernah berada di area koridor sebelah kanan setelah keluar dari lift, kecuali ada izin khusus,” jelas Fanny tegas. Yaya mengangkat tangan, terlihat penasaran. “Bu Fanny, kalau boleh tahu, kenapa kami nggak boleh ke koridor sebelah kanan?” Fanny tersenyum tipis. “Itu adalah area ruang kerja CEO dan staf eksekutif. Area tersebut terbatas untuk karyawan tertentu saja.” Mendengar penjelasan itu, Yaya justru tersenyum lebar. Ia langsung teringat pada Pasha dan paras tampannya. “Wah, kalau gitu Yaya harus hati-hati nih,” gumam Yaya pelan, tapi cukup terdengar oleh Ola yang langsung menyenggol lengannya. “Yaya, fokus!” bisik Ola tajam, merasa malu dengan tingkah sahabatnya. Fanny menatap mereka sejenak, lalu melanjutkan penjelasannya. “Selain itu, selama magang, kalian dilarang keras untuk ... maaf ... ganjen sama karyawan laki-laki. Kita di sini profesional. Fokus bekerja, bukan mencari perhatian.” Yaya langsung melongo mendengar pernyataan tersebut. “Wah, kok aturannya ketat banget ya, Bu,” komentar Yaya polos, membuat Fanny tersenyum kecil. “Ini untuk kebaikan kalian juga. Kalau ada masalah, jangan ragu untuk bicara dengan saya. Tapi ingat, taati semua aturan yang sudah dijelaskan,” tegas Fanny. “Baik, Bu. Kami akan berusaha,” jawab Ola dengan nada formal, mencoba mengimbangi keseriusan Fanny. Selesai briefing, Yaya dan Ola diberikan meja kerja di salah satu sudut ruangan. Yaya, yang masih terpikirkan oleh insiden pagi tadi, mencoba mengalihkan pikirannya dengan memperhatikan suasana kantor. Namun, dalam hati kecilnya, ia tidak sabar menantikan momen lain di mana ia bisa bertemu dengan Pasha. “Ola, menurutmu Yaya bakal ketemu om Pasha lagi nggak ya?” bisik Yaya sambil memandang jauh ke koridor yang dilarang itu dengan penuh rasa ingin tahu. Ola memutar mata, merasa bingung harus bagaimana menghadapi sahabatnya yang satu ini. “Yaya, plis, fokus ke magangmu dulu. Kalau kamu bikin masalah lagi, aku nggak mau ikut kena,” ujar Ola dengan nada setengah berbisik. Yaya hanya tersenyum kecil, lalu mulai menyalakan layar komputer di depannya. “Santai aja, Ol. Yaya pasti magang dengan baik kok. Tapi kalau soal ketemu om Pasha ... kita lihat nanti aja,” kata Yaya sambil terkekeh pelan. Ola hanya bisa menggelengkan kepala, berharap tingkah Yaya tidak kembali membuat masalah di hari pertama mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN