Suasana di ruang rapat kecil di lantai lima berubah tegang setelah Yaya dengan senyum lebarnya mengumumkan bahwa ia dan Ola magang di Grup Citra Green, perusahaan milik keluarga Pasha. Pasha menghela napas panjang, merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan. Padahal ia hanya ingin menyelesaikan masalah tabrakan saja, tapi malah ada hal yang baru ia ketahui. Sementara Yaya justru semakin percaya diri, menganggap ini kesempatan emas untuk membuat kesan pada pria dingin di depannya.
“Om, ini takdir, loh,” ujar Yaya dengan wajah polos, tangannya menopang dagu. “Yaya akan magang sungguh-sungguh di sini, biar Om kagum sama Yaya. Nanti Om bisa rekomendasikan Yaya jadi karyawan tetap, siapa tahu jadi sekretaris pribadi Om.”
Pasha memijat pelipisnya, berusaha menahan kesabaran yang semakin menipis. “Yaya, tolong dengar baik-baik,” katanya dengan nada dingin. “Jangan pernah berpikir saya akan kagum padamu. Kamu di sini untuk magang, bukan untuk bermain-main. Satu kesalahan saja, saya pastikan magangmu selesai lebih cepat dari yang kamu kira.”
Yaya mengangkat kedua bahunya, tidak terlihat gentar sedikit pun. “Wah, Om galak banget. Tapi, Yaya suka, loh. Tegas gitu, calon pemimpin banget,” ujar Yaya sambil terkekeh. Ola, yang duduk di sampingnya, hanya bisa menutupi wajah dengan tangan, merasa malu dengan tingkah sahabatnya.
“Dan tenang aja, Om. Kalau Om takut Yaya bikin masalah, Yaya janji deh bakal kerja sungguh-sungguh biar Om kagum sama Yaya. Siapa tahu, nanti Om jadi mau nikahin Yaya beneran,” lanjut kata Yaya tersenyum lebar.
“Diam!” bentak Pasha sambil memukul meja, membuat Ola yang duduk di samping Yaya terlonjak kaget.
“Yaya, plis, jangan ngomong sembarangan lagi,” bisik Ola panik sambil menarik lengan sahabatnya
“Dewa!” Pasha memanggil asistennya dengan nada tinggi.
Dewa yang baru saja kembali membawa dokumen ganti rugi melangkah masuk dengan ekspresi waspada. “Iya, Pak?”
“Cek ke bagian HRD. Siapa yang menerima siswa magang dari SMK Wijaya Kesuma ini?” pinta Pasha dengan nada tajam.
“Baik, Pak. Saya akan cek segera,” jawab Dewa, bergegas keluar ruangan lagi. Sejenak suasana hening.
Lalu, Yaya kembali memecah keheningan. “Om, sebenarnya Om kerja di bagian apa sih di perusahaan ini? Kok keliatannya sibuk banget? CEO, ya?” tanya Yaya dengan nada bercanda, meskipun matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Pasha meliriknya dengan tajam, enggan menjawab. “Bukan urusanmu,” jawabnya dingin.
Yaya justru tertawa kecil. “Jadi penasaran, Om. Kalau beneran CEO, wah, berarti Om ini orang penting banget. Nanti Yaya cerita ke ayah, deh. Siapa tahu ayah kenal sama Om.”
Pasha mendengus pelan, mencoba mengabaikan Yaya. Namun, pikirannya mulai terganggu oleh pertanyaan gadis itu. Ia tidak tahu bahwa Yaya adalah anak dari Rafiq, salah satu staf senior di perusahaan ini.
Sementara itu, di lantai bawah, Rafiq, ayah Yaya, tampak gelisah. Ia berdiri di lobby bersama Retno, guru pembimbing Yaya, serta dua teman magang Yaya lainnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, namun Yaya dan Ola belum juga terlihat batang hidungnya.
“Pak Rafiq, maaf, apa anak Bapak memang sering terlambat seperti ini?” tanya Retno dengan nada ragu.
“Ah, tidak, Bu Retno. Yaya biasanya cukup disiplin, kok,” jawab Rafiq canggung. Dalam hati, ia mulai merasa malu. “Biar saya coba telepon dia lagi.”
Namun, seperti sebelumnya, panggilan itu tidak diangkat. Rafiq hanya bisa menghela napas panjang, bingung dengan ulah putrinya kali ini.
***
Di ruang rapat suasana kembali tegang ketika Dewa masuk dengan seorang staf HRD. Wanita berpenampilan rapi itu membawa beberapa berkas di tangannya.
“Pak Pasha, benar. Nama mereka tercatat sebagai siswa magang dari SMK Wijaya Kesuma,” ujar staf HRD sambil menyerahkan berkas itu kepada Pasha.
Pasha membolak-balik dokumen itu, rahangnya mengeras. “Siapa yang menyetujui mereka?”
“Persetujuan dari manajemen, Pak. Saya rasa ini bagian dari program CSR perusahaan.”
Pasha mendesah panjang. Program CSR itu memang berjalan setiap tahun, tapi ia tidak menyangka akan berurusan dengan anak seperti Yaya.
“Baiklah. Kalau begitu, bawa mereka ke tempat magangnya sekarang,” perintah Pasha dingin.
Namun, sebelum staf HRD kembali bergerak, pintu ruang rapat terbuka lagi. Kali ini, ada staf HRD yang lain datang bersama Rafiq. Wajah Rafiq tampak masam saat melihat putrinya ada di sana.
“Yaya!” panggil Rafiq, suaranya terdengar tegas.
Yaya yang awalnya santai langsung membalikkan badan. “Ayah? Kok Ayah di sini?” tanya Yaya kaget.
“Harusnya Ayah yang tanya, kamu ke mana saja? Dari tadi Ibu Retno nunggu di lobby, tapi kamu malah terlambat begini. Magang hari pertama sudah bikin masalah, ya. Terus kenapa Ayah telepon nggak diangkat!?” omel Rafiq, matanya menatap tajam ke arah putrinya.
Yaya tertawa kecil, mencoba meredakan suasana. “Tenang, Yah. Yaya kan cuma—”
“Diam dulu!” potong Rafiq. “Kamu ini keterlaluan. Sudah terlambat, sekarang malah ada di ruang rapat CEO perusahaan ini. Apa-apaan, Yaya?”
Pasha yang menyaksikan adegan itu mulai merasa bingung. “Om Rafiq, ini anak Om?” tanya Pasha pelan.
Rafiq menoleh ke arah Pasha, lalu mengangguk. “Oh Iya, ini anak saya. Kenapa dia bisa ada di sini, Pak Pasha?” Rafiq menjawab dengan sikap formalnya.
Pasha menarik napas dalam, mencoba mencerna situasi, kemudian menatap Yaya.“Ada sedikit insiden dengan anak Om. Dan kenapa Om tidak bilang kalau anak Om magang di sini? Dan kenapa anak ini—” Ia menunjuk Yaya, “—berani sekali membuat keributan di ruang rapat saya?”
Yaya melirik Pasha dengan ekspresi bingung. “Tunggu. Om Pasha ini siapa, sih?” tanya Yaya, nadanya terdengar penasaran.
Rafiq menatap putrinya dengan kesal. “Yaya, dengar baik-baik. Om Pasha ini CEO Grup Citra Green, anak pemilik perusahaan tempat kamu magang. Beliau juga anak dari saudara Ayah, yang biasa kamu panggil opa Emil . Jadi, mulai sekarang, kamu harus bersikap sopan dan jangan macam-macam.”
Mata Yaya membesar, wajahnya menampilkan keterkejutan. “Hah? Jadi Om Pasha ini bos besar di sini?” tanya Yaya sambil menunjuk Pasha. Lalu, senyum lebarnya muncul kembali. “Wah, makin keren, dong. Yaya bangga bisa kenal sama Om Pasha!”
Pasha menggeleng pelan, merasa tidak percaya dengan tingkah gadis itu. “Om Rafiq, tolong beri tahu anakmu untuk nanti kedepannya tidak mengganggu pekerjaan saya, selama dia magang di sini!” ujarnya dingin.
Rafiq mengangguk. “Yaya, dengar. Jangan macam-macam. Maganglah dengan baik, dan jangan buat Om Pasha kesal lagi.”
Yaya hanya mengangguk sambil tersenyum malu. Namun, sebelum keluar dari ruangan, ia sempat melambaikan tangan kepada Pasha sambil mengedipkan sebelah matanya. “Om Pasha, sampai ketemu lagi, ya. Yaya janji nggak bakal bikin masalah. Tapi, kalau butuh sekretaris pribadi, panggil Yaya aja, ya.”
Pasha hanya bisa memijat pelipisnya, merasa lelah dengan tingkah gadis itu. Namun, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu tentang Yaya yang membuatnya sulit untuk benar-benar marah. “Sungguh, ini akan menjadi magang terpanjang dalam hidupku. Ternyata bocah ingusan itu masih saudaraku," gumam Pasha pelan, sambil menatap pintu yang perlahan tertutup.